7. New Priority

1367 Words
Zavier yang menyetir dan Azel yang duduk di sampingnya sama-sama diam, rasa canggung yang ada setelah kejadian di kamar hotel tadi semakin menjadi. Bahkan lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Azel masih merasa sangat malu jika mengingat betapa pasrahnya ia ketika Zavier mencium bibirnya, bahkan menikmatinya. "Kalian mau ke mana?" Tanya Sharllote. Zavier melirik sahabatnya itu dari spion depan. "Ikut ke rumahku dulu, nanti kita anterin kamu sekalian ke rumah orang tuanya, o-orang tuanya Azel." Ucapnya sedikit kaku diakhir. Sial, bisa-bisanya seorang Zavier merasa gugup hanya karena sebuah ciuman. Batin Zavier. Azel melirik suaminya itu sekilas, lalu kembali menatap jalanan. "Ternyata dia inget aku mau ketemu Mamah," Gumam Azel dalam hati. Kruyuk... Lalu tiba-tiba saja suara aneh muncul. Sharllote dan Zavier serentak memandang Azel yang langsung menggigit bibir bawahnya menahan malu. Perutnya berteriak karena lapar. "Kenapa nih perut gak bisa diajak kompromi sih, ya tuhan..." Geramnya pada diri sendiri. Sharllote menepuk bahu Zavier. "Kita mampir ke cafe aja dulu, aku juga belum sarapan." Zavier mengangguk setuju. "Heem." "Harusnya tadi itu kita sarapan dulu di Hotel sebelum check out." Ucap Sharllote. Azel tahu, kalimat itu untuk dirinya. "Heheh, iya... Tadi buru-buru, gue udah gak sabar ketemu Mamah, Kak." Ucap Azel yang memang sejak awal berkenalan memanggil Sharllote dengan embel-embel Kak. Sharllote terkekeh pelan. "Ya wajar sih kalau kangen orang tua, tapi nanti juga terbiasa jauhan." Ucapnya. Zavier memarkirkan mobilnya di sebuah cafe yang terlihat masih sepi karena masih terbilang pagi. Hanya ada beberapa yang melangsungkan sarapan dan memesan kopi sebelum berangkat kerja. "Kita makan di sini," Ujar Zavier seraya keluar terlebih dahulu. Lalu di susul oleh Sharllote. Sedangkan Azel, ia terlihat menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. "Tenang Zel, lo gak usah ngerasa malu. Kissing is normal." Ucapnya meyakinkan diri sendiri. "Arrgh... Bisa-bisanya tuh orang nyium gue," geramnya. Dan, Ceklek. Zavier membuka pintunya, memperlihatkan Azel yang sedang memegangi kepalanya. Ekhem! Azel tersadar karena deheman itu, lalu terdiam menatap Zavier. "Nih orang pake acara bukain pintu segala, maksudnya apa sih?" Tanyanya dalam hati. Zavier menjentikan jarinya di depan wajah Azel. "Cepet." Ucapnya. Azel tersadar, ia pun langsung keluar dari dalam mobil. Sharllote terlihat masuk ke dalam cafe terlebih dahulu karena ia ingin memilih mejanya sendiri agar nyaman. "Kamu ngapain bukain pintu mobil? Ha? Biar aku baper?" Tanya Azel. Zavier menghentikan langkahnya dan menatap Azel heran. "Apa semua model selalu over percaya diri seperti ini?" "What?!" Kesal Azel. "Sharllote yang menyuruhku untuk membukakan pintu, kenapa? Karena kamu lamban. Ngapain di dalem mobil lama-lama?" Kini Zavier yang bertanya. Sumpah demi apapun, Azel menyesal telah bertanya. "Au ah!" Azel pun berlalu. "I know you like that kiss tapi gak usah dibayangin terus-terusan juga dong!" Ujar Zavier. "YA!! Shut up!!" Protes Azel dengan tatapan tajamnya. Azel langsung menutup telinga dan menyusul Sharllote yang sedang berbincang dengan pelayan cafe tersebut. Sedangkan Zavier, ia tampak tersenyum. Kini ia punya amunisi untuk mengganggu Azel dengan terus mengungkit hal manis yang malah membuat keduanya merasa aneh. Zavier berdiri di belakang Sharllote dan juga Azel, tinggi dua perempuan itu hampir sama, bahkan Azel lebih tinggi dibandingkan Sharllote. Jadi, wajar saja jika Azel menjadi seorang model. "Za, aku udah pesenin croissant sama s**u coklat panas buat kamu. Mau tambah lagi?" Tanya Sharllote. Zavier menggelengkan kepalanya. "Itu aja," "Okay." Azel tampak menahan tawa, "s**u coklat? Wow, kamu gak mau kopi?" Tanyanya menyindir. Sharllote merangkul bahu Azel dan membawanya duduk. "Zavier kurang suka kopi pagi-pagi." Ucapnya. Azel menatap Zavier dan menjulurkan lidahnya. "s**u--" "Kamu." Potong Zavier yang berhasil membuat Azel melotot tajam juga Sharllote yang tampak terkejut. Mereka pun menunggu pesanan. Azel duduk berdampingan dengan Sharllote, sedangkan Zavier duduk di hadapan keduanya. "Kak, Lo kayaknya tahu banget tentang Zavier. Kenapa gak nikah aja?" Tanya Azel dengan polosnya. "Sayangnya aku nikahin kamu. Kalau disuruh milih ya pilih Sharllote lah, daripada nikahin bocah." Ujar Zavier. Azel memutar bola mata sebal. "Mending ngomong dikit-dikit deh, kalo banyak suka nyakitin, lagian aku tanya Kak Sharllote." Ucapnya. Sharllote terdiam. Apa yang dikatakan Zavier itu benar? Apa dia benar akan menikahi dirinya jika tidak bersama Azel? Atau hanya sebuah candaan? Jika Zavier benar-benar memiliki perasaan lebih pada dirinya, maka Sharllote akan sangat senang. "Kak Shar, Kakak ini--" "Can you stop asking?" Tanya Zavier. "Bawel." "Dih, terserah aku dong." Sahut Azel. Sharllote menyandarkan tubuhnya. "Zel, lo gak punya pacar? Maksud gue tuh sebelum menikah," Azel menggelengkan kepalanya, "Gak ada. Pacaran cuma pas kelas 1 sama 2 SMA," Sharllote mengangguk paham. "Kak Sharllote sendiri?" "Belum ada," jawab Sharllote. "Terlalu pemilih." Ucap Zavier. Sharllote menyipitkan matanya, ia tak suka disebut seperti itu. "Bukan pemilih, emang belum ada yang cocok aja." "Mungkin emang bukan cowok-cowok itu yang Kak Sharllote mau," ucap Azel. Sharllote mengedipkan sebelah matanya. "Tepat sekali," "Kamu gak pernah ngasih tahu lagi suka sama siapa. Sekarang kasih tahu, biar aku bantu." Ucap Zavier. Sharllote tersenyum miris, "Kapan-kapan deh, soalnya cowok itu udah gak sendiri juga." "Usahain secepatnya," ucap Zavier. "Udah Kak santai aja, jangan dengerin Zavier. Nikmatin aja dulu masa-masa sendirinya, masih banyak cowok ganteng diluaran sana." Ujar Azel. "Harus pelan-pelan kalau memilih pasangan," sambungnya. Sharllote mengangguk setuju. "Gak tahu nih, maksa-maksa mulu. Padahal yang belum nikah kan gue." Zavier mengangguk paham. "Justru karena itu, aku udah menikah. Walau kita masih sahabatan, tapi pasti ada yang beda." Ucapnya. Azel terdiam. Begitupun dengan Sharllote. "M-maksudnya?" "Ada prioritas lain di hidup aku. Selain keluarga aku, sekarang ada istri aku. Seenggaknya kalau kamu udah nikah, kamu bisa ada yang nemenin." Ucap Zavier memberikan penjelasan. Sharllote terdiam, karena secara tidak langsung Zavier telah memberikan jarak kepadanya. Dan Azel? Dia tertegun mendengar penuturan sang suami. Walaupun keduanya sudah dipastikan tidak saling memiliki perasaan, tapi pria itu memasukan dirinya ke dalam prioritas. Deg deg. Azel memegangi dadanya. "What just happen to me? Masa baper sih," Bingungnya. Zavier menepuk tangan Sharllote lalu menunjuk Azel. "She is a good kisser." Damn! Serangan dadakan. Azel menggeram tertahan dengan tangan yang sudah mengepal kuat. "Orang lagi serius dengerin malah bahas kemana-mana, heran banget." Ucap Azel menahan rasa kesal. Sharllote tertawa perih. Sahabat masa kecilnya sudah menikah. Lalu apa yang akan terjadi pada dirinya? Selama ini ia selalu berbagi segalanya bersama Zavier, entah itu kesenangan atau kesedihan. "Kita gak akan pergi liburan berdua lagi dong," ucap Sharllote sedih. Zavier hanya tersenyum. Begitupun dengan Azel yang mulai merasa bersalah. "Keluarga siapa sih yang ngajuin perjodohan duluan, kan jadi ngerasa bersalah nih gue." Gumamnya dalam hati. Dab akhirnya pesanan merekapun telah siap dihidangkan. "Makanannya dataaang!" Pekik Azel penuh semangat. Perutnya sudah sangat keroncongan. ***** Setelah sarapan, mereka kembali melanjutkan perjalanan. "Za," panggil Azel pelan. Zavier meliriknya sekilas. "Hn?" "Masih jauh?" "Enggak." Jawab Zavier singkat. "Oh." "Iya." Sahut Zavier. "Ok" Azel menggeram dalam hati. Sangat singkat, padat dan menyebalkan. Batin Azel. "Za, Om sama Tante sehat?" Tanya Sharllote. "Heem." Jawab Zavier. Sharllote tersenyum senang, "Aahh gak sabar mau ketemu Tante Nathalie..." Membahas Bundanya Zavier, Azel jadi kembali teringat Mamahnya. "Za, setelah ini, kita akan tinggal dimana?" Tanya Azel. "Di rumah," Azel memutar bola mata sebal. "Rumah siapa?" "Kita, kenapa?" Azel menghembuskan nafas berat. "Kenapa gak tinggal di rumah aku aja, di rumah aku sepi kok. Aku kan anak tunggal," Zavier tampak diam. Azel mengamati ekspresi sang suami yang ternyata tidak berubah sama sekali, hanya datar. "Zel, mungkin biar adil." Ucap Sharllote. "Zavier kan anak tunggal juga," lanjut Sharllote. Azel baru ingat akan hal itu. Ia pun menghela nafas pasrah. "Apa rumah yang akan kita tinggali udah ada?" Tanya Azel pada Zavier. "Belum. Kita akan membicarakan itu nanti." Jawab Zavier. Azel menegakkan posisi duduknya. "Kalau gitu sebelum kita pindah rumah, boleh kan kita tinggal di rumah orang tua aku? Emh, kita seling aja. Abis itu nginep di rumah orang tua kamu atau kita tinggal di rumah masing-masing aja dulu?" Zavier hanya melirik Azel sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan tanpa memberikan jawaban. "Za, jawab dong!! Cape gue ngomong mulu." Kesal Azel. Zavier menambah kecepatan laju mobilnya ketika sebuah gerbang menuju komplek perumahan elite San Minerva mulai terlihat. "Kita masih punya waktu untuk membicarakan itu." Ucap Zavier. "Ngomong gitu aja lama banget. Heran." Ucap Azel ketus. Sharllote mengusap bahu Azel. "Calm down," Azel mengangguk dan menurunkan kursinya agar ia bisa lebih bersantai. "Jangan tidur, bentar lagi sampe." Ucap Zavier. "Ye." Sahut Azel. ***** Bersambung.... Semoga suka... Jangan lupa komentarnya ya... Find me on IG : dtjwt.e
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD