[Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat]
Tempat yang tenang dan nyaman, kota yang damai dengan suhu udara yang relatif dingin.
Ranjiel yang baru saja turun dari mobil harus merapatkan jaketnya, ia menatap sekitar, dan melihat begitu damai dan teraturnya tempat tersebut.
Semuanya bersih, tertata, dan walau matahari terlihat terik, tetapi udaranya tetapi sejuk.
Di sinilah Ranjiel saat ini, ia meninggalkan Indonesia dan menempuh jarak nyaris delapan belas jam hanya untuk sampai di Amerika.
Pemuda itu benar-benar merasa senang tatkala matanya melihat bangunan kampus yang begitu megah dan juga indah. Suatu kebanggaan baginya bisa diundang oleh Harvard untuk bergabung, dan karena hal itu semangat dalam dirinya semakin membara.
Universitas yang terletak di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat ini berdiri sejak tahun 1636. Selain karena kekuatan akademisnya, universitas ini adalah universitas yang tertua di Amerika Serikat. Tak heran bila proses seleksi untuk bisa menjadi mahasiswa di Universitas Harvard sangat ketat sekali.
Tetapi sekali lagi ...
Itu semua tidak berlaku untuk Ranjiel. Dia masuk, dan bisa berkomunikasi dengan orang-orang di dalam sana karena prestasinya. Bukan hanya itu, selama bersekolah Ranjiel memang sudah berjuang sangat keras, menjaga dirinya dengan baik, dan mempertahankan nilainya agar tetap memenuhi standar yang menyilaukan.
Tentu saja bukan hal aneh jika Ranjiel sangat bersemangat, di hari ia menerima surat kelulusan, di hari itu pula ia memutuskan untuk pergi dan mencari jati diri yang lebih baik.
Ranjiel melakukan semua itu karena benar-benar ingin angkat kaki secepat mungkin dari Indonesia, dan datang untuk menerima semua timbal balik dari perjuangannya. Ia sudah tak sabar untuk melihat tempatnya melanjutkan pendidikan, dan jelas saja ... semangat dalam dirinya sedang menggebu-gebu.
Perlahan ... pemuda itu melangkah masuk ke halaman kampusnya, senyuman dibuat begitu manis, dan matanya berbinar karena masih terkagum-kagum.
Karena rasa senang ia langsung datang ke tempat tersebut, tanpa mengunjungi tempat tinggalnya terlebih dahulu, apalagi meninggalkan barang-barangnya di sana.
Di awal musim semi, hidupnya juga bersemi. Itulah yang Ranjiel pikirkan saat ini, jantungnya berdetak kencang tatkala menginjakkan kaki pada tangga, dan rasa gugup mulai menghampiri.
Tenang ...
Dia harus setenang mungkin sekarang. Tidak ada waktu untuk mundur, sekarang ia harus melanjutkan semuanya dengan baik dan benar.
Sekali lagi Ranjiel menguatkan diri, ia belum harus mati karena penyakit jantung. Pemuda itu melangkah lebih cepat, matanya kembali menatap sekitar.
“Ranjiel!”
Ranjiel Nyang baru saja ingin bersenang-senang harus menghentikan segalanya, segera pemuda itu mencari orang yang memanggil, dan terkejut saat melihat gadis manis dengan gaun putih sebatas lutut.
“Welcome to Harvard, I’ve been waiting for you so long!” Vierra merentangkan tangannya, ia kemudian menunggu reaksi Ranjiel.
Wajah pemuda itu berubah menjadi datar, ia kemudian menghela napasnya berat. “Vier, pakek bahasa Indonesia aja. Susah amat sih jadi orang?”
Vierra tertawa cekikikan, ia kemudian melangkah ke arah Ranjiel, dan langsung tersenyum penuh arti.
“Selamat datang di Harvard, aku sudah lama menunggumu.”
“Nah gitu, kan lebih enak.” Senyuman Ranjiel kembali merekah, sedetik kemudian ia juga harus berhenti karena kaget.
Vierra yang tak terduga mencium pipinya, lalu dengan wajah tanpa dosa gadis itu melompat-lompat karena kegirangan.
“Asik ... berhasil nyium Anjiel. Hehehehe ... cieee udah jadi bujangan di Amerika, makin sayang deh.”
“Apaan sih lo, nyosor aja kerjaannya.” Ranjiel membuang muka, ia terlihat sebal.
“Kalo Vier minta ijin, pasti nggak dikasi ama Anjiel. Ya curi aja, polisi nggak akan Bangkep Vier kok.”
Ranjiel lagi dan lagi harus menghela napas. Baiklah ... musim semi, hari pertama di Amerika, dan hari itu juga seorang gadis mencuri ciuman dari pipinya.
Di kota yang baru, negara baru, musim baru, dan pada lembaran hidupnya yang baru. Vierra ... sepupu sahabatnya ... gadis cerewet itu berhasil membuat semua kisahnya berantakan.
“Anjiel mau ke mana? Biar Vier anterin. Mau keliling kampus? Mau keliling kota? Atau mau ke pelaminan Ama Vier?”
Sekali lagi Ranjiel hanya bisa pasrah dengan keadaan. “Vier, gue capek, gue mau balik aja ke apartemen.”
“Loh, kok balik? Vier dateng ke kampus buat ketemu Anjiel loh. Terus mau ajakin Anjiel keliling-keliling.”
Ranjiel tersadar, ia kemudian berkacak pinggang. “Lagian lo kok bisa di sini sih? Ngapain coba?”
Vierra tersenyum malu-malu, ia kemudian terlihat begitu manis di hadapan Ranjiel.
“Bukannya jawab malah senyam-senyum,” protes Ranjiel cepat.
“Vier kuliah di sini juga, Vier ikut program cepet lulus biar bisa ketemu Anjiel terus.”
Savage ...
Itulah yang ada di otak Ranjiel.
Bukan hanya datang di hari pertama dirinya ke Amerika, bahkan Vierra juga menempuh pendidikan di tempat yang sama dengannya.
Entah itu keberuntungan, atau sebuah kesialan. Ia tahu ... gadis itu tidak akan melepaskannya begitu saja.
Sejak dulu Vierra sudah seperti lem gila, menempel padanya, dan tak akan mau berpisah dengannya.
Gadis itu sudah sering mengatakan cinta untuknya, tetapi ia hanya menanggapi perasaan Vierra dengan sikap biasa saja.
“Anjiel nggak seneng ya? Padahal Vier udah berjuang buat bisa sama-sama ama Anjiel loh.”
Ranjiel akhirnya tak tega, ia tersenyum. “Seneng kok, Vier udah dewasa. Vier juga pinter, tapi sikapnya masih ngeselin. Jangan terlalu over yah, jangan terlalu mencolok. Kita di sini buat belajar, terus juga ... Vier jangan jadiin Anjiel patokan buat maju. Paham?”
Vierra mengangguk, senang karena Ranjiel mengucapkan semuanya dengan begitu lembut. Tidak ada kata ‘lo’ atau ‘gue’ dalam kalimat sang pujaan hati.
“Paham nggak? Malah ngelamun.”
Vierra mengangguk. “Anjiel mau ke mana? Vierra anterin deh.”
“Kan udah dibilang, mau pulang aja.”
Vierra cemberut.
“Mukanya jelek kalo model begitu,” ujar Ranjiel kemudian.
“Temenin Vier makan aja di kantin, mau, kan?”
“Gue nggak laper!”
“Tuh kan ... ngomongnya pakek ‘gue’ lagi.”
“Bawel,” komentar Ranjiel dengan singkat.
“Ayo, makan sama-sama. Yah ... yah ... yah ....”
“Kan udah dibil-” Ranjiel langsung berhenti bicara, perutnya sudah menyuarakan kejujuran yang tak bisa diganggu-gugat.
“Tuh, kan, cacingnya demo.”
Ranjiel lagi dan lagi hanya bisa diam, seharusnya ia cepat meninggalkan Vierra dan membiarkan gadis itu sendirian.
“Ayo,” ujar Vierra. Ditariknya tangan Ranjiel, membawanya masuk ke dalam gedung, dan menuju ke arah kantin.
Pemuda itu tidak ingin melawan lagi, semuanya tetap saja sia-sia, dan buang-buang waktu. Sekarang lebih baik ia menjadi penurut, mengisi perutnya, lalu akan lari dan tak bertemu dengan Vierra kecuali takdir membawanya.
Sepanjang perjalanan ke kantin, banyak orang-orang yang menatapnya dan Vierra. Hal yang juga sering terjadi di Indonesia jika melihat ada orang asing masuk ke lingkungan yang sesungguhnya juga asing, tidak mengganggu, satu yang pasti banyak manusia akan berpikir Vierra dan dirinya adalah sepasang kekasih.
“Anjiel nanti mau makan apa? Biar samaan ama Vier.”
Ranjiel melirik Vierra. “Jengkol rendang, tumis pete, nasi uduk, sama nasi padang.”
Tawa Vierra kembali terdengar, dan Ranjiel memutar bola matanya jengah.
“Mana ada yang begituan di sini. Anjiel kalo ngelawak nggak lucu,” ujar Vierra.
“Kan gue bukan pelawak,” sahut Ranjiel.
“Iya, Anjiel calon suami Vier ... emang bukan pelawak.”
Ranjiel menghela napas, entah sudah berapa kali dalam waktu kurang dari satu jam. Ia memang harus memasok kesabaran, tujuannya agar tidak bertindak kasar atau melukai Vierra dengan ungkapan kata.
__
NOTE : Jangan lupa komentarnya yah ^_^