PART 5 - BUKAN IMPIAN NILAM.

1232 Words
Entah sudah berapa lama ia tertidur. Yang jelas, Nilam merasa tidurnya terganggu ketika sebuah suara terdengar di depan wajahnya. "Nilam, bangun. Kita sudah sampai." Nilam membuka mata. Ia tersentak ketika melihat wajah Restu tepat di depan wajahnya. "Ma-maaf, aku tertidur." Lekas Nilam mengangkat kepalanya, dan ia meringis ketika menyadari sudah tertidur di bahu Restu. Semoga dia gak marah. "Kita sudah sampai." Kembali suara Restu berubah menjadi dingin. Nilam turun dan memandang rumah di depannya. Ya ampun. Mewah sekali rumah ini. Nilam tidak berdusta, di depan matanya, tampak sebuah rumah yang bisa dibilang sangat amat megah sekali. Dua buah pilar besar bak tiang penyangga, menambah kemegahan rumah yang dari luar saja sudah terlihat besar. Pagar gerbangnya saja melebihi tinggi badannya. Sungguh, seumur hidup Nilam ia tak pernah bermimpi akan masuk ke dalam rumah semewah ini. Hanya di televisi ia bisa melihat rumah semewah ini. Entah apa isi rumah ini, dan berapa orang yang tinggal di sini? Tapi Nilam ingat, Ibu mertuanya mengatakan yang tinggal hanya dia dan Restu, juga satpam, supir dan asisten rumah tangga. Mubazir sepertinya rumah sebesar ini hanya diisi sedikit orang. Pantas kak Murni berkata, calon suaminya kaya raya. Ternyata Restu ini memang orang kaya. Apa ya kerjanya sampai punya uang sebanyak ini? "Nilam." Panggilan Elsi membuat Nilam menoleh. "Ya Ma." "Ayo kita masuk ke dalam." Nilam mengangguk dan mengikuti langkah Elsi ke dalam. Sementara kursi roda Restu didorong Pak Satpam ke dalam rumah. Begitu pintu utama dibuka, Nilam tercengang. Jika dari luar rumah ini terlihat megah, maka isinya jauh lebih megah. Ini bukan rumah, tapi lebih mirip istana. Satu set sofa coklat terdapat di ruang pertama yang Nilam yakini ruang tamu. Lampu gantung yang pastinya mahal harganya, tergantung dan menambah kesan mewah dan elegan. Tirai tinggi terpasang di setiap jendela kaca. Nilam yakin, seumur hidup pun ia tak akan bisa memiliki rumah ini, andai bekerja membanting tulang. "Ini rumah kamu dan Restu sekarang." Elsi yang mengetahui bagaimana terkesima Nilam pada rumah milik Restu tersenyum. Semoga Nilam menjadi istri yang berbakti buat Restu. "Nanti Mama akan datangkan asisten Mama dari butik. Baju kamu yang kamu bawa ini sepertinya harus ganti semua." Elsi menatap keseluruhan tubuh Nilam, juga pada tas yang baru saja diletakkan di samping Nilam oleh asisten rumah tangganya. "Tapi ... baju saya masih layak pakai kok Ma." Elsi merangkul bahu menantunya. "Nilam, kamu sekarang istri Restu, putra saya." Nilam menoleh ke arah Restu yang menatapnya dingin. "Penampilan kamu harus dijaga. Gak bisa kamu sembarangan kaya gini berpakaian. Kehormatan Restu bisa tercoreng kalau pakaian kamu saja kalah bagus sama si Yuyun." Nilam mengernyit bingung. "Yuyun?" "Yuyun, asisten di rumah ini. Jadi untuk sekarang kamu akan dibantu Yuyun dan Bik Dasih, juga supir dan satpam. Kemungkinan akan ada karyawan Restu yang datang ke sini, untuk perihal pekerjaan. Jadi, jangan buat anak saya malu, dengan penampilan kamu yang kayak gini. Mengerti." Nilam mengangguk. "Terserah Mama saja." "Bagus." Memang itu yang Elsi mau. Menantu dan istri yang penurut. "Ayo Mama ajak kamu keliling rumah ini." Elsi mengajak Nilam ke dalam rumah. Rumah ini ada empat kamar tidur yang besar, juga ada ruang keluarga, ruang makan dan ruang khusus untuk menonton televisi. Pusing sekali Nilam melihat ruangan rumah ini yang tampak besar dan mewah. Kamar mandi ada di setiap kamar. Juga ada taman belakang yang luas dan gazebo di samping kolam renang. Benar-benar mewah. "Ini kamar kamu dan Restu." Elsi membuka kamar itu lebar-lebar. Sebuah kamar dengan tempat tidur besar. Ada tiga buah lemari, meja rias, satu set sofa dan televisi yang sangat besar. "Saya tidur di sini Ma?" Nilam merutuk dalam hati. "Memang kamu mau tidur di kamar Yuyun?" Elsi balik bertanya, lalu menutup pintu kamar itu. Ia menatap Nilam dengan pasti. "Ingat Nilam. Kamu sudah menikahi putra saya. Apapun yang terjadi di depan nanti, kamu harus menjadi istri yang berbakti, paham?" "Paham Ma." Nilam mengangguk. Kembali Elsi melangkah ke arah depan, dimana Restu masih di ruang tamu. "Restu, Mama sudah memperlihatkan semua isi rumah pada istri kamu. Sekarang Mama mau pulang." Elsi mengecup puncak kepala putranya. "Nilam, kabari Mama kalau ada apa-apa." "Baik Ma." Nilam dan Restu memandang kepergian Elsi. Tiba-tiba Restu menggerakkan kursi rodanya. Kursi roda yang Restu pakai menggunakan remot control di handel. "Kamu butuh sesuatu?" Restu sama sekali tidak menjawab. Ia langsung mengarahkan kursi rodanya ke dalam. Nilam mau tak mau mengikuti, karena ia harus memastikan Restu baik-baik saja. Ternyata Restu menuju sebuah pintu. Yang jelas bukan kamar mereka. Mau kemana dia? Restu membuka pintu itu perlahan. Nilam yang memang berdiri di belakang Restu bisa melihat jika pintu yang dibuka suaminya seperti ruang kerja. "Jangan ganggu aku." Pintu itu dibanting tepat di depan mata Nilam. Nilam mengusap dadanya. "Nyonya." Nilam terjengkit. "Eh maaf saya gak bermaksud membuat Nyonya kaget." "Ada apa Yuyun?" tanya Nilam pada salah satu asisten rumah tangganya. "Saya harap Nyonya bersabar ya." "Yuyun, jangan panggil saya Nyonya, nama saya Nilam." Yuyun tersenyum. "Ih masa saya panggil nama, nanti ibu suri ngamuk." "Ibu Suri?" "Nyonya Elsi." Oh, ibunya Restu. Sementara di dalam ruangan, Restu mengarahkan kursi rodanya ke sebuah meja. Matanya memindai sebuah bingkai foto yang sering ia tatap lama-lama. Telapak tangannya terulur dan meraih bingkai foto itu. Mengusap perlahan dan hati-hati pada seraut wajah yang tampak cantik dan berkelas itu. "Aku kangen kamu," bisiknya. Lalu ia memejamkan mata. Tak lama rahang Restu mengetat, tangannya mencengkram pigura itu, bersamaan dengan air mata yang jatuh dari sudut matanya. "Argh ....!" Terdengar suara benda jatuh dari dalam ruangan. Nilam dan Yuyun tersentak. "Apa itu Yun?" tanya Nilam khawatir. "Sepertinya dari dalam bu," unjuk Yuyun pada ruang kerja Restu. Nilam beranjak hendak membuka pintu. "Jangan bu!" cegah Yuyun. "Kenapa?" "Pak Restu marah kalau diganggu." "Tapi saya khawatir terjadi sesuatu padanya." Nilam tak peduli, ia membuka pintu dan tercengang. Ruang kantor itu tampak berantakan dengan pecahan kaca yang Nilam rasa dari sebuah pigura yang terbanting ke lantai. Nilam melangkah masuk. "Siapa yang menyuruhmu masuk!" teriak Restu kesal. "Kamu gak apa-apa?" Berusaha mendekat, tapi kemudian kembali telinganya mendapatkan bentakan. "Jangan mendekat!" Nilam berhenti. Ia hanya ingin memastikan suaminya baik-baik saja. Jelas Nilam melihat Restu bak orang terluka. Lalu matanya menunduk menatap pigura yang terbalik. Nilam berjongkok. "Berhenti! Jangan sentuh!" Tangannya yang sudah terulur hendak meraih bingkai foto, mendadak urung. "Aku tidak suka kau menyentuh barang milikku tanpa izin!" Nilam bingung. "Keluar," desis Restu. "Keluar!" Kali ini teriakan Restu membahana. Seketika Nilam merasa ketakutan. Sungguh, wajah Restu yang begini membuatnya takut setengah mati. Sorot matanya menghunus tajam, seakan lelaki ini tak mau lagi menyembunyikan angkara murkanya. "Ba-baik." Nilam kembali bangkit dan mundur perlahan. "Yuyun!" Teriakan Restu terdengar bersamaan dengan langkah Yuyun dibelakang Nilam. "Ya Tuan." "Bereskan kekacauan ini, dan tutup pintunya!" "Baik Tuan." Nilam bahkan masih mendengar suara Restu ketika pintu ditutup Yuyun. "Jangan biarkan wanita itu menyentuh barang-barang milikku di rumah ini." Nilam memegang dadanya sambil bersandar di dinding samping pintu. "Sabar Nilam, kamu pasti bisa." Ia menutup matanya, berusaha menyisihkan sedikit demi sedikit rasa sesak di dalam d**a. Ia bahkan sudah berusaha menerima takdirnya, tapi kenapa lelaki itu tetap saja bersikap kasar padanya. Ini bukan maunya. Ia tidak punya pilihan. Dengan membekap mulutnya, Nilam terisak sedih. Ia di sini berstatus seorang istri, tapi suaminya pun menatapnya sebelah mata. Seperti seorang pencuri, seperti itu Restu menatapnya. Andai Restu tahu apa yang Nilam inginkan dalam hidupnya. Tidak, ia tidak pernah berharap akan menjadi istri Restu. Nilam pikir lelaki itu akan menjadi kakak iparnya, andai tidak ada tragedi yang menewaskan sang kakak, Murni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD