"Aku gak mau, Tante. Aku gak mau nikah sama laki-laki tua itu. Aku mohon, jangan paksa aku, Tante," tolak Senja tegas saat tantenya bernama Anita, menyuruhnya bersedia dinikahi seorang lelaki berusia 55 tahun.
"Tante juga gak mau kamu nikah sama dia, Senja. Tapi, Tuan Hendry menginginkanmu. Kalau kamu gak mau nikah sama dia, maka nyawa paman dan tantemu ini akan melayang." Suara Anita bergetar. Hatinya diliputi ketakutan dan tak tega membayangkan Senja berumah tangga dengan lelaki yang memiliki banyak istri, mafia kejam dan sering bertindak semena-mena itu.
"Tapi, Tante, kenapa harus menikah dengannya? Apakah utang paman enggak bisa dibayar dengan uang?"
Senja dan Hendry pernah satu kali berjumpa pada saat mendatangi rumahnya. Di situlah, Hendry mulai terpesona dengan kecantikan Senja.
"Uang?" Sepasang mata Anita memicing, suaranya terdengar lirih.
"Uang dari mana, Senja? Utang pamanmu satu Milyar lebih. Apa kamu punya uang sebanyak itu?" sambung Anita miris. Senja terkejut mengetahui jumlah utang pamannya pada Tuan Hendry. Satu Milyar? Banyak sekali.
"Bu-bukannya kedua orang tuaku meninggalkan banyak warisan, Tante? Jual saja aset kekayaan yang dulu orang tuaku tinggalkan, Tante. Aku ikhlas."
Pernyataan Senja membuat sikap Anita berubah gusar. Sesaat, wanita itu berpikir sebelum menjawab pertanyaan keponakannya. Kemudian, mengubah posisi duduk, membelai rambut panjang gadis berkulit putih itu.
Senja Aurora, seorang gadis berusia 23 tahun. Berkulit putih, rambut panjang bergelombang, dan memiliki postur tinggi tubuh semampai. Gadis yang baru satu tahun menjalani usaha butik dan juga menekuni bisnis online shop, kini dihadapkan pilihan hidup yang menyulitkannya. Sedikit pun tidak ada keinginan menikah muda apalagi dinikahi lelaki tua bangka. Sungguh menakutkan.
"Senja, orang tuamu meninggal sejak kamu masih SMP. Semua harta warisannya sudah habis untuk biaya hidup kamu dan juga pendidikanmu."
Anita berbohong. Sebenarnya sebagian harta warisan kedua orang tua Senja dihabiskan Gunawan untuk berjudi dan bisnis haram lainnya. Jika mengingat kelakuan suaminya, Anita sangat geram.
"Kamu tentu tau, selama ini kerjaan pamanmu berjudi dan melakukan bisnis ilegal bersama mafia itu. Semua ini memang salah pamanmu, Senja. Kalau saja dia tidak hobi berjudi dan menjalin kerja sama dengan Tuan Hendry, mungkin kita tidak akan terjebak pada situasi seperti sekarang. Percayalah, Tante juga gak rela kalau kamu dinikahi Tuan Hendry. Tante ingin kamu menikah dengan pria yang kamu cintai dan mencintaimu. Tapi, sekarang harus bagaimana lagi? Tuan Hendry hanya memberi dua pilihan. Dibayar dengan uang atau dibayar dengan menikahimu."
Anita merasa sangat bersalah mengatakan keinginan Hendry Abraham. Sebulir air mata berhasil lolos namun segera ia menyekanya.
Kedua mata Senja terpejam. Pikirannya sudah buntu. Tidak tahu cara menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi. Uang satu Milyar sangat banyak. Mau cari pinjaman kemana uang sebanyak itu?
Tiba-tiba terdengar dering handphone milik Anita. Wanita itu menyeka air mata kasar sebelum mengangkat panggilan video call dari nomor yang tidak dikenal. Jantung Anita berdetak lebih kencang. Senja menoleh, memerhatikan ekspresi wajah tantenya.
"Siapa yang menelepon, Tante?"
"Tidak tau. Tante angkat dulu."
Sambungan video call itu telah terhubung. Namun, belum sampai satu menit, kedua mata Anita dan Senja membeliak tak percaya melihat Gunawan duduk di atas kursi, kedua tangan dan kedua kaki yang terikat.
"Anita, Senja, tolong aku! Tolong bebaskan aku dari sini. Tolong ...!"
Teriakan Gunawan membuat kedua wanita itu menutup mulut, menggelengkan kepala berulang kali. Anita dan Senja tidak tega melihat keadaan Gunawan yang memprihatinkan. Lalu, pistol ditempelkan seseorang pada pelipis Gunawan. Sontak, Anita dan Senja berteriak histeris.
"Jangan bunuh pamanku! Aku mohon jangan!" cegah Senja ketika tangan yang memegang pistol hendak menarik pelatuk.
"Bagaimana? Apa kalian ingin lelaki tidak berguna ini tetap hidup? Aku tau, sekarang kalian tidak punya harta yang berharga kecuali gadis bernama Senja. Jika ingin Gunawan bebas, Senja harus bersedia menjadi istriku. Apa kalian setuju? Kalau setuju, aku akan mengutus anak buahku menjemput Senja malam ini juga. Kalau tidak setuju? Kalian tunggu saja bangkai lelaki ini sampai di depan rumah."
"TIDAK ...!"
Senja dan Anita kembali berteriak. Mereka memeluk satu sama lain. Senja sudah dianggap selayak anak sendiri oleh Gunawan dan Anita. Mereka memang tidak memiliki buah hati. Pernikahan yang sudah berjalan dua puluh satu tahun, tak jua dikaruniai keturunan. Hanya Senja, yang menjadi teman Anita ketika menjalani hari-harinya.
Senja menangis tersedu-sedu melihat keadaan pamannya. Terlihat luka lebam pada wajah Gunawan. Juga tetesan darah yang keluar dari sudut bibir. Hati Senja begitu sedih dan hancur. Haruskah ia bersedia dinikahi Tuan Hendry? Senja tidak dapat membayangkan jika dirinya menjadi istri dari seorang pria tua dan kejam seperti Hendry Abraham.
"Aku tunggu jawaban kalian 60 menit dari sekarang." Sambungan telepon terputus.
Tubuh Anita dan Senja lemas. Mereka bersandar di sofa. Air mata dibiarkan mengalir begitu saja. Senja semakin bingung. Antara menyelamatkan nyawa pamannya atau justru membiarkan Gunawan mati ditangan ketua mafia itu.
"Tan-Tante." Suara Senja bergetar. Ia memeluk bahu Anita, menangis tersedu-sedu. Penuh kasih sayang, Anita mengusap lembut punggung tangan Senja.
"Senja, mungkin ki-kita biarkan saja pamanmu mati di tangan mereka."
"Enggak, Tante! Paman harus hidup. Paman gak boleh mati. Aku tau, Tante sangat mencintai paman," sergah Senja melepaskan rengkuhannya.
Hati Anita diselimuti kebimbangan. Satu sisi ia mencintai suaminya meski telah melakukan kesalahan. Sisi lain, Anita tidak rela jika anak kakak kandungnya dinikahi oleh lelaki kejam seperti Hendry Abraham. Anita mengembuskan napas, berharap sesak dalam dadanya berkurang.
"Biar saja, Senja! Mungkin ini adalah balasan atas kejahatan yang dilakukan oleh pamanmu. Tante sudah sering memperingatkan dia agar jangan melakukan bisnis hitam. Tante sudah melarang pamanmu agar tidak bekerja sama dengan Tuan Hendry dan berhenti berjudi! Tapi lihat sekarang kita yang tidak tau apa-apa harus menanggung kesalahannya. Tidak, Senja! Tante gak mau kalau harus mengorbankan kamu. Tante gak mau." Air mata Anita berderai seraya kedua tangannya menangkup pada pipi Senja. Keduanya menangis.
Kasih sayang Anita dan Gunawan sudah Senja rasakan sejak kepergian kedua orang tuanya. Kehadiran pasangan suami istri itu berhasil mengusir kesedihan Senja ketika kedua orang tuanya meninggal dunia. Lantas, apa salahnya jika sekarang Senja membalas kebaikan mereka?
Senja menurunkan kedua telapak tangan Anita. Menyeka air mata wanita yang sudah dianggap sebagai ibu kandungnya dengan lembut. Lalu, ia mengambil handphone. "Senja, apa yang kamu lakukan?" tanya Anita melihat gadis berambut panjang itu hendak menghubungi seseorang.
"Jangan, Senja! Tante minta maaf sempat menyuruhmu menikah dengan tua bangka itu. Senja, kamu telepon siapa, Nak? Kembalikan handphone tante, Senja!" Sergah Anita ketika Senja menekan nomor yang sebelumnya menghubungi mereka.
"Tante tenang dulu, ya?" titah Senja pada Anita yang berusaha merebut ponsel. Anita tak berdaya. Ia hanya terpaku melihat keponakannya tengah menunggu panggilan teleponnya diangkat.
"Bagaimana? Apa keputusanmu?"
Suara berat itu milik Hendry. Lelaki kejam, mata keranjang, dan suka bertindak semaunya. Sungguh, Senja sangat muak melihatnya.
"Aku Senja."
"Senja? Bagaimana, Senja sayang? Apa pilihanmu?"
Senja menelan saliva, kepalanya merunduk, dan kedua matanya terpejam sejenak. Lalu, dengan berat hati, Senja menjawab, "A-aku, aku bersedia ... bersedia kau nikahi. Asalkan kau bebaskan pamanku dulu!"