Belenggu 10

2015 Words
Daryl tampak sibuk mengerjakan pekerjaannya di laboratorium nya, menggabungkan sel telur milik Lizzie dan s****a miliknya kemudian menyimpannya di tempat yang suhunya rendah. Ia memperhatikan s****a milik Negan dalam tabung kecil, mengambil benda itu dan membuangnya ke tong sampah. Daryl melepas sarung tangannya dan masker yang menutup wajahnya. Ia membuang semua benda itu ke dalam tong sampah. Tersenyum puas dengan apa yang telah ia kerjakan hari ini. Daryl beranjak dari sana menuju lift yang akan membawanya naik ke lantai atas. Daryl membawa langkahnya menuju kamar Enid. Ia mengetuk pintu dan masuk tanpa izin. Ia memperhatikan gadis itu duduk diatas ranjang memainkan remote ac. “Kau sedang apa?” tanya Daryl menghampiri gadis itu. Enid memasang wajah kecut, “kau tidak bisa melihatnya? Aku bosan dikurung terus disini,” kata Enid dengan raut malas. Daryl menarik kursi meja rias untuk ia duduki ia memperhatikan wajah Enid dengan seksama dan Enid menyadari itu. “Jangan memperhatikan aku sedetail itu, nanti kau jatuh cinta.” kata Enid menekan-nekan tombol remot ac. Daryl terkekeh mengejek, “kau bukan typeku,” katanya mengangkat kaki bersila. “Baiklah, kau hanya menyukai Lizzie,” “Tentu saja,” “Kau sedang apa disini?” Ketus Enid dengan berani. "Kenapa ketus begitu?" "Itu karena aku tidak menyukaimu," "Kau tidak perlu menyukaiku dan aku juga tidak suka disukai olehmu," "Kau menyebalkan." Enid mencibirkan bibirnya. Hening “Aku ada kabar untukmu,” kata Daryl memecah keheningan yang tercipta di antara mereka. “Pastinya itu buruk untukku,” “Tentu saja tidak. Kau ingin mendengarnya?” “Katakanlah,” balas Enid masih dengan nada malas. “Kau akan menjadi ibu pengganti untuk calon anakku dan Lizzie,” kata Daryl penuh semangat. “dan sebelum kita melakukan transfer embrio pada rahimmu. Aku akan memberikanmu kesempatan untuk menikmati waktu.” ujar Daryl. “Waktu? Maksudnya?” “Kau boleh keluar masuk tempat ini sampai waktu yang aku tentukan,” Enid tampak berpikir, mungkin ini akan menjadi kesempatannya melarikan diri dari tempat ini. Wajah gadis tampak bahagia. “Tapi dalam pengawasanku,” kata Daryl membuat cerah di wajah Enid seketika meredup. “Kenapa? Apa ini bukan kabar baik untukmu?” tanya Daryl. “Tentu saja tidak.” Daryl menghela nafas dalam-dalam, “pikirkan apapun keinginanmu, kau bisa temui aku di ruang kerjaku,” ucap Daryl, ia beranjak dari tempat duduknya. “Bagaimana kalau hari ini kau menemaniku menemui seseorang?” tanya Enid menghentikan langkah kaki Daryl di depan pintu. “Siapa?” “Kau akan tahu nanti,” “Aku tidak bisa tapi kau boleh pergi dengan anak buahku,” “Aku butuh kau yang menemani bukan anak buahmu,” Daryl mengerutkan keningnya, berbalik melihat Enid di ranjang. “siapa yang ingin kau temui?” tanya Daryl penasaran. “Kau akan tahu nanti,” Daryl mengangguk kecil, “baiklah,” ucap Daryl dan berbalik meninggalkan kamar itu. Enid menarik sudut bibirnya, “saatnya memberimu pelajaran,” gumam Enid beranjak dari tempatnya. Ia menggulung semua rambutnya ke atas dan mengikat dengan ikat rambutnya. Enid membawa langkahnya keluar dari kamar menemui Daryl di ruang kerjanya. “Ayo,” ajaknya. Kening Daryl berkerut tebal melihat penampilan Enid. “kau akan keluar dengan penampilan begini?” tanya Daryl. “Hei Tuan, aku disini korban penculikan kau pikir saat diculik aku sempat membawa pakaianku?” Enid melipat lengan di depan dadanya. Daryl menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Kemudian ia bangun dari posisi duduknya mengambil kunci mobil dari meja kerjanya. “Jadi kita pergi kemana?” tanya Daryl berjalan menghampiri Enid. “Kesuatu tempat,” kata Enid mengikuti langkah Daryl keluar ruangan itu. Daryl mengemudikan mobilnya memasuki basement pusat perbelanjaan sesuai permintaan Enid. Ia ingin mengubah penampilannya sebelum menemui seseorang. “Siapa yang ingin kita temui disini?” tanya Daryl mematikan mesin mobilnya. “Tidak ada, aku ingin menghabiskan sedikit uangmu. Kau keberatan?” Enid melepas seatbelt yang mengikat tubuhnya. Kedua alis Daryl bertautan, “tentu saja tidak, kau bisa belanja sepuasnya.” ujar Daryl. Enid turun dari mobil memperhatikan sekelilingnya. Mall ternama di pusat kota yang hanya dikunjungi orang-orang elite dan dia punya kesempatan untuk berkeliling di tempat itu. “Lewat sini,” ajak Daryl memandu jalan menuju lift. Enid mengikuti langkah pria itu masuk ke dalam lift. Daryl menekan tombol lift hingga pintu lift tertutup dan membawa mereka ke lantai atas. “Aku mau belanja pakaian,” ujar Enid, ia butuh pakaian untuk mengubah penampilannya. “Apapun yang kau butuhkan, kau boleh membelinya.” Daryl membawa gadis itu menuju store pakaian. Mereka disambut pegawai toko dengan ramah. “Silakan belanja, aku tunggu disini,” ujar Daryl. Pria itu duduk tempat duduk yang dikhususkan untuk pengunjung toko. Biarkan ia memanjakan Enid dengan uangnya. Gadis ini akan mengandung anaknya bersama Lizzie. Enid memulai memperhatikan satu demi satu pakaian dan memilih yang cocok untuknya. Enid melihat pakaian yang melekat pada patung, ia berpikir pakaian itu cocok untuknya. “Permisi, aku ingin gaun seperti yang di pakai manekin,” ujar Enid pada pelayan yang sejak tadi mengikuti langkahnya. “Baik Nona, akan saya ambilkan.” Sembari menunggu pegawai membawakan pesanannya Enid mengambil beberapa pakaian yang ia suka dan membawanya ke kasir. “Nona, ini pakaian yang anda minta.” ujar pegawai memberikan gaun yang sama seperti pada manekin, sebuah gaun berwarna peach tanpa lengan. “Terima kasih, aku akan mencobanya di ruang ganti.” Enid membawakan pakaian itu ke ruang ganti. Ia menanggalkan pakaiannya untuk kemudian mengenakan gaun itu. Enid melihat dirinya di depan cermin, bibirnya tersenyum kecil. Gaun itu sangat pas memeluk tubuhnya. Enid mencopot tag harga gaun lalu membawanya keluar bersama pakaian lamanya. “Bagaimana Nona? Anda menyukai gaunnya?” tanya pegawai toko yang berjaga di depan pintu ruang ganti. “Ini price tag nya, dan tolong berikan bag untuk pakaian lamaku,” ujar Enid memberikan kode harga yang dicopotnya dari gaun itu. “Baik,” Enid menghampiri Daryl yang tampak sibuk dengan layar ponselnya, “aku juga butuh tas dan sepatu yang mendukung gaun ini,” kata Enid memamerkan gaun yang melekat di tubuhnya. Daryl membawa tatapannya pada Enid memindai penampilan Enid dari atas hingga bawah. "Bagaimana? Apa aku terlihat cantik mengenakan gaun mahal ini?" tanya Enid. Daryl mengangguk kecil, "Yah lumayan," "Hanya lumayan? Kau sepertinya butuh kacamata tuan." "Kau ingin sekali dipuji rupanya?" lirih Daryl. Gadis itu tersenyum memamerkan sederet gigi putihnya. Jujur, Enid memang sangat cantik mengenakan gaun itu walupun tanpa polesan make up di wajahnya. Dan itu sedikit menggetarkan debar jantung Daryl. Pegawai toko membawakan nota pakaian dan memberikannya pada Daryl. “Ini nota belanjaanya, tuan.” ucapnya memberikan selembar kertas hasil print an. Daryl menerimanya dan melihat totalnya, ia mengeluarkan card dari dompetnya dan memberikannya pada pegawai. “Masih ada yang ingin kau beli dari toko ini?” tanya Daryl. “Cukup ini saja,” balas Enid. Tidak lama kemudian pegawai mengembalikan card milik Daryl serta membawakan belanjaan Enid yang sudah dikemas di dalam satu bag. “Terima kasih sudah berkunjung tuan dan nona,” ujar pegawai toko membungkukkan sedikit tubuhnya memberikan hormatnya. “Sama-sama,” balas Enid menenteng paper bag miliknya mengejar langkah Daryl. “Jadi kau ingin apa tadi?” tanya Daryl. “Tas, sepatu dan aksesoris,” ujar Enid menyamakan langkahnya dengan Daryl. “Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan,” Daryl membawanya masuk ke dalam toko tas. Enid mengambil satu tas warna merah dengan brand ternama dan harga yang cukup tinggi. Enid memberikannya pada pegawai toko dan Daryl melakukan pembayaran. Mereka berpindah ke toko sepatu. Enid mencoba beberapa pasang sepatu yang ia suka dan tentu nyaman ia kenakan. Dan memilih high heels yang senada dengan gaun yang ia kenakan. Setelah Daryl melakukan pembayaran Daryl membawanya menuju tokoh perhiasan. “Bagaimana kalau kau membantuku memilihnya satu,” ujar Enid menunjuk etalase perhiasaan. “Aku tidak tahu seleramu,” “Aku memintamu memilihkannya untukku, sesuai yang kau suka,” Daryl memperhatikan sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang. Ia menunjuk benda itu. Pegawai perhiasan mengambilnya dari dalam etalase memberikannya pada Daryl. "Bagaimana dengan yang ini?" tanya Daryl menunjukkan pilihannya. "Menurutmu apa aku cocok mengenakannya?" Enid balik bertanya. “Aku rasa ini cocok untuk lehermu,” “Kalau begitu tolong pakaikan,” ujar Enid memutar tubuhnya membelakangi Daryl lalu menyibak rambutnya ke satu sisi. Daryl menelan saliva melihat punggung Enid, putih bersih. Jantungnya kembali berdebar kuat, bekerja dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Daryl menggelengkan kepalanya tegas, kemudian melingkarkan kalung itu di leher Enid. “Terima kasih,” ucap Enid memutar tubuhnya menghadap Daryl. “pilihanmu lumayan juga,” Enid menyentuh liontin di depan dadanya. Ia tersenyum melihat pria itu. “Masih ada yang ingin kau beli?” tanya Daryl. Enid menggelengkan kepalanya, “aku rasa cukup,” ucap Enid. “Kalau begitu kita sudah bisa pergi?” Daryl memberikan card pada pegawai toko untuk membayar invoice liontin. “Iya, aku tunggu disana,” ujar Enid berjalan keluar toko sementara Daryl melakukan transaksi untuk pembayaran invoice perhiasan. Enid tidak sengaja melihat Lizzie bersama seorang pria bergandengan tangan berjalan menuju restoran. Enid yakin pria itu suami Lizzie. Enid tersenyum licik. “Sekarang katakan kita menemui siapa dan dimana kita menemuinya, ” ujar Daryl menghampirinya. Enid menipiskan bibir, timbul niat dalam pikirannya untuk masuk ke restoran yang baru saja dimasuki Lizzie bersama pria itu. Ia ingin melihat reaksi Daryl melihat kekasih yang sangat dicintainya bersama pria lain. “Aku merasa lapar, bagaimana kalau kita makan dulu?” Enid memegangi perutnya. “Ada kerjaan lain yang harus aku selesaikan. Kita temui orang yang ingin kau temui setelah itu pulang.” ujar Daryl mencoba menolak. “Tapi, aku tidak kuat lagi, aku benar-benar lapar,” rengek Enid. Daryl menghela nafas panjang, memasang raut kecut pada gadis itu. Ia tidak dapat menolaknya. “baiklah, kita makan,” ujar Daryl memutuskan. “Itu, itu, aku mau restoran di sana.” tunjuk Enid pada restoran di seberang toko tempat mereka berdiri. “Baiklah, ayo.” ajak Daryl menarik tangan Enid dan membawanya berjalan dengan langkah cepat menuju restoran itu. Enid mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan mencari keberadaan Lizzie, dan ia menemukan wanita itu duduk di salah satu meja pengunjung sedang menikmati makan siangnya. Enid sengaja mencari tempat berdekatan dengan posisi Lizzie. Disamping meja Lizzie ada meja kosong, Enid sengaja mengajak Daryl duduk disana. “Kau pesan apa?” tanya Daryl mengambil menu buku dari pelayan. “Beef Stroganoff, dan air jeruk.” ujar Enid. Daryl menuliskan pesanannya kemudian memberikannya pada pelayan. "tolong disajikan dengan cepat," kata Daryl "Baik tuan," Daryl memperhatikan sekitarnya dan tidak sengaja melihat Lizzie di tempat itu bersama Negan. Rahang pria itu mulai mengeras dan tatapannya tertuju pada Lizzie. Enid melirik lewat ekor matanya wanita yang tak jauh dari mereka, wanita itu tampak asyik berbincang bersama suaminya. Sesekali tertawa bahagia. “Tuan Daryl,” Enid sengaja menyebut nama Daryl dengan suara sedikit besar agar terdengar oleh Lizzie, dan benar saja nama itu menyentuh telinga Lizzie. Wanita itu menoleh ke arah mereka dengan raut pucat. "Terima kasih sudah mengajakku bersenang-senang,” kata Enid dengan sengaja, sementara Daryl masih terus menatap Lizzie yang tampak syok melihat mereka disana. “Sayang, ada apa?” tanya Negan. “Tidak apa-apa,” jawab Lizzie cepat, jangan sampai Negan curiga padanya. “Kau pucat,” “Oh iya? Ah aku merasa pusing, kita pulang saja," ujar Lizzie. “Kenapa tiba-tiba kau pusing? Kau ingin kita langsung ke dokter?" tanya Negan beranjak dari tempat duduknya. “Tidak perlu, kita langsung pulang saja dan istirahat.” "Baiklah, sini aku bantu." Negan membantu istrinya beranjak dari tempat duduknya, lalu merangkul pinggang Lizzie meninggalkan tempat itu. “Tuan Daryl.” panggil Enid. “Diam, ayo kita pulang,” ucap Daryl beranjak dari tempat duduknya dan menarik Enid keluar dari tempat itu, tak lupa meninggalkan kartu namanya di meja supaya pegawai restoran dapat menghubunginya untuk tagihan menu makan yang telah mereka pesan. “Tapi, kita belum makan Tuan.” ucap Enid mengikuti langkah Daryl. “Kau bisa makan di rumah.” “Ah …, ada apa denganmu?” tanya Enid berpura-pura. “Diam! Dan turuti saja apa kataku.” ucap Daryl dengan raut datar, melepas tangan Enid. Kemudian membawa langkahnya cepat menuju lift yang akan membawa mereka keluar dari tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD