Dalam Perjalanan

1283 Words
Sumarni menyalakan api unggun, Calvin sendiri mengumpulkan kayu di sekitar kemah mereka. "Tendanya hanya satu, jadi kita tidur bergantian ya," Kata Sumarni. Calvin mengeryit tak suka "Jadi maksudmu, semalaman harus menunggu di luar?" Sumarni mengangguk "Kalau gak begitu, nanti ada hewan buas kita gak tahu." Calvin mengeluh, "Oke, deh." tidak ada cara lain selain menurut, lagi pula sudah bagus Sumarni mau mengantarnya. Sumarni beranjak "Aku duluan, nanti sekitar dua jam kamu bangunkan aku, begitu seterusnya." Sumarni memasuki tenda yang di buat sesederhana mungkin untuk tidur lebih dulu. Calvin menunggu selama dua jam, dia bahkan menunggu sambil terkantuk- kantuk. Hingga setelah dua jam Calvin masuk ke tenda dan membangunkan Sumarni, lalu dia sendiri tertidur. Giliran Sumarni menunggu dan Calvin tertidur, begitu seterusnya mereka bergantian tidur, hingga waktu menjelang subuh Sumarni yang tertidur, tak menyadari jika Calvin tak berjaga dan justru tidur di sebelahnya. Meski tidur mata Calvin masih waspada, jadi saat mendengar bunyi di sekitarnya Calvin segera membuka matanya. Telinganya memindai apakah suara itu kembali muncul, namun Calvin menghela nafas lega saat tak mendengar suara apapun. Namun, setelah terjaga, matanya tak bisa lagi memejam. Calvin mencari posisi nyaman, agar kembali tidur, tak peduli dia giliran berjaga, Calvin ingin istirahat setelah seharian berjalan kaki, namun tetap saja rasanya tidak nyaman, mereka hanya tidur di atas matras tipis yang di bawa Sumarni dari gubuknya. Mungkin Calvin hanya tertidur karena benar- benar kelelahan tadi. Dan sekarang kantuknya tiba- tiba hilang. Calvin menggerakkan tubuhnya miring ke arah Sumarni yang terlelap di sebelahnya, gadis itu tak terganggu meski tidur di atas tanah yang keras, dia tetap mendengkur halus, dan bernafas dengan tenang meski sesekali dahinya mengeryit, seperti menahan sesuatu. Cukup lama Calvin terdiam menatap wajah Sumarni, kepalanya terus berpikir, bagaimana bisa ada manusia yang bertahan sendirian di dalam hutan dan dia seorang wanita. Calvin mengatakan, kalau dia tak peduli, tapi tetap saja ada setitik rasa penasaran di hati Calvin, apa yang terjadi pada Sumarni, hingga dia bisa berada di hutan yang berbahaya ini, meski Calvin belum menemukan kejadian berarti, tetap saja Sumarni seorang gadis. Calvin mengerjapkan matanya, saat mata Sumarni tiba- tiba terbuka dan menatapnya. "Kau?" Sumarni terbangun, "Kau tidak berjaga." Sumarni langsung waspada. "Aku lelah dan mengantuk, lagi pula di luar sangat dingin." Calvin mendengus lalu berbaring terlentang. "Tetap saja, Mister giliran berjaga." Sumarni membuka sedikit tirai, lalu menghela nafasnya lega, saat suasana diluar aman. "Lagi pula hari sudah mulai pagi." Calvin memejamkan matanya "Aku tidur sebentar," katanya lagi. Sumarni berdecak, lalu dia bergerak akan bangkit untuk berjaga di luar, namun, baru saja akan keluar dari tenda, Sumarni mendudukan dirinya kembali "Pusing," keluhnya. Sumarni mengerang saat merasakan kepalanya sakit "Ya, sudah. sebentar lagi juga pagi." Sumarni kembali membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya. *** Calvin terbangun saat hari sudah pagi, dan matahari menampakan sinarnya dari celah- celah pepohonan, mengingat jika mereka harus meneruskan perjalanan, Calvin berniat bangun, lalu membangunkan Sumarni. Namun, gerakan Calvin terhenti saat ada sesuatu yang mendesak di belakang tubuhnya. Calvin menoleh dan menemukan Sumarni tidur meringkuk seperti janin dan mendesak punggungnya "He-hei, apa yang kau lalukan?" Calvin tergagap, pasalnya Calvin merasakan tubuhnya langsung bereaksi saat bersentuhan dengan Sumarni. Ada apa dengannya? pasti ini karena dia sudah hampir satu minggu tak melakukan ena ena. "S- Sumarni?" Calvin mengeryit saat Sumarni hanya melenguh, bukan melenguh nikmat, namun terdengar juga ringisan dari bibirnya. Calvin menggerakkan tubuhnya berbalik ke arah Sumarni dengan pelan. "Astaga, kau pucat?" tangan Calvin juga terangkat untuk menyentuh dahi Sumarni. "Panas," lirihnya. Sumarni kembali melenguh, namun kali ini di sertai ringisan "Dingin," Calvin bangun terduduk, dengan wajah panik "Kau sakit? Apa yang harus aku lakukan?" Seumur hidup, Calvin tak pernah merawat orang sakit, jadi dia tak tahu apa yang harus dia lakukan, terlebih lagi dia ada di hutan sekarang, tidak ada dokter atau obat "Bagaimana ini." Calvin keluar dari tenda dan berjalan mondar- mandir. Suhu tubuh Sumarni sangat panas, apa yang harus dia lakukan? Lalu Calvin teringat saat dia masih kecil, Mommynya akan mengompres dahinya dengan air hangat jika demam. Tapi bagaimana,tidak ada alat untuk memasak air disini. Calvin beranjak untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya menjadi tumpukkan api unggun, lalu menyalakannya, berharap bisa memberikan rasa hangat untuk Sumarni. Berikutnya Calvin pergi untuk mengambil air dari tas perbekalan, lalu merobek sebuah kain dan membasahinya, dan meletakkannya di dahi Sumarni "Tidak apa- apa kalau memakai air dingin kan?" tanyanya pada diri sendiri, tentu saja Calvin tak tahu cara ini benar atau tidak, tapi setidaknya dia sudah berusaha. Sumarni kembali melenguh "Dingin, Eungh ..." "Dingin?" Calvin merapatkan selimut tipis dari kain milik Sumarni berharap Sumarni tidak kedinginan lagi. "Kenapa sakit di saat seperti ini sih?" keluhnya, tapi, Calvin terus menunggu Sumarni dan memperhatikan gadis itu, api unggun sudah menyisakan arang yang masih panas, lalu Calvin memasukan kentang dan ubi, Calvin melihat ini saat Sumarni membuat api unggun kemarin, agar ubi dan kentang matang "Semoga hasilnya bagus." Calvin kembali melihat Sumarni dan kembali membasahi kain yang sudah panas dari suhu tubuh Sumarni, dan meletakkan kembali di dahi Sumarni. "Sumarni, kau harus makan." Calvin membawa kentang bakar untuk Sumarni, dia kira kentang itu sudah matang karena sudah empuk, dan sebagian gosong. "Aku tidak tahu ini enak atau tidak, tapi lumayan menurutku ini masih bisa di makan." "Tidak, mau ..." Sumarni menjawab dengan suara lirihnya. "Ayolah, Sumarni, kalau kau tidak makan, kapan kau akan sehat, kalau kau terus sakit perjalanan akan lama, kalau perjalanan lama, maka aku juga akan semakin lama terjebak di hutan ini." Sumarni mendengus lalu membuka mulutnya "Nah, begitu." Calvin mulai menyuapi Sumarni. "Tidak enak, itu gosong." Calvin meringis. Mau bagaimana lagi, dia tidak bisa memanggang ubi atau kentang seperti yang dilakukan Sumarni, jangankan memanggang ubi untuk berada di tempat seperti ini pun Calvin tidak pernah mebayangkannya. Berada di hutan belantara yang dia sendiri tak tahu ada dimana. Tapi Calvin tetaplah Calvin dia tak mau mengakui kekalahannya "Ini bukan karena kentangnya gosong, tapi karena lidah orang sakit, memang selalu pahit." Sumarni mencebik lalu memakan dengan terpaksa. "Benar kan, lidahmu sudah terbiasa." Sumarni hanya mengedutkan bibirnya kesal "Kau sendiri sudah makan, Mister?" Calvin menggeleng "Aku tidak lapar, lagi pula hampir setiap hari memakan ubi, aku rasa pencernaanku mulai terganggu," kilahnya. Padahal Calvin sangat lapar, hanya saja melihat tampilan kentang dan ubi yang dia bakar, dia tak berselera. "Mau bagaimana lagi, kita tak punya alat untuk memasak di perjalanan seperti ini, ya aku bawa ubi saja untuk bekal, karena itu yang paling praktis." Calvin mengangguk membenarkan perkataan Sumarni "Jadi, mister untuk mengisi perutmu, kau juga harus makan, tak peduli kau bosan atau tidak, jangan sampai kau juga sakit seperti aku." Calvin menggeleng, bukan apa- apa itu karena dia sudah mencicipinya, dan benar kata Sumarni, rasanya pahit. Sumarni masih mengulurkan tangannya, namun Calvin tetap menggeleng "Mister, kalau kau sakit perjalan pulang mu akan semakin lama." Calvin meringis dan membuka mulutnya, lalu menerima suapan Sumarni. Namun, tak lama kemudian Calvin memuntahkan kentang bakarnya karena rasanya yang pahit. Sumarni tertawa "Kau bilang itu karena mulutku yang pahit kan? Sudah jelas ini benar- benar pahit." Sumarni masih tertawa meski dengan memegangi perutnya karena masih lemas. Calvin mendengus "Sepertinya kau sudah sehat ya." Sumarni masih tertawa, tawa yang bagi Calvin sangat manis, "Berkat kau, aku sudah lebih baik, terimakasih, ya." Calvin tertegun, ucapan Sumarni sangat tulus terlihat dari senyumnya yang masih mengembang, meski Calvin tahu Sumarni masih lemah. Calvin menunduk, merasa senang, baru pertama kalinya dia merasakan bangga pada dirinya sendiri, sebab mendapat ucapan terimakasih dari orang lain, biasanya mereka akan berterimakasih lalu membicarakannya di belakang, meski Calvin tak peduli pada pendapat mereka, tetap saja ternyata rasanya sangat bahagia bisa mendapat ucapan terimakasih yang tulus. "Mister, sejak kita bertemu, aku belum tahu namamu?" "Apa?" Calvin lagi- lagi tertegun, sudah berapa hari sejak dia bertemu dengan Sumarni, tapi gadis itu baru menanyakan namanya. Benar- benar langka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD