BAB 6

963 Words
Raya melirik seisi kelas melalui ekor matanya. Bel pulang sudah berbunyi sekitar sepuluh menit lalu, tapi teman-temannya masih berada di dalam kelas. Raya heran, biasanya mereka berlomba-lomba untuk keluar, tapi sekarang mereka nampak santai berada di dalam kelas. Raya memakai tas punggunya lalu berdiri dan berlalu keluar kelas. Satu persatu teman- temannya mulai berhamburan keluar. Ah, Raya sekarang peka, mereka masih kepo siapa pria yang bersama Raya kemarin. Baru sekali Zio menampakkan batang hidungnya di sekolah Raya, pria itu menjadi bahan topik utama gosip panas di sekolah ini. Raya menoleh ke belakang, teman-temannya langsung memisahkan diri dan sok sibuk masing-masing. Mereka mengikutinya? Raya mempercepat langkahnya. Hingga ia tiba di depan gerbang, tidak ada mobil Zio terparkir disana. Raya melangkahkan kakinya ke halte, menunggu Zio di sana. Begitu Raya mendudukkan bokongnya, sebuah mobil berhenti di depannya. Itu mobil Zio. Raya berdiri lagi. Zio keluar dari mobilnya dan langsung menghampiri Raya. "Raya, maafin saya ya, saya telat datengnya," ucap Zio. "Nggak kok, Kak, aku juga baru bubar kok." "Kamu nggak nunggu lama?" tanya Zio. Raya tersenyum lalu mengangguk. Zio tersenyum lega, ia mengelus kepala Raya. "Saya kira kamu nunggu lama. Jalanan tadi agak macet soalnya ada mobil mogok," ujarnya. "Nggak pa-pa, Kak. Mending sekarang kita berangkat, aku nggak enak diliatin yang lain," ujar Raya. Zio melirik ke arah kanan, ke depan sekolah Raya. Di sana ada banyak siswa yang secara terang-terangan atau pun sembunyi-sembunyi memperhatikan mereka bedua. Zio terkekeh, ia menarik Raya menuju mobilnya, membukakan pintu untuk Raya. Setelah itu, Zio kembali masuk dan duduk di balik kemudi. "Tempatnya dimana?" tanya Zio saat mereka sedang dalam perjalanan. "Tempat yang deket dari rumah." Zio mengangguk, pria berambut hitam itu meraih tangan kanan Raya, menggenggamnya hangat. "Tangan kamu pas banget digenggaman saya," ucap Zio. Raya hanya tersenyum. "Panggilnya jangan saya terus, berasa ngomong formal kalo gitu." "Nggak ah. Kata si Nathan juga saya itu lebih romantis dari pada aku," ucap Zio lalu terkekeh. Raya tertawa geli. "Kakak tau film itu?" "Diceritain sekretaris saya di kantor." "Pasti sekretarisnya baik ya, cantik pula. Aku ngebayangin gimana rupa sekretaris dari orang terpandang kayak Kakak," ujar Raya. "Tau dari mana kamu saya orang terpandang?" tanya Zio heran. "Setelah kemarin Kakak jemput aku, Kakak udah jadi bahan gosip di sekolah. Sebagian dari mereka banyak yang kenal Kakak, katanya Kakak anak tunggal Keluarga Allegra, betul?" Raya tersenyum. "Kamu tau Allegra?" "Gimana aku nggak tau, Keluarga Allegra adalah salah satu donatur terbesar di sekolah aku," ujar Raya. "Maaf ya, saya belum sempat cerita apa-apa soal saya." "Jangan panggil saya terus, Kak, ih." "Kata Nathan—" "Kak Zio ya Kak Zio, Nathan ya Nathan. Kalian itu beda," ucap Raya kesal. Gadis itu menarik tangannya paksa dari genggaman Zio. "Eh, say—aku minta maaf deh," ucap Zio. Raya mengerucutkan bibirnya kesal. "Sayang," Raya memalingkan wajahnya langsung, hingga ia kepentok jendela. "Aduh!" Jalanan cukup lenggang menuju pemakaman, Zio langsung menepikan mobilnya. "Kamu nggak pa-pa?" tanya Zio khawatir, ia meliup kening Raya. "Aku nggak pa-pa, Kak." "Beneran? Sakit nggak?" Raya mengusap keningnya. "Nggak kok, tadi cuma kaget aja makannya langsung bilang aduh." Zio memeluk Raya. "Kamu bikin aku khawatir." Menurut Raya, Zio terlalu berlebihan. Dirinya hanya kepentok jendela mobil, tidak sampai lebam apalagi berdarah. "Aku nggak mau orang yang aku sayang terluka," ucap Zio. Raya mengurai pelukannya. "Aku nggak pa-pa, Kak Zio." Zio mengecup kening Raya, tepat diarea yang kepentok itu. "Jangan bikin aku khawatir lagi, Sayang." *** "Ayah, bunda, Raya dateng. Maaf baru dateng sekarang," ucap Raya setelah ia berjongkok di depan makam kedua orangtuanya. Gadis tersenyum. "Raya kangen sama ayah sama bunda." Ia melirik Zio. "Ini Kak Zio, dia baik sama Raya." "Sore om, tante," sapa Zio. "Saya Fabrizio, orang yang sayang sama Raya setelah om dan tante," ujar Zio, lalu ia meraih tangan Raya untuk menggenggamnya. "Mulai sekarang saya akan menjaga Raya, kalian tenang aja." Raya tersenyum. Berbincang-bincang sebentar, akhirnya Raya dan Zio bergegas pulang karena cuaca mulai mendung. "Mau mampir dulu nggak?" tanya Zio. "Aku sih mau, tapi nggak bisa, soalnya takut ibu keburu pulang," ujar Raya. Zio menoleh sekilas. "Ada apa sih dengan ibu kamu? Dia ibu tirimu, ‘kan?" Raya mengangguk. "Ya gitu deh." "Aku masih mau sama kamu," ucap Zio. "Besok kan sekolah libur, nanti malem mau jalan?" "Nggak tau deh. Aku jarang keluar malem, lagian ibu juga nggak bakalan ngasih izin," ujar Raya. "Aku yang minta izin sama ibu kamu langsung," ucap Zio. "Jangan!" "Kenapa? Atau aku aja yang ke rumah kamu? Kayak semalem." Raya diam sesaat. "Nggak pa-pa?" "Harusnya aku yang nanya kamu, nggak pa-pa aku ke kamar kamu lagi?" "Aku sih nggak pa-pa, hehe," ucap Raya diakhiri dengan cengiran imutnya. Zio mencubit pipi Raya dengan gemas. "Yaudah, nanti malem aku ke rumah kamu." Raya mengangguk. "Tapi agak maleman ya, biar ibu udah tidur." Zio mengangguk. "Oh iya, tadi kamu bilang kalo kamu penasaran kan sama gimana sekretaris aku?" Raya mengangguk. Zio menepikan mobilnya, ia merogoh ponselnya dan membuka aplikasi foto. Priamemiringkan badannya. "Nih, ini sekretaris Kakak," ucapnya seraya menunjukkan fotonya dengan Vino. "Cowok? Aku kira perempuan," ucap Raya. Zio terkekeh. "Kakak nggak suka sekretaris perempuan." "Kenapa? Bukannya lebih enak kalo perempuan ya?" Zio mengedikkan bahunya. "Kakak lebih suka kamu," ucapnya lalu kembali melajukkan mobilnya. Raya tersenyum malu. "Gombal banget, pasti mantannya banyak," celetuk Raya. "Aku nggak pernah pacaran," ucap Zio. "Bohong banget," cibir Raya. "Serius. Kamu yang pertama dan akan menjadi yang terakhir juga," ujar Zio serius. Memang, ucapan Zio bukanlah isapan jempol belaka. Pria itu tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan mana pun. Bahkan saat sekolah pun! Sempat Zio mempunyai rencana untuk memiliki hubungan semasa kuliahnya, namun baru saja dekat, itu malah membuatnya tidak nyaman. Meskipun beberapa kali Ely berusaha menjodohkannya dengan anak perempuan dari teman-temannya dan menjalani kencan buta karena paksaan sang mami, tetap tidak merubah hati Zio. Zio akan merasa tidak nyaman bila ia dekat dengan perempuan yang tidak disukainya. Berbeda saat dengan Raya, Zio dengan mudahnya nyaman dan langsung jatuh cinta pada gadis berusia 16 tahun ini. Meski terpaut usia 11 tahun, Zio tidak dapat menahan gejolak rasanya pada Raya. Rasanya, setiap hari rasanya semakin membesar. Sepertinya Raya tidak dapat menahan bibirnya untuk tidak tersenyum, wajahnya pun bersemu. "Kakak juga yang pertama." "Masa sih?" goda Zio. Raya mengangguk malu-malu, membuat Zio tertawa dan langsung menggenggam tangan mungil itu dengan erat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD