BAB 8

982 Words
Raya masih belum membalas ciumannya. Zio mengerti, mungkin gadis itu terlalu syok dan ini pertama kalinya bagi gadis itu. Baginya juga. Tangan Zio menarik dagu Raya pelan sehingga gadis itu membuka mulutnya. Zio memasukkan lidahnya, mengajak lidah Raya untuk bermain dengannya. Pria itu membuka matanya dan langsung bertubrukan dengan mata indah gadis itu. Zio berkedip dua kali, seolah mengatakan kepada Raya bahwa ini tidak apa-apa dan ini nyata. Selang beberapa detik, Raya mulai membalas ciumannya walau masih terasa kaku. Zio merapatkan tubuh mereka, matanya kembali terpejam menikmati ciuman yang terasa berbeda kali ini karena Raya membalas ciumannya. Beberapa saat lamanya mereka menikmati moment itu yang pertama kalinya bagi mereka berdua, sampai Zio mengakhiri itu tanpa mengadakan jarak diantara mereka. Raya membuka matanya, mengatur napasnya yang berburu dan menormalkan pikirannya. Mata mereka bertemu hanya beberapa detik sampai akhirnya mereka memutus pandangan mereka karena sama-sama kembali memejamkan matanya. Kali ini Raya yang memulai. Menempelkan bibirnya dibibir pria itu dan memeluk lehernya. Zio menarik tubuh Raya lalu menyandarkannya dipunggung sofa. Ciuman mereka kali ini manis dan menuntut, tidak ada rasa kaku dan canggung. Suara kecupan yang mereka ciptakan terdengar pelan. Hingga suara ketukan mengagetkan mereka. "Raya? Kamu tidur belum? Ibu numpang ke toilet di kamar kamu," teriak Aneu dari luar. Raya membulatkan matanya. "Aduh gimana ini?" Raya panik, untung saja ia tadi mengunci pintu. Zio menaruh telunjuknya dibibirnya, menyuruh Raya untuk diam. "Kamu udah tidur ya? Yaudah." Terdengar suara langkah kaki yang semakin menjauh. Raya menghela napas lega begitu Aneu pergi. "Hampir aja," ucapnya. "Mau dilanjutkan?" tanya Zio terdengar menggoda Raya. Wajah Raya memerah. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Zio terkekeh. "Kenapa ditutupin?" "Malu," ucapnya dengan suara pelan. Zio menarik kedua tangan Raya. "Kamu belum ngantuk?" tanya Zio. Raya menggeleng. Bagaimana mau ngantuk, apa yang mereka lakukan dua menit yang lalu itu membuat Raya seolah lupa bagaimana rasanya ngantuk. "Mau cerita?" "Cerita apa?" "Aku ada banyak pertanyaan yang harus kamu jawab," ucap Zio. "Kenapa kamu bilang ibu kamu selalu marah sama kamu?" Raya diam selama beberapa saat. "Ini seharusnya Kak Zio nggak tau," ucapnya setelah beberapa saat diam. "Ini bukan sesuatu yang harus dibagi dan diumbar kepada orang lain." Tangan Zio terulur menangkup wajah Raya. "Apa aku orang lain bagi kamu, Raya? Apa aku bukan bagian dari hidupmu?" Raya menggeleng pelan, ia meraih tangan Zio yang menangkup pipinya. "Justru karena Kakak bukan orang lain lain bagi aku, aku takut setelah Kakak tau semuanya, Kakak bakal jadi orang lain lagi." Mata Raya berkaca-kaca. "Untuk sekarang, aku cuma punya Kakak di sini," ujar Raya sambil meneteskan air matanya. "Aku nggak akan pernah ningalin kamu, Raya. Walaupun aku tau sisi kelam dari hidup kamu dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika kita bersama. Aku nggak peduli itu, aku akan terus bersamamu," ujar Zio dengan lirih. Raya menangis tanpa isakan. Zio memeluknya dengan hangat, membuat Raya percaya akan perasaannya yang nyata kepada pria yang baru di hidupnya. Bahwa ia juga sama, mencintai Zio. Raya menarik diri. "Aku nggak tau kenapa ibu bisa benci sama aku. Setelah ayah meninggal, sikap ibu berubah." "Benci sama kamu?" Raya mengangguk. "Aku nggak bisa nyalahin siapa pun atas ini. Aku juga masih bersyukur ibu masih ngizinin aku buat tinggal di sini walau ibu memperlakukan aku dengan beda dari Kak Dela," ujar Raya lagi. "Aku paham sih, Kak Dela anak kandungnya, sedangkan aku cuma anak tirinya. Walaupun ibu kadang kasar sama aku." "Dia ngasarin kamu?" tanya Zio, rahangnya mengeras dan tatapan matanya tidak suka. "Kamu diapain?" Raya menggeleng. "Kadang, nggak sering." "Tetep aja, Raya, dia kasar sama kamu. Aku nggak mau orang yang aku cintai disakiti orang lain," ujar Zio. "Kenapa kamu nggak pergi aja dari rumah ini kalo dia memperlakukan kamu kasar?" "Aku nggak bisa. Meski rumah ini sekarang atas nama ibu, tetep aku nggak bisa ninggalin rumah ini. Di sini begitu banyak kenangan aku sama ayah dan bunda sejak aku masih kecil." Raya kembali menangis. "Aku seneng ibu nggak nyuruh aku pergi dan aku masih bisa merasakan kehadiran ayah sama bunda di rumah ini." Zio tidak suka melihat Raya menangis seperti ini. Ia tidak suka Raya mengeluarkan air mata untuk alasan apa pun. "Jangan nangis, Sayang," ucap Zio, suaranya terdengar bergetar. Raya memeluk Zio. "Kita pergi dari sini ya? Kamu tinggal sama aku," ucap Zio. Raya menggeleng di dalam pelukannya. "Aku nggak bisa." Raya ingin mengiyakan, tapi ia tidak ingin menjadi parasit di hidup Zio. Cukup Zio selalu bersamanya itu sudah membuat Raya merasa jika ia tidak sendirian di dunia ini. Masih ada Zio yang selalu ada untuknya. Masih ada Zio yang menyayanginya. "Kak Zio tenang aja, aku nggak pa-pa kok," ucap Raya, ia menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Meskipun habis nangis, senyum Raya tetap indah dan manis. Zio tersenyum, ia mengusap sisa-sisa air mata di pipi Raya. "Aku udah bilang sama kamu, jangan pernah ngeluarin air mata kecuali air mata bahagia," ucap Zio. Raya mengangguk. "Sekarang Kakak yang cerita sama aku soal Kakak." "Apa yang mau kamu tau?" Raya mengusap dagunya, terlihat sedanh berpikir. "Kakak punya sodara?" Zio menggeleng. "Anak tunggal." Raya mengangguk mengerti. "Pernah punya pacar?" "Aku udah jawab itu saat di mobil, kamu yang pertama." Zio tersenyum, begitu juga dengan Raya yang tersenyum malu. "Kenapa nggak ada niatan punya pacar? ‘Kan umur Kakak udah mateng buat nikah," ujar Raya. "Aku nunggu kamu," ucapnya. "Aku?" Raya menunjuk dirinya sendiri. "Aku maunya nikah sama kamu, makanya aku mau nunggu kamu aja," ujar Zio yang diakhiri dengan kerlingan mata. Raya terkekeh. "Aku sih masih lama, lah. Lulus sekolah aja belum." "Nunggu sepuluh tahun lagi juga nggak pa-pa, asal kita sama-sama," ujar Zio menatapnya dengan hangat dan lembut. Raya tersenyum. "Aku nggak ngerti gimana Kakak bisa suka sama aku. Padahal kita baru kenal dan aku sama sekali nggak ada istimewanya," ujarnya. Zio mengecup keningnya. "Bukankah untuk mencintai, kita tidak perlu alasan? Itulah yang aku lakukan. Aku mencintai kamu tanpa alasan." Sekali lagi Raya menyakini dirinya sendiri bahwa ia juga mencintai pria di depannya ini. Sama seperti Zio, Raya juga mencintai Fabrizio Allegra tanpa alasan! Cinta pertamanya yang begitu indah. "Jangan sungkan. Kalo kamu butuh sesuatu, kamu bisa bilang sama aku." "Aku nggak mau ngerepotin Kakak." Zio menggeleng. "Sama sekali nggak, Sayang. Kakak akan senang membantu kamu." Raya tersenyum tulus, ia mengusap rahang kokoh pria itu. "Makasih." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD