Jeno meringis kala sebuah kapas mendarat sempurna pada pipi bengkaknya. Sedangkan seseorang yang menjadi pelaku justru santai menikmati sepiring Batagor Bandung.
"Lo gak ngerasa bersalah gitu sama gue?" tanya Jeno tak percaya.
Merasa diberi pertanyaan, sang pelaku menanggapi dengan sebelah alis terangkat. "Bersalah untuk apa? Gue gak ngapa-ngapain."
Rahang Jeno seakan jatuh dari tempatnya. Si dingin ini sekalinya bicara panjang langsung menusuk jantung.
Ralin yang mendengar obrolan itu hanya acuh. Dia asik dengan realfood andalan karena perutnya terasa lapar.
"Ralin laper? Brisia belikan makan aja, ya?" tawar Brisia tak tega.
Brisia yang istirahat tadi makan di kantin aja masih terasa lapar, apalagi Ralin yang mengkonsumsi entah makanan atau minuman karena tidak jelas bentuknya.
"Enggak. Ini gue udah makan," ucap Ralin mengangkat sebotol realfood.
"Nanti Ralin lambungnya kambuh kalau gak mak—”
"Arrrrgghhhh!!!!" Jeno menjerit kala Brisia menekan lukanya terlalu kencang.
"E—eh maaf Jeno. Brisia kurang fokus," sesal Brisia berpura-pura. Memang tujuannya ingin memberi pelajaran pada Jeno.
Alvero mengulurkan sendok ke depan bibir Ralin. Tanpa perlu penjelasan, Ralin sudah tau jika perintah Alvero tak dapat dibantah. Setelah batagor itu tertelan, Ralin kembali menenggak cemilannya agar berat badannya tetap terjaga.
"Ck, lo mah ada dendam sama gue Bris!" Jeno berucap kesal. Pipinya sungguh sakit. Pukulan Alvero memang tak main-main.
"Apa? Mau gue pukul lagi?" tantang Alvero karena menyadari tatapan sinis yang dilayangkan Jeno.
"Lo sama sahabat gini banget, Ver!"
"Salah lo sendiri. Bukannya jaga Ralin sama Brisia, malah nge-game di belakang. Coba kalau Brisia juga kena bogem, mungkin lo udah koma detik ini juga," sarkas Alvero. Tangannya terulur mengusap pipi Ralin yang masih terlihat membiru. "Masih sakit?"
"Ya masih. Lo pikir aja, tuh cowok anak ekstra tinju," jawab Ralin terbesit kesal yang kentara.
"Maaf, gue gak ada disana waktu lo di pukul. Gue udah ingkar janji sama bokap lo."
Ralin terkekeh geli. "Apa sih, santai aja kali."
Tak lama, obrolan mereka terhenti karena kedatangan seseorang yang membuat keempatnya muak.
"Mau apa lo?" cetus Jeno bangkit dari duduknya.
"Gue minta maaf atas kejadian tadi."
Kali ini Alvero bangkit dari duduknya. Pemuda dingin itu menatap tajam lawan bicaranya yang tak gentar sedikitpun.
"Apa maaf lo, bisa bikin Ralin gak terluka lagi?"
Ralph menghela nafasnya. Pertanyaan yang menurutnya sangat menyebalkan. Dia bukan dukun!
"Gue yang akan bertanggung jawab atas luka Classica," jawab Ralph yakin.
Brisia menyengir penuh ejekan. "Ralph punya apa untuk bertanggung jawab? Dengan cara apa? Jual sepeda butut itu?"
"Gue bakalan temuin orang tua Classica. Sepulang sekolah nanti."
Ucapan itu membuat keempatnya membulatkan mata. Kemarahan Mores adalah hal yang tak dapat di tolerir.
Selamat datang di kematian, Cleon Ralpheus.
***
Disini lah keenam remaja itu sekarang.
Lantai 5 kediaman Mores Millano.
Kini di hadapan mereka ada Mores yang sedang menatap tajam ke dua titik manusia.
Ralph yang ditatap tajam itu tak gentar.
"Siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Ralin?" Pertanyaan bernada dingin itu membuat para remaja disana meneguk ludahnya kasar.
Zigo, pemuda yang menjadi pelaku pembogeman terhadap Ralin hanya bisa menunduk dengan tangan terkepal.
Melihat sahabatnya takut, Ralph akhirnya menghampiri Mores dan berdiri sopan di hadapannya. Hal itu tak luput dari beberapa pasang mata yang mencoba menahan pergerakan Ralph karena itu bukan salahnya.
"Saya, Tuan."
Mores mengangkat sebelah alisnya. Kemudian menatap Ralph dari atas hingga bawah. Dengusan kasar itu membuat mereka harap-harap cemas.
"Apa yang kau lakukan dengan putriku?" tanya Mores tajam.
"Saya hanya menceritakan perihal apa yang dilakukan Classica terhadap wajah saya. Namun yang terjadi, sahabat saya marah hingga terjadi pemukulan," jelas Ralph jujur.
"Kau memfitnah putriku?" berang Mores. Matanya membulat tak percaya.
Helaan nafas keluar dari bibir Ralph. Pemuda itu berusaha sopan terhadap calon mertuanya. Berharap dulu, tidak masalah bukan?
"Saya tidak memfitnah, Tuan. Bagaimana mungkin saya membuat nama gadis yang saya cintai tercoreng?" aku Ralph membuat semua yang ada di ruangan menganga tak percaya.
"Punya apa kau sehingga berani berkata cinta terhadap putriku?"
"Saya tidak memiliki apapun, selain sepeda yang selalu saya bawa ke sekolah. Saya hanya seorang pelayan part time di sebuah cafe," balas Ralph tanpa ada rasa malu.
Seluruh bodyguard dan pelayan yang bekerja untuk keluarga Millano dibuat speechless. Mereka tak menyangka ada yang berani menjawab pertanyaan Tuannya.
Drrtt...Drrtt
Ralph merasakan getaran pada ponselnya. Matanya menatap sungkan kearah pria setengah baya di hadapannya.
"Maaf, Tuan. Saya izin mengangkat telepon sebentar." pamit Ralph menjauh.
Sementara Zigo hanya diam tak berkutik melihat Rab'J sedang berbincang ringan.
Mores masih menatap Zigo mengintimidasi sampai seruan dari Ralph membuat perhatiannya teralih.
"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa terlalu lama disini karena harus menjemput Mama saya yang baru keluar dari rumah sakit," ucap Ralph sungkan. Disaat masalah belum selesai, ia justru seperti lari dari masalah.
"Tinggalkan nomor ponselmu diatas meja. Silahkan jika ingin pergi."
Ralph langsung menuliskan nomornya pada selembar kertas dan memberikan dengan sopan kepada Mores.
"Saya permisi. Ayo Zigo." Ralph berlari keluar diikuti Zigo yang memberanikan diri untuk berpamitan.
"Lo mau ke rumah sakit? Gue anterin ya?" tawar Zigo melihat hujan cukup deras sore ini.
"Gak usah, Zig. Gue duluan."
Dengan sepeda kesayangannya, Ralph menembus hujan sore ini penuh semangat. Setelah mendapat telepon dari Dokter Alex tadi, ia tak hentinya melunturkan senyum mengingat ucapan Dokter muda tersebut.
"Kamu bisa jemput Ibu Andara. Beliau sudah diizinkan pulang hari ini."
Puji Tuhan. Penantiannya selama 3 tahun akhirnya terbayar mengingat keadaan sang Mama sudah membaik.
Tak lama sepedanya berhenti di pelataran rumah sakit. Pemuda itu menitipkan sepedanya kepada satpam yang berjaga di depan.
"Taruh saja, Mas. Gak akan hilang," ujar satpam tersebut.
"Terima kasih, Pak."
Ralph segera berlari menuju ruangan sang Mama. Kebahagiaan nya tak surut sedikitpun hingga memasuki ruangan membuat Mamanya bingung. Namun ia tersentak karena keterkejutan Mamanya.
"Ralph? Kamu kenapa basah kuyup nak?" cemas Andara setelah melihat keadaan putranya.
"Iya, Ma. Tadi aku habis dari rumah temen," jelas Ralph agar Mamanya tak khawatir.
"Kenapa gak pakai mantel? Nanti kamu sakit!" Andara terus saja mengoceh. Hal itu membuat senyuman Ralph semakin lebar.
"Udah gak masalah, Ma. Yuk, kita jemput Sela dulu. Kebetulan hari ini Ralph izin di tempat kerja." ajak Ralph membantu membawakan barang-barang Mamanya.
Keduanya berjalan keluar dari lobby menuju gerbang rumah sakit. Kebetulan taksi online yang dipesan oleh Ralph sudah tiba. Jadi Mamanya bisa langsung duduk.
"Mama masuk mobil dulu. Nanti Ralph ikutin dari belakang," titah Ralph tak terbantah. Meskipun khawatir karena hujan masih terlihat jelas, Andara akhirnya menurut keinginan sang anak.
"Pak, ke Panti di ujung jalan, ya," ucap Ralph kepada supir taksi tersebut.
"Siap, Mas!"
Sepanjang perjalanan, Andara mengamati sang putra yang menerobos derasnya hujan menggunakan sepeda lamanya. Tentu saja ia tau karena itu sepeda yang sempat dibeli olehnya saat Ralph memasuki SMP.
Semoga kamu selalu bahagia, nak.
***