36. Omelan Bermanfaat

1130 Words
Pemuda tampan dengan pakaian yang rapi melintasi lapangan outdoor SMA Bengawan. Suasana yang sedikit mendung tak membuat pemuda itu khawatir jika sewaktu-waktu hujan turun menyergap. “ALVERO!!” Teriakan cempreng dari suara yang sangat dikenali membuat langkah Alvero terhenti. Di gerbang sekolah, Brisia berlari meninggalkan supirnya yang sepertinya akan membuka suara. Gadis itu berlari dengan cepat dan langsung menyergap Alvero dengan pelukan hingga sang empu hampir saja terjungkal. “Kenapa?” tanya Alvero datar, seperti biasa. Brisia melepaskan pelukan itu lalu tersenyum lucu. “Alvero kemana aja? Beberapa hari ini gak kelihatan!” Di tempatnya berdiri, Alvero bergeming. Tentu saja ia tidak masuk karena ingin menyemangati dirinya sendiri. Selain itu ia juga bertanggung jawab mencarikan donor lambung untuk pria sialann tersebut. “Gue ada acara.” Jawaban yang meragukan itu membuat Brisia memicingkan matanya karena tak percaya. “Bohong!” tukas Brisia. Deg! Mengetahui jika sahabatnya tak percaya, jantung Alvero langsung berdetak cepat. Dia takut jika perbuatannya beberapa waktu lalu terendus orang terdekatnya. Alvero melakukan itu semua karena suatu hal. Bukan semata-mata karena Ralph sudah menyakiti sahabatnya, namun ada hal lain yang orang lain tidak boleh tau terlebih dahulu. “Bohong apa? Gue ada acara keluarga,” jelas Alvero berusaha tenang. Padahal dadanya sudah bergemuruh tak karuan. “Huh ... Terserah Alvero aja deh,” pasrah Brisia. Kakinya melangkah meninggalkan Alvero yang tercenung di tempatnya. “ALVERO KENAPA DIEM AJA???” Gadis itu berteriak kencang saat tak mendapati sahabatnya di sebelahnya. Mendengar teriakkan cempreng itu, Alvero segera berlari kecil menghampiri Brisia dan melangkah bersama menuju kelas. Setibanya di kelas, kedua orang itu melihat jika Ralin sudah berada di kelas. “Hai Ralin!” sapa Brisia riang. Kakinya melompat-lompat kecil hingga tiba di samping Ralin yang mengenakan airpods. “Hm,” balas Ralin singkat. Mendengar balasan singkat itu tak membuat Brisia sebal. Gadis itu langsung duduk di samping Ralin dan merangkul sahabatnya itu. “Ngapain sih?” tanya Ralin risih. Tangannya sibuk menyingkirkan Brisia yang masih nemplok padanya. “Enggak,” cengir Brisia. Kring ... Kring ... Bel masuk di SMA Bengawan sudah berbunyi nyaring. Segera murid di 11 IPA 4 berhamburan kembali pada tempat duduknya masing-masing. Bu Indah dengan gaya centilnya memasuki kelas. Murid-murid di kelas menatapnya tak berkedip saat Bu Indah mengibaskan rambut barunya yang berwarna brown. “Bu, itu rambut atau jagung? Gitu amat,” celetuk Rangga, murid badboy di kelas tersebut. Mata Bu Indah berubah sinis karena ejekan salah satu muridnya. “Nilai kamu ada di tangan saya, Rangga,” ancam Bu Indah yang sebenarnya bercanda. Dia bukanlah guru kolot yang akan baper ketika dibercandain seperti itu. Wajah Rangga berubah melas kala telinganya mendengar ancaman dari guru cantik namun centil tersebut. Berbeda dengan murid di kelas yang justru tertawa senang melihat sang badboy tersiksa seperti ini. Teman Lucknut! *** Pagi ini Ralph dilanda kebosanan karena harus mendekam di rumah sakit seperti ini. Bibirnya berkali-kali menghela nafas karena tak tau harus melakukan apa. “Classica ... Gimana ya kabarnya? Apa dia gak cari gue sama sekali?” ujar Ralph seraya menatap lurus kedepan. “Kayaknya gak mungkin. Gue udah terlalu jauh nyakitin dia.” Cklek! Pandangan Ralph beralih saat mendengar pintu kamar yang dibuka. Dokter Rony berjalan ke arahnya dengan senyuman khas seorang Ayah. Bicara soal Ayah, dia sudah tak memiliki sosok itu sejak kecil karena Ayahnya itu tak mau menerima dirinya, entah karena apa. “Cleon, bagaimana keadaan kamu sekarang? Apa masih merasakan sakit?” Pertanyaan dari Dokter Rony membuat khayalan Ralph terhenti. “Sudah tidak, Dok. Hanya saja saya sering sekali merasa mual,” aku Ralph sembari memijit keningnya. Dokter Rony menyuntikkan sesuatu pada infus Ralph sehingga pemuda itu akhirnya bertanya karena penasaran. “Dok, cairan apa itu?” tanya Ralph khawatir. Takut-takut ternyata Dokter Rony diperintahkan Alvero untuk membunuhnya. “Ini untuk menahan rasa mual. Jadi untuk beberapa jam kedepan kamu tidak merasakan itu,” jelas Dokter Rony ramah. Ralph merutuki pikirannya sendiri yang mendadak negatif jika berhadapan dengan orang asing. Bukannya apa, tetapi sahabat kekasihnya sendiri pun yang terlihat pendiam nyatanya menjadi penyebab dirinya berada disini. “Baik, Dok. Terima kasih sudah membantu saya,” ucap Ralph tulus. “Sama-sama. Kamu harus banyak istirahat supaya kinerja lambung kembali normal dan bisa mengkonsumsi minimal bubur,” ujar Dokter Rony sebelum akhirnya berpamitan kepada Ralph. Ruangan Ralph kembali hening karena Mamanya belum juga datang. Pemuda itu ingin berguling di kasur, namun takut jika kebablasan dan berakhir sekarat. “Ralph?” Andara yang baru saja datang langsung menatap putranya heran. Sekalipun ia sempat berpisah selama beberapa tahun, namun ia tentu saja tahu apa yang terjadi dengan putranya. “Eh? Mama? Kapan sampai?” cerocos Ralph yang mendadak lupa jika tak boleh terlalu banyak bicara maupun gerak. Setelahnya baru pemuda itu tersadar dan meringis sendiri. “Makanya jangan melamun. Mikirin apa, sih?” tegur Andara sekaligus khawatir secara bersamaan. “Mikir ... Kapan boleh pulang dan kembali –” “Kembali ketemu sama pacar kamu? Iya? Kamu masih sakit, nak ... gak boleh kerja terlalu berat dulu!” omel Andara sembari berkacak pinggang. “Ma ...” lelah Ralph menanggapi Mamanya yang mendadak cerewet seperti itu. “Huh ...” Andara membuang nafasnya lelah. “Terserah kamu, deh. Yang penting jangan kerja terlalu berat.” Sebagai seorang Ibu, Andara tentu saja takut anaknya kelelahan dan berakhir masuk rumah sakit. Amit-amit! “Iya, Mama tenang aja,” sahut Ralph. “Kamu tau? Adikmu merengek minta ketemu sama Kakaknya,” tutur Andara memberitahu. Memang semenjak Ralph masuk rumah sakit, gadis kecil itu tidak bisa bertemu Ralph karena usianya yang tidak diperkenankan terlalu sering berada di rumah sakit. Senyuman Ralph mengembang membayangkan wajah Adiknya yang merengek saat keinginannya tidak terpenuhi. Andara yang melihat itu langsung heran karena tiba-tiba saja anaknya tersenyum tanpa sebab. “Hei!” Andara menegur pelan, “Ngapain senyum-senyum?” Wanita itu seketika ngeri sendiri karena takut ada roh yang merasuki anaknya. “Ralph lagi bayangin Sela kalau ngambek, Ma,” jawab Ralph masih tersenyum. Dalam hati Andara mengucap 'Puji Tuhan' karena ternyata anaknya itu baik-baik saja. “Mama udah sarapan belum? Kayaknya sejak pulang dari rumah sakit, Mama selalu sarapan di pertengahan hari,” tanya Ralph sekaligus menjelaskan apa yang memang ia ketahui. Dahulu sebelum koma, Andara wanita yang suka sarapan pagi. Hanya saja ketika di rumah selalu dipaksa Ralph untuk ikut sarapan bersama supaya Mamanya itu tidak melewati jam makan pagi. “Udah ... Mama jadi kebiasaan makan pagi kayak biasanya kamu di rumah. Sela juga ngomel waktu Mama kadang lupa gak ikut makan.” Andara memberitahu perihal anak bungsunya yang cerewet seperti Ralph ketika dirinya tidak sarapan. Memang Like Brother Like Sister. “Bagus, memang Mama harus di marahin dulu kayaknya.” Pada akhirnya Andara mencebik saja sebagai balasan karena ia sadar jika kali ini tak akan menang melawan anaknya yang super pandai itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD