6. Just A Friend To You

1561 Words
        Cause friends don't do the things we do... Everybody knows you love me too Tryna be careful with the words I use... I say it cause I'm dying to I'm so much more than just a friend to you Just a Friend To You By Meghan Trainor >>>>>   Aku sebenarnya bisa menghitung lewat logika bahwa perasaanku ini sia-sia, tapi aku juga nggak bisa bohong sama diriku sendiri kalo aku cinta dia. Aku cinta mati pada Albarqi Putra Ramadhana. Hanya nama itu yang senantiasa terukir di dinding ruang hatiku selama ribuan hari aku menikmati oksigen gratis dari Tuhan. Siang malam aku mencoba melupakannya, aku mencoba menepis segala asa dan rasa tentangnya. Namun aku bisa apa, semakin aku mencoba menepis rasa berjudul cinta, maka sakit hati itu semakin datang mengganggu tidur malamku. Seminggu setelah kejadian malam itu, aku tetap seperti biasa menemui Rama. Bedanya wajah dingin dan datar lah yang tercetak di wajahku setiap menanggapi kehadirannya. Demi Tuhan, aku tidak pernah sanggup berlama-lama tak mengacuhkan laki-laki itu. Aku hanya bisa marah pada diriku sendiri yang selalu gagal move on setiap kali dihadapkan pada problem seperti ini. Seharusnya aku sudah lebih mempersiapkan diri pada kemungkinan terburuk ini. Aku harus mempersiapkan diri sedini mungkin, bahwa Rama akan menemukan seseorang yang lebih baik dariku, lebih bisa membuatnya merasa nyaman dan tentunya ia cintai lebih dari sekadar sahabat. Sore ini aku mendadak melow pokoknya. Seharian aku diam di showroom. Aku tidak peduli mas Andra bolak balik menyindirku seperti, makan gaji butalah, numpang ngadem lah, bahkan dapat julukan karyawan termalas of the week. Sampai mas Andra mungkin bosan melihat aku tak mengacuhkan sindiran pedasnya, dia pilih menganggap aku tidak ada di sekitarnya. “Pacar kamu jemput tuh,” seloroh mas Andra yang datang dari arah luar showroom. Biasanya habis merokok dia kalau di luar. Secara ruang kerjanya ber-AC gini. Aku memberi tatapan tidak bersahabat pada mas Andra, tidak suka sama sekali dengan leluconnya petang ini. Jelas banget aku tahu siapa yang dimaksud pacar oleh bos tengil satu itu. Siapa lagi kalau bukan Rama. “Gini-gini pacar kamu dokter ya?” ujar mas Andra dengan tatapan mencemoohnya. “Gini-gini gimana? Ada yang salah dari aku?” hardikku pada laki-laki jangkung itu. “Udah sana pulang. Aku mau nutup showroom.” Si raja tega itu mengusirku tanpa ampun. Padahal aku sedang butuh suaka untuk tempat persembunyianku dari Rama.   Uda Rama: blm selesai? Aku udh di dpn showroom nih.   Dia mengirimiku pesan w******p. Aku hanya bisa memandangi layar ponselku yang menunjukkan notifikasi chat Line darinya, juga dengan pesan yang sama dengan w******p.   Me: aku bawa motor sndiri.skg msh dipinjam tmn motorku Uda Rama: kata bosmu, km ngga bawa motor   Mas Andra bener-bener dah.   Aku mendesah pasrah lalu membereskan barang-barangku seperti blocknote, bolpoin, Tab, ponsel dan kalkulator ke dalam tas ransel, lalu pamit dengan wajah jutek sama mas Andra, kemudian melangkah lesu ke luar showroom. Kulihat Rama sedang memainkan ponselnya sambil duduk di atas trotoar. Ngapain tuh, serius banget natap ponselnya? Paling lagi sms-an sama si Ardinia Wirasti. Eh maksud aku dokter gigi Rasti. Huft. Setelah berada di belakangnya, aku menepuk pundaknya pelan. “Sorry lama,” dua kata itu yang meluncur dari mulutku. Ia mengangguk dengan diiringi senyum semanis madu, Rama menyambut kehadiranku. Ponselnya ia masukkan begitu saja di balik saku boomber jacket-nya. “Nggak apa-apa. Ayok,” katanya memintaku untuk masuk Yaris-nya. Lemah iman adiak ini, diperlakukan seperti ini sama Uda. Air es mana air es, pengin mandi air es jadinya. Supaya cepet sadar dan menganggap kalau semua hanyalah bunga tidur semata. “Pengen makan di lesehan deket Telkom deh. Mau nggak?” Apa aku harus menerima? Apa aku harus menolak? Jangan bikin Selena Gomez galau dong, Uda. Bakalan nggak tidur semalaman ini gara-gara sikap semanis madu Winnie The Pooh Uda malam ini. Lihat aja. Setelah ini sikap datar dan dinginku musnah tertelan angin petang menjelang malam kota Jember. Sebel- sebelannya langsung buyar.... buyar.... buyar, kalau kata mas Andra saat para karyawannya sedang pada nongkrong di depan showroom sambil mendengarkan Via Vallen dan Nella Kharisma. k*****t momen banget pokoknya. Berasa seperti polisi sedang membubarkan para penjudi togel. “Aku pengen ayam geprek deh. Kamu mau pesen apa? Biar aku yang pesenin sekalian.” “Samain aja.” “Minumnya?” “Teh hangat.” Rama meninggalkanku menuju rombong tempat masakan dan minuman lesehan ini diolah. Lalu kembali duduk bersila di hadapanku. “Udah sampai mana proposal skripsi kamu? Ada kesulitan?” Rama membuka obrolan kami, setelah seminggu tidak mengobrol santai seperti ini. Licik! Dia selalu tahu kelemahanku. Membiarkanku dirundung duka tanpa berani nongol di hadapanku. Dan muncul setelah merasa aman. Seperti sekarang ini. “Ya gitu lah. Udah ketemu sama dosen pembimbingnya. Dua judulku ditolak. Disuruh ganti metode penelitian dan lebih banyak baca skripsi yang mengangkat tema sama dengan judul skripsiku,” jelasku panjang kali lebar sama dengan Rama memandangiku tanpa kedip. Apaan banget sih lu Rama, ngeliatin gue sampe segitunya? Rama menyodorkan dua buku metode penelitian ilmiah di atas meja. Cukup tebal dan lengkap pastinya. “Mungkin bisa bantu kamu dalam menyusun skripsi. Ngomong-ngomong mau penelitian di mana rencananya?” tanyanya lagi. “Makasih, Uda. Di showroom aja. Mas Andra udah nyanggupin untuk bantu aku kok.” “Oh.... Mau ambil kualitatif atau kuantitatif?” “Kayaknya kualitatif deh. Soalnya kan menceritakan bagaimana strategi pemasaran dan penjualan mobil yang ada di showroom.” “Ya udah kalo gitu. Kalau kesulitan bilang aja. Siapa tau aku bisa bantu.” “Iyo, Da.” Ponselnya berdering saat aku menjawab tawaran bantuan darinya. “Iya, Ras?” “....” “Masih makan deket Telkom. Mau nitip?” “....” “Iya. Ya udah nanti aku beliin. Kamu di mana? Mau sekalian dijemput?” “....” “Enggak kok. Ya udah tunggu sana aja ya.” “....” “Walaikumsalam.” Rama tersenyum padaku setelah menerima telepon yang aku yakini adalah Rasti. Namun Rama sama sekali tidak berniat menyinggung siapa penelepon itu. Dia malah mengajakku membicarakan hal lain yang nggak ada hubungannya dengan si penelepon. Dari lesehan dekat Telkom Rama mengajakku entah ke mana, ke daerah perumahan yang aku tidak tahu mau mengunjungi rumah siapa. Mau nanya, entah kenapa kok malas banget rasanya. Lagian aku orangnya bukan tipe orang yang gampang penasaran kok. Jadi sudahlah ikuti saja laju kereta bermesin milik Rama ini. Firasatku memang tidak pernah salah bila menyangkut Rama. Dari kursi penumpang depan aku bisa melihat Rama berjalan dengan Rasti ke arah mobil ini. Aku langsung mengambil inisiatif menyelinap mundur ke kursi belakang. “Loh kok pindah?” tanya Rama saat melihatku di kursi belakang. Aku hanya membalas dengan senyum simpul. “Oya, kalian udah kenalan?” tanya Rama sambil menyalakan mesin mobilnya. Aku dan mbak Rasti lalu berjabat tangan dan menyebutkan nama kami masing-masing. Lebih dekat begini memang duileh banget dah si mbak satu ini. Kalau dikenalkan ke mas Andra, kira-kira bos tengil satu itu mau tidak ya? Kasihan dia, ganteng-ganteng jomlo. Akal bulusku ngasih ide, si mbak daripada ganggu uda Rama-ku kan mending ganggu mas Andra. Hahaha. Akal bulus itu terlintas begitu saja di otak kotorku. Namun mengingat wajah super annoying mas Andra, rasanya kok bubar jalan ya akal bulusku itu. Aisudah... Untuk apa juga aku mesti repot mikirin jodoh buat bos killer itu. Ternyata selain cantik, ralat cantik banget, mbak Rasti itu juga pinter dan cerdas pemirsa yang budiman. Yeeyy, tepuk tangannya dong. Aku jadi merasa berada di kasta terendah bila berdampingan dengan mbak Rasti ini. “Dia ini cewek yang sering aku ceritakan sama kamu, Ras. Sahabatku dari zaman seragam merah putih sampe sekarang. Yang paling ngerti aku, selalu ada buat aku, pokoknya aku nggak bisa apa-apa tanpa dia. She is the best for me. Udah kayak adekku sendiri juga,” jelas Rama mengulurkan tangannya ke arah belakang, seolah menunjukan diriku pada Rasti, tanpa memikirkan perasaanku. Makjleb pokoknya rasanya hatiku saat ini. Aku tidak lagi ikut nimbrung dengan pembicaraan mereka berdua. Lebih baik memikirkan perasaanku yang sudah seperti permen nano-nano ini. Manis asam asin, hancur rasanya. Aku melirik ke arah mbak Rasti. Sepertinya dia tidak terganggu dengan pernyataan Rama soal aku. Membuatku bertanya, ada hubungan apa Rama dan Rasti? Kok mbak Rasti biasa saja gitu ekspresinya, saat Rama menyebut soal kedekatan kami yang lebih dekat daripada kembar identik sekallipun. Kini dua orang bertitel dokter itu sedang asyik membicarakan hal yang tidak begitu aku pahami soal bidang kedokteran. Aku masih setia menjadi pendengar pasif. “Hari Minggu free nggak?” tanya Rama saat mata kami bertemu di spion di depan kening Rama. Aku tidak langsung menjawab. Pikiranku sibuk memikirkan nasib perasaanku saat ini, memikirkan pernyataan Rama yang selalu menganggap bahwa aku tidak lebih adalah sahabat baginya. Rama menyerukan namaku, lalu bertanya sekali lagi soal jadwal kesibukanku di hari Minggu besok. Gugup aku menjawab. “Free kayaknya. Kerja juga cuma setengah hari?” Tersenyum simpul menanggapi jawabanku, Rama kembali berucap, “Ada bazar yang diadakan alumni fakultas kedokteran Universitas Jember di car free day Minggu besok ini. Bisa ikut?” Aku berpikir keras. Akan menolak atau menerima ajakan Rama ini. Kalau tidak ikut artinya Rama bisa bebas dong berdua-duaan dengan mbak Rasti. Kalau aku ikut kan intensitas kebersamaan mereka pasti akan sedikit berkurang. Harus ambil keputusan cerdas. Toh, masuk kerja jam delapan ini. Kalau Minggu biasanya showroom buka jam setengah sembilan. Wokeeehh... “Boleh deh. Barengan apa gimana berangkatnya?” “Barengan aja. Nanti aku jemput Rasti sekalian jemput kamu.” Mobil Rama berhenti tepat di depan kosku. Aku bergegas keluar dari mobil mendahului Rasti yang sedang membuka seatbelt-nya. Rama mengikutiku keluar dari mobil. Sayangnya aku sudah lebih dulu masuk kamar kosku, tak ketinggalan melempar pintu dengan kesal. Aku menunggu, berharap Rama kembali membujukku seperti biasanya. Namun harapku menjadi sia-sia. Karena hanya sebuah chat dari Rama yang nongol di layar ponselku.  Uda Rama: Aku pulang ya.sampe ketemu bsk.jng molor loh!awas!   Menyebalkan... ~~~ ^vee^  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD