Inginku bukan hanya jadi temanmu
Atau sekedar sahabatmu
Yang rajin dengar ceritamu
Tak perlu hanya kau lihat ketulusan
Yang sebenarnya tak kusangka
Kadang ku hilang kesabaran
Inginku Bukan Hanya Jadi Temanmu By Yovie&Nuno
>>>>>
Hari ini jadwal freelance-ku menjadi pengasuh bayi paruh waktu di sebuah rumah mewah yang berada di kompleks perumahan elite di kota ini. Ih, tapi ogah deh tinggal di sini. Udahlah orangnya individualisme, tempatnya jauh pula dari kota. Ya meski banyak tempat nongkrong dan hiburan di sekitar kawasan perumahan, aku tetap nggak suka. Itu bukan gayaku.
Pekerjaan ini mudah menurutku. Hanya menjaga dan menemani bayi bermain. Kalau dia lapar dan haus tinggal kasih s**u, nanti kalau capek ya dia tidur dengan sendirinya. Kebetulan juga bayi yang aku jaga baru berusia enam bulan. Sedang lucu-lucunya. Anaknya juga manis, jarang menangis. Tidak seperti aku, yang setiap ingat hanya dianggap sekadar sahabat oleh Rama saja selalu bisa membuat aku menangis semalam seperti judul lagunya Audi.
Pukul empat sore, ibu si bayi yang bernama Anabelle sudah pulang. Jangan membayangkan bayi Anabelle sama menyeramkannya dengan boneka Anabelle yang super menyeramkan itu ya. Bayi Abel panggilan untuk Anabelle itu lucu banget, pipinya seperti bakpau, imut, ingin dicium melulu bawaannya. Kenapa pipiku yang mirip seperti bakpau juga nggak ada imut-imutnya sama sekali ya. Amit-amit kalau kata Rama. j*****m banget dia memang.
“Ini bayaran kamu untuk hari ini. Lain kali kalau saya minta tolong jagain Abel lagi, kamu jangan kapok ya,” kata Nyonya Sovi menyerahkan sebuah amplop berisi fee untukku hari ini.
“Kalau nggak barengan sama kuliah sih boleh aja, bu.”
“Nanti fee-nya saya tambahin kok.”
“Iya bu, terima kasih.”
Baru juga aku melangkah keluar dari pintu, terdengar suara Abel menangis ingin ikut denganku. Tidak tega sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, aku harus ke showroom sekarang juga, setelah dua kali gagal menemui bos pemilik showroom itu. Sebenarnya nggak enak banget. Terlebih saat aku membuka isi amplop, ternyata Nyonya Sovi memberi bayaran lebih dari kesepakatan awal. Rejeki anak sholehah. Hahaha...
Aku memilih jalan kaki santai menuju showroom yang letaknya tidak terlalu jauh dari kompleks perumahan elit ini. Hitung-hitung olah raga. Eh, tapi baru lima langkah dari gerbang perumahan, sebuah mobil yang aku hapal siapa pemiliknya berhenti tak jauh dari tempatku saat ini. Itu kan mobil Rama. Mandeh, ngapain dia di sinan? Jodoh banget sih kita, Rama.
“Uda dari mana?” tanyaku pura-pura kaget.
“Dari kosan kamu. Kata Franda kamu jadi pengasuh bayi paruh waktu. Kenapa nggak bilang kalo ada freelance hari ini? Kan bisa aku antar. Perumahan itu lumayan jauh loh dari kosmu.”
Deket kok, Rama, deket... Cuma bayar goceng doang udah sampai gue. Hufftt...
Lama-lama Hayati lelah bang. Maunya apa sih Rama ini, dia care banget kepadaku, tapi giliran aku sudah merasa dibuai di awan dengan segala bentuk perhatiannya, dia akan mengempaskan aku ke rawa-rawa dengan mengatakan ‘kamu memang temanku yang paling baik’. Rasanya ingin protes, tapi mau protes ke siapa? Ke KPU? Dipikir salah perhitungan surat suara Pemilu apa.
Sensitif pokoknya sama kata 'teman' dan 'sahabat'. Ingin bongkar KBBI deh, mencari tahu makna dari kata teman atau pun sahabat itu apa, terus disodorin ke wajahnya Rama. Biar dia bisa membedakan makna dan juga bisa membedakan cara memperlakukan seorang perempuan sebagai seorang teman, sahabat atau sebagai kekasih. Oi... Rama, oi... bersahabat dan pacaran itu dua hal yang sangat berbeda. Hanya saja kadang-kadang kita lupa akan perbedaan itu.
Tuh kan, jantung Amanda Rawles bertalu-talu nih saat menyebut kata kekasih dan pacaran.
Aku tak mendebat lagi kebawelan Rama. Masuk mobil dan duduk manis seperti biasa.
“Mau ke mana lagi?” tanya Rama, merasa tak dihiraukan. Nggak tahan dia memang dicuekin barang semenit saja olehku.
“Aku mau ke showroom yang tempo hari.”
“Masih ngotot mau kerja di sana? Cari tempat lain nggak bisa? Nanti bosnya nggak ada lagi.”
“Ada kok. Nih, di chat sama karyawan sana. Kasih tau kalo bosnya udah ada di showroom. Cuma showroom itu harapanku satu-satunya.”
“Ya udah aku antar. Kamu udah makan?”
“Udah, tadi di tempat freelance.”
Rama mengangguk lalu memutar balik mobilnya di tikungan double way.
“Aku tunggu aja ya,” pinta Rama sesampainya kami di depan showroom yang bentuknya masih sama sejak aku menyelesaikan magangku tahun lalu.
Nggak nolak sih, cuma kan sepertinya ngelunjak banget gitu loh. Udah diantar masa masih minta ditungguin.
“Tinggal aja nggak apa-apa kok, Da. Nanti aku bisa naik angkot pulangnya,” manuverku. Aku menggigit bagian dalan bibir bawahku menunggu dengan cemas jawaban dari Rama.
“Udah sana masuk, aku mau jadi orang pertama yang dapat kabar bahagia kamu,” katanya, lalu tersenyum dan melakukan gerakan memberi semangat kepadaku.
Yes! Rejeki anak sholehah mah gini pemirsa. Makanya banyak-banyakin solat dan bersedekah. Hahahaha...
Aku melenggang masuk ke dalam showroom. Menemui mbak yang biasanya bertugas di showroom. Menunggu sebentar lalu mbak tadi mempersilakan aku masuk ke ruangan bos.
“Selamat sore,” salamku di ambang pintu.
“Sore,” jawab bos pemilik showroom.
Namanya kalau tidak salah ingat Andra. Orangnya tinggi, hidungnya mancung, kulitnya kuning langsat. Terakhir ketemu dulu rambutnya gondrong dan agak berombak, tapi sekarang potongan rambutnya cepak, terpangkas rapi. Ganteng sih, tapi tetep di mataku cuma uda Rama yang paling ganteng. Unch...unch...
Aku masuk dengan penuh percaya diri lalu duduk di kursi di depan meja bos.
“Siapa suruh kamu duduk?”
Mati mak. Suaranya itu loh bikin jantung bergetar. Berat-berat gimana gitu. Coba saja sikapnya nggak dingin, bisa kali bikin aku simpati sama dia.
Aku berdecak lalu berdiri kembali.
“Silakan duduk,” kata Andra dengan wajah datarnya.
Sialan! Mana air keras, mana air keras, manaaa??? Pengin banget disiram pakai air raksa kayaknya nih orang. Nyebeliiin Ya Allah.
Jessica Mila kan malu dikerjain kayak gini.
Tanpa diminta, aku langsung saja menyodorkan surat lamaranku lalu mengingatkan kalau pernah magang di showroom ini selama tiga bulan.
“Bukan 90 hari tapi cuma 70 hari, terpotong kamu nggak masuk dan izin untuk urusan kampus.”
Malu dong pastinya kalau diomongin gitu. Namun sepertinya urat maluku sudah hampir putus menghadapi orang seperti Andra ini. Tahu nggak semuanya? Andra itu sama sekali tidak menyentuh surat lamaranku, sodarah-sodarah. Dia duduk santai dengan menyandarkan punggung lebarnya, iya lebar dalam arti yang sesungguhnya. Punggungnya itu sander-able banget kalau kata Tita. Gelo...
Sambil terus memutar bolpoin dengan jemarinya, Andra berdeham sebentar sebelum berkata, “oke, saya terima kamu. Karena mengingat kamu pernah berpengalaman di sini, dan juga kamu harus membayar perbuatan kamu sudah mengerjai saya di hari terakhir kamu magang waktu itu.”
Aku cuma nyengir kuda mendengar ucapan terakhir Andra. “Maaf, mas. Saya cuma bercanda waktu itu,” sesalku dengan wajah menyesal yang tulus.
“Kamu pikir saya akan melupakan dan percaya begitu saja sama penyesalan kamu? Becandaan kamu nggak lucu!”
Aku menunduk dan menarik napas dalam-dalam. Merutuki semua kebodohan yang aku lakukan waktu itu. Jujur, aku terdorong untuk melakukan keisengan itu karena memang dilatar belakangi oleh perbuatan Andra sendiri yang terlalu semena-mena selama aku magang di showroom-nya.
“Tenang aja, kamu tetap saya gaji kok. Dapat bonus juga kalau bisa memenuhi target penjualan dari saya.”
“Iya mas. Saya pasti akan bekerja semaksimal mungkin.”
“Bagus. Besok mulai kerja kalau gitu. Jam setengah delapan sudah ada di depan showroom.”
“Yaaah, kan showroom bukanya jam delapan, mas. Kenapa aku disuruh datang lebih pagi sih?”
“Terserah kamu, pokoknya saya buka showroom, kamu sudah harus ada di depan pintu.”
Serah lo, Ndra, lo yang punya showroom ini...
“Iya mas,” jawabku sambil menganggukkan kepala.
“Ya udah, tunggu apa lagi? Masih ada yang mau disampaikan?”
“Ada liburnya nggak?”
“Ck..., hari Minggu masuk setengah hari.”
Bahuku merosot. Kalau kerja dari jam delapan pagi sampai jam lima sore setiap hari kan aku jadi nggak bisa cari side job. Onde mandeh...
“Apa lagi?”
“Emmm...itu mas. Kalo saya minta gaji dimuka, boleh nggak? Boleh deh mas. Ya...ya...saya lagi butuh banget soalnya, buat bayar SPP kuliah saya. Kalau saya nggak bayar SPP saya nggak bisa pemrograman SKS, mas.”
Aku berharap Andra akan luluh dengan jurus jituku. HARUS!
“Kamu pikir showroom saya BPR? Kalau mau pinjam duit ke bank atau rentenir sana!” hardik Andra tanpa belas kasih.
“Mas Andra yang baik, ganteng, suka menabung dan tidak sombong, bantu saya sekali ini aja ya!” Aku memelas dan memohon dengan sangat. Ini senjata terakhirku untuk menaklukan hati bos dingin itu.
Andra menatap malas padaku. Aku yakin aslinya dia tuh sengak banget padaku. But, who's care? Aku harus bisa mendapatkan uang untuk membayar registrasi kuliahku. Kalau tidak dengan cara seperti ini, bagimana aku mau menyusun skripsi? Pemrograman saja belum dilakukan. Dan waktuku hanya tinggal tiga hari lagi.
“Oke-” ucapan Andra menggantung. Dia beranjak lalu melangkah keluar ruangannya. Mengedikkan wajahnya dia memintaku untuk mengikutinya.
“Kamu lihat Innova putih itu? Keluaran tahun berapa? Tipenya apa?”
Itu mah gampil.
Ayahku pernah bekerja sebagai Manajer Pemasaran di sebuah dealer merek mobil terkemuka dan terbesar di kota Padang. Dari Ayah aku belajar menyetir mobil dan mendalami seluk beluk mobil serta bisnis jual beli mobil. Sayangnya sejak gempa Padang beberapa tahun yang lalu, beliau harus berhenti bekerja, kaki kanannya diamputasi karena tertimpa batang kayu saat menyelamatkan aku. Sejak itu, Amak-ku lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Setelah aku tamat SMA, Ayah sangat menginginkan aku bisa kuliah di ITB, tapi aku menolak, berdalih takut lama lulusnya, jadi aku mencari jurusan yang cepat lulus dan mudah diterima oleh perusahaan umum maupun pemerintah. Padahal semua demi Rama. Aku tahu Ayah dan Amak pasti kecewa. Oleh sebab itu sejak kuliah di kota ini, aku tidak pernah merepotkan keuangan orang tuaku untuk membiayai kuliah dan biaya hidupku selama di rantau. Aku berusaha keras membiayai kuliah dan hidupku sendiri.
“All new kijang Innova 2016, mesin bensin gasoline tipe G 2000cc,” jawabku penuh percaya diri.
Aku tersenyum miring, menatap pongah pada Andra. Laki-laki itu manggut-manggut seraya mengusap dagu lonjongnya.
“Saya akui pemahaman kamu sama mobil emang dalem banget.”
Aku nyengir kemudian berkata dengan angkuhnya. “Berarti kapan saya bisa terima gaji saya?”
Andra terbahak mendengar ucapanku. “Kamu tuh pede banget. Tugas kamu bukan cuma menebak tipe mobil itu, tapi juga menjual mobil itu dalam waktu dua hari,” jawabnya, menatapku dengan tatapan mencemooh.
“Oke, fine. Dua hari ya. Mobil itu udah nginep sini berapa hari?”
“Baru sampai tadi pagi.”
“Whaaatt?”
Andra berbalik badan kembali ke ruangannya. Tak memedulikan bahuku yang sudah merosot dan wajahku yang memucat.
“Waktu kamu dua hari ya. Kalau hari ketiga kamu kerja belum laku, perjanjian kita batal. Kamu gajian sesuai dengan tanggal kamu mulai kerja.”
Mandeeeh...
Sial banget sih nasibku. Aku keluar showroom dan masuk mobil dengan wajah ditekuk. Rama menyadari raut wajah tidak enak yang terlukis jelas di wajahku.
“Gimana?” tanya Rama sambil melajukan mobilnya menuju kosanku.
“Diterima, tapi pakai syarat.”
“Syaratnya apa?”
“Harus menjual sebuah unit mobil yang baru sampai tadi pagi dalam jangka waktu dua hari. Dia pikir jual mobil seperti jual kolor apa, digelar di trotoar, sepuluh menit sudah diserbu sama mahasiswa gila harga murah.”
Tawa Rama meledak mendengar ucapanku. Padahal aku tidak sedang tertawa saat berbicara, tidak berniat ‘ngelucu’ sama sekali, tapi bisa membuat Rama terbahak sampai keluar air mata.
Sambil menahan tawa, Rama mengacak puncak kepalaku, lalu berkata, “dijalani aja ya. Aku yakin sahabat terbaikku selalu bisa melalui tantangan sehebat apa pun.”
Tuh kaaan, sahabat lagi. Sensitif pokoknya sama kata sahabat. Namun dengan mudah hatiku selalu menghangat menerima setiap perhatian dan ucapannya. Rama, aku nggak rela loh kalau kamu bagi perhatian dan kasih sayang kamu ke perempuan lain. Biarin deh aku dikata sahabat posesif. I don't care.
Sayangnya rentetan kalimat penuh kepemilikan itu hanya mampu aku ucapkan dalam hati.
“Makasih, Uda.” Kalimat itu yang meluncur dari mulutku.
Ingat pasal pertemanan. Pasal satu dia teman kamu. Pasal dua kalau kamu khilaf mencintainya, kembali ke pasal satu. Gitu aja terus sampai Kawah Ijen geser ke alun-alun Jember.
~~~
^vee^