SEMU

1359 Words
PENGUMUMAN Kakiku tak bisa diam, dia terus bergetar kuat karena cemas dengan hasil pengumuman kelulusan yang tertata rapi di Mading sekolah. "Kenapa masih berdiri disini? Apakah kamu tak mau melihat pengumuman kelulusan kita?!" Seru Rana yang terlihat baru saja datang. Hanya dia yang kulihat sangat santai dan tak begitu antusias dengan pengumuman yang membuat jantung para siswa di akhir sekolah berdetak kuat. Aku terdiam sementara dia berjalan mendekati kerumunan anak-anak sekolah yang saling mencari nomor id ujian mereka masing-masing. "Jika kau sudah menemukan namamu, pergilah! Agar Mading ini tak begitu sesak!" Aku dengar Rana mengusir anak-anak yang telah melihat pengumuman di Mading namun enggan pergi karena merasa sok tahu dan ikut mencari id temannya yang lain. Anak-anak sepatuj itu kepada Rana, mereka seolah memberi ruang untuk Rana menuju Mading sekolah. "Manda! Kemarilah!" Seru Rana padaku. Saat itu juga langkah kakiku tergerak menuju kearahnya. Perlahan-lahan ku memberanikan diri melihat dengan teliti ke arah deretan angka yang berbatu rapi di Mading. Aku begitu mengenali nomer ujianku, sejauh aku mencari aku belum menemukan nomer ujianku. Tunggu! Bukankah Bu Marhamah berkata padaku jika di sekolah kita ada 1 murid yang tidak lulus. Aku berinisiatif menghitung jumlah identitas yang ada disana. Murid di kelasku ada 19 dan identitas yang ada di disana hanya 18. "Rana.. apakah kau menemukan nomer Idmu?!" Tanyaku pada Rana hati-hati. Aku takut apa yang aku pikirkan ini nyata. Rana mengangguk, "Ini dia di bawah sendiri, kurasa karena aku terlalu pintar!" Deg! Ternyata benar dugaanku, jika hanya id ku yang tak ada di Mading. "Berapa nomer Idmu? Biar aku membantu mencarinya!" Suara Rana terdengar sangat samar di telingaku. Aku lebih memilih pergi daripada menjawab pertanyaan Rana. Sepanjang perjalanan, air mata mengiringi setiap langkahku. Ya! Kali ini aku tak dapat membendungnya. Dia terus berderai begitu saja tanpa ijin dan permisi. Aku kecewa dengan diriku sendiri, ini mungkin juga karena nilai bahasa Indonesia ku tak terbaca oleh komputer karena aku mengerjakannya dengan pensil seadanya. Seandainya Ayah mengantarku.. Seandainya Pamanku sedikit berbaik hati padaku.. Seandainya angkot yang ku tumpangi bisa berjalan lebih cepat.. Seandainya aku tak berlari.. Seandainya aku tak panik kala itu.. Seandainya… Aaargggh!!! Teriakku. Aku terus menyalahkan diriku sendiri dan keadaan di sekitarku. Aku terus berjalan menunduk dengan cepat, aku tak peduli dengan banyak orang yang menatap aneh ke arahku. Aku juga tak menghiraukan suara Rana yang memanggil-manggilku. Kurasa aku tak hanya mendengar suara Rana, tapi aku juga mendengar anak-anak yang lainnya juga memanggilku. Kali ini saja, maafku harus mengabaikan kalian. Aku tak memiliki cukup muka yang tebal untuk menerima kegagalanku. Jarak tempuh dari sekolah dan rumah cukup dekat hingga tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di rumah. Sesampai di rumah aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Tok! Tok! Tok! Sekitar 5 menit aku tenggelam dengan tangis dan sedihku tiba-tiba aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku dan mencoba membukanya. "Manda! Apa yang terjadi?!" Ku dengar suara kakekku sedikit khawatir saat melihatku pulang menangis melintasinya. "Biarkan saja, Kek! Mungkin dia gak lulus sekolah, atau mungkin nilai ujiannya jelek." Jawaban nenek yang ku dengar. "Manda, dengarkan Nenek ya! Kamu gak perlu kecewa ataupun sedih dengan hasil ujianmu, semua itu tak akan mempengaruhi pernikahanmu dan anggap saja ini adalah cara Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik untukmu!" Eerrgh! Nasehat Nenek semakin membuatku merasa kesal. Aku memukul-mukul bantal yang tak berdosa didepanku. Aku meluapkan kekesalanku terhadapnya. ***** Krukk! Kruukk! Suara ribut dari para cacing penghuni ususku membangunkanku dari tidurku. Ku lihat jam beker di sampingku, jarumnya menunjukkan angka 5 sore. Sudah senja! Hem.. pantaslah cacing di perutku pada berdemo. Setelah menumpahkan tangisan dan kekesalanku tadi, membuatku lelah dan tertidur di antara rasa kecewa dan frustasiku. Aku terus berharap jika kegagalanku ini adalah mimpi, semua ini tak nyata. ***** MIMPI YANG SEMU Usapan lembut dari sahabatku, Yana terus menyentuh pundakku yang saat ini memakai kebaya coklat. Wajahku terasa berat dengan riasan yang entah setebal apa. Benar! Hari ini aku memakai kebaya dan riasan, di usiaku yang masih 15 tahun aku bukan memakai riasan untuk wisuda sekolahku melainkan untuk sebuah acara pertunanganku yang aku gak tau dengan siapa aku akan terikat nantinya. Aku berdiri terpaku menatap diriku sendiri di cermin, aku terlihat begitu cantik dan mungil. Sejenak aku tersenyum saat melihat bayanganku di cermin itu sekilas mirip dengan seorang wanita yang selama ini aku rindukan. 'Mama..' lirihku dalam hati merindukannya. Aku harus menahan butiran air mata yang sudah mengembun di sudut mataku, aku takut perias itu memarahiku untuk kesekian kalinya hanya karena sebuah air mata. Ku lihat Yana tiada henti menatap iba kepadaku. Dari sorot matanya begitu terlihat rasa khawatir dan sedih yang menjadi satu. "Tenanglah! Aku baik-baik saja." Ucapku padanya. Yana menggiit bibirnya dan berhambur memelukku. "Percayalah, tak ada selembar daunpun yang jatuh tanpa kuasa dari Tuhannya dan semua ini juga pasti atas kehendaknya, aku hanya bisa berdoa semoga pria beruntung yang berhasil mendapatkanmu itu adalah pria yang baik dan mencintaimu setulus hati!" Yana adalah sahabat kecilku, kami sudah bersahabat dan saling berbagi bagai saudara sendiri mulai kami masih duduk di bangku sekolah dasar. Sayangnya, karena ketidak adaan biaya Yana harus putus sekolah dan sekolahnya hanya sampai ia mendapat ijazah sekolah dasar. Meski demikian aku selalu menyempatkan waktu setiap hari untuk datang dan bermain bersamanya. Banyak hal yang kami lakukan, banyak hal yang kami ceritakan, serta juga telah banyak tempat yang kami datangi bersama. Hanya dia yang tau tentang hidupku, hatiku, rinduku, masalahku serta obsesi ku. Aku pernah berkata padanya. "Apapun yang terjadi, ketika aku dewasa nanti aku tak boleh miskin karena tak akan yang memberiku uang. Kita tak bisa memilih kita akan di lahirkan dalam keadaan seperti apa tapi kita bisa berusaha untuk menjadi apa di hari esok selanjutnya. Aku tahu apa itu arti mengikat perut dan apa itu arti menelan ludah. Aku tak mau anak dan cucuku merasakan hal yang sama. Aku tahu apa itu arti cemburu dengan kelamnya dunia brokenhome, aku juga tak ingin anakku merasakan semua itu. Akan aku tebus semua ketidakbahagiaan ku untuk anakku dan masadepanku. Aku akan membahagiakannya sebagai ganti kebahagiaan yang tak pernah kudapatkan sebelumnya" Itulah kata yang sering aku ucap sebagai motivasi untuk masa depan ku yang tak ingin bergantung pada orang lain. Aku sudah dengan wajah dunia yang kejam tanpa membutuhkan waktu aku siap atau tidak. Aku dan Yana terlahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu. Sementara Yana memilih menyerah dan lebih memilih bekerja di rumah makan demi membantu ibunya, ayahnya yang pergi menjadi Tenaga Kerja Indonesia sudah 10 tahun tak memberinya kabar apalagi uang. Hal itu yang membuat Yana menyerah. Sedangkan aku, aku memiliki nenek yang tangguh dan kakek yang tangguh meski usia mereka tak lagi muda namun semangatnya dalam mencari nafkah patut di acungi jempol. Karena alasan usia membuat kakekku di PHK dari pekerjaannya yang sebagai supir angkot, namun ia tak menyerah, ia terus mencari uang meski harus ke ibu kota Jakarta dan menjadi kuli di sana. Nenekku adalah seorang penjahit, di sisi ini hati malaikatnya begitu bersinar terang. Dia tak pernah menarget atas jasa yang telah ia berikan. Tak jarang orang hanya memberinya upah seribu rupiah untuk satu baju atau mungkin hanya membayarnya dengan ucapan terimakasih. Selama itu pun aku tak pernah mendengar nenekku komentar. Tok! Tok! Jantungku kembali berdetak kuat saat mendengar ketukan pintu dan benar seperti dugaanku. "Manda.. Ayo! Sudah waktunya kamu keluar!" Ucap tanteku. Tanpa menunggu ijin dariku Tante Lisa memasuki kamarku dan membantuku membenarkan sedikit penampilanku kemudian ia menuntunku ke luar dimana tempat acara pertunanganku di mulai. Awalnya aku bersalaman dengan semua keluarga dan tamu yang mengiring dari pihak pria. Melelahkan bukan? Setelah itu aku duduk di tempat yang telah di sediakan, dimana tempat itu sudah di duduki lebih dulu oleh pria yang tak pernah ku lihat dan ku kenal sebelumnya. Jika menurut prediksiku, pria itu lebih tua dariku 5 tahun. Ragu adalah hal yang mengiringi langkah kakiku. Seandainya aku bisa berlari dari semua itu, apakah tak masalah? Di pikiranku hanya berpikir untuk kabur tapi langkah kakiku terus mendekat. Hingga tanpa kusadari kini ku telah berdiri di depan pria itu, ku lihat pria itu memiliki wajah uang tampan, tinggi besar dan berkulit sawo matang. 'Tuhan, apakah dia yang akan menemaniku di sisa umurku dan apakah dia juga yang akan mendukungku meraih mimpi-mimpi terhebatku' gumamku dalam hati.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD