Geram

1085 Words
“Kenapa Bapak di ganti, Bapak tidak akan mengajar lagi di kelas kita lagi?” salah satu mahasiswa bertanya. “Bukan, Saya hanya akan absen beberapa hari saja karena ada sesuatu yang harus saya selesaikan terlebih dahulu. Jadi untuk sementara waktu, kalian akan bekerja sama dengan dosen baru kalian nanti. Adapun seminar tetap akan di lanjutkan dengan bimbingan dosen baru. Sudah jelas semua, kan?” Semua mahasiswa mengangguk setuju, lagi pula, mereka tidak ada alasan lain untuk menolak atau semacamnya. “Eh, dengar-dengar dosen baru kita ganteng loh,” celetuk sahabat Nayya. “Hmm, baguslah kalau begitu. kamu akan jadi lebih rajin ke kampus.” Balas Nayya acuh tak acuh sambil memeriksa makalah prestasinya. Tiba-tiba hanya suara hening yang ia dengar. Nayya mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk, ia menatap sekeliling, sunyi tanpa suatu. Padahal ia jelas-jelas melihat semua teman sekelasnya membuka mulut untuk berbicara. Tapi kenapa dirinya tidak mendengar suara sedikitpun.?Apa telinganya mulai tuli? Dengan panik dia berusaha mengeluarkan suara, tapi anehnya, bahkan suaranya pun tidak bisa ia dengar padahal jelas-jelas ia mulutnya bergerak dan sahabatnya merespon ucapannya. Tapi kenapa telinganya tidak mendengar apa-apa? Perlahan terdengar suara langkah sepatu yang semakin lama semakin terdengar, hanya suara langkah kaki itu itu satu-satunya suara yang yang ia bisa dengar. Ia menatap ke arah pintu, sepertinya seseorang akan memasuki kelas. Nayya kembali menatap sekeliling, semua temannya masih terlihat sibuk berbincang satu sama lain, tapi ia masih belum bisa mendengar suara mereka selain derap langkah kaki yang semakin lama semakin jelas terdengar di telinganya. Sampai akhirnya Nayya melihat seorang pria tampan yang ia pernah lihat. Ia adalah pria yang sama yang pernah berkunjung di rumahnya tempo hari. Pria itu yang membuatnya ketakutan, dan sekarang , pria itu muncul lagi di hadapannya. Nayya tersentak saat, sahabatnya mengguncang lembut bahunya. Di saat yang sama pendengarannya pun kembali normal. Ia akhirnya bisa mendengar suara riuh di sekelilingnya. “Kau bengong sejak tadi, Ada apa?” tanya sang sahabat sedikit cemas. Nayya menatap bingung sang sahabat lalu menggeleng lemah. “Tidak ada apa-apa,” jawab Nayya yang masih kebingungan mencerna situasi aneh yang baru saja ia alami. “Tuh lihat ke depan, Pak Tirta sudah membawa pria super tampan untuk kita. Wah, aku benar-benar beruntung kuliah di kampus ini,aku bisa melihat pria yang ketampanannya seperti malaikat ini,” kata sahabat Nayya sambil terus memandangi pria yang sedang tersenyum itu dengan penuh damba. Setelah pak Tirta meninggalkan kelas, pria yang akan menggantikannya itu mulai memperkenalkan diri. Semua mahasiswa terlebih mahasiswa wanita, memandangnya dengan penuh kekaguman. Wajah yang sedikit lebih pucat dari orang pada umunya, dengan garis rahang yang tegas. Alis mata tebal yang melengkung sempurna dengan manik mata hitam pekat. Membuatnya terlihat seperti dewa yunani yang menjelma menjadi seorang manusia yang sangat memikat. Bibir merah alami walau juga terlihat sedikit pucat dengan hidung yang mancung sempurna membuatnya kesempurnaan wajahnya benar-benat tanpa cela. Dan tinggi tubuhnya yang dengan bentuk yang proporsional membuat mahasiswa laki-laki yanga ada di kelas itu menjadi rendah diri melihat kesempurnaan dan keindahan fisiknya yang di atas rata-rata dan hampir tidak masuk akal. Pria tampan yang ada di hadapannya ini terlihat berumur tidak kurang dari 30 tahun. “Semata pagi semua, perkenalkan saya Riftan. Mulai hari ini dan beberapa waktu ke depan, saya yang akan membimbing kalian untuk materi yang di bawakan oleh Pak Tirta. Saya sangat berharap kita bisa bekerja sama dengan baik kedepannya.” Ucapan Riftan dengan suara yang lembut semakin melengkapi kesempurnaannya. “Siap, Pak…!” jawab seluruh mahasiswa dengan kompak. Riftan hanya tersenyum menerima respon antusias mereka. ‘Pak, kalau bisa Bapak saja yang mengajar kami selamanya di kelas kami. Pasti semuanya di sini pasti tidak akan ada yang absen masuk kelas,” usul salah satu mahasiswa. “Iya dong, mana mau rugi kita. Iya gak?” Sambung mahasiswa lain. “Huuuu....!” suara riuh pun terdengar diselingi dengan gelak tawa. “Sebenarnya itu bisa terjadi, tergantung kerja sama kita nanti. Apakah kalian bisa menerima pelajaran dengan baik tanpa ada tindakan tidak penting lain yang bisa mengganggu proses pembelajaran? Atau kalian bisa memilih meninggalkan kelas saya jika itu gangguan itu terjadi. So, ini akan menjadi perjanjian awal perkuliahan kalian. Apakah kita bisa deal dengan ini?” suara Riftan terdengar lembut tapi permintaan itu terasa seperti penekanan yang semua mahasiswa harus menyetujuinya tanpa adanya bantahan. Semua orang yang ada di kelas pun mengangguk setuju. Suara yang tadinya bergemuruh riuh seketika menjadi tenang. “Baik, seperti arahan Pak Tirta tadi, kita akan melanjutkan seminar yang menampilkan beberapa tim yang sudah siap. Terus terang saya cukup terkejut saat mengetahui jika materi pembahasan kalian ini menyangkut tentang makhluk mitologi. Dan sekedar informasi buat kalian, saya sangat ahli dalam bidang itu,” ucap Riftan dengan suara tegasnya. “Silakan untuk tim 1, maju ke depan mempresentasikan hasil kerja timnya,” ucap Riftan dengan senyumnya yang indah menawan. Presentasi pun berjalan dengan lancar, tim 1 membawakannya dengan lumayan memuaskan dan mendapat pujian dari Riftan karena sumber yang mereka dapatkan cukup terpercaya. Namun, Nayya yang awalnya begitu bersemangat hanya bisa terdiam tanpa respon apa-apa. sampai Sonia sahabatnya heran dan bingung dengan perubahan sikap Nayya yang tiba-tiba tidak bersemangat. Semua orang sangat antusias dengan seminar kali ini kecuali Nayya. Gadis itu terlihat gelisah dan beberapa kali menghela nafas sampai pembelajaran berakhir. Saat Riftan meninggalkan kelas, barulah Nayya terlihat menghela nafas lega. Wajahnya sampai berkeringat. “Nay, kau kenapa sih? Dari tadi gelisah. Apa kau tidak menyukai pak Riftan?” Sonia mulai bertanya. Ia “Enggak kok, aku hanya tiba-tiba merasa pusing tadi. Yuk ah, ke kantin.” Ajak Nayya mengalihkan perhatian. “Baiklah, kau mungkin kelaparan sejak tadi. Makanya tidak fokus.” Tebak Sonia. “Iya mungin, yuk.’ Keduanya pun berjalan meninggalkan kelas menuju kantin. Riftan POV Akhirnya aku bisa melihat gadis itu lagi, aku benar-benar sangat senang melihatnya lagi. Tapi yang membuatku lagi-lagi kecewa adalah responnya yang sama sekali tidak merasa nyaman di sekitarku. Aku berusaha keras menekan keinginanku untuk mendekatinya karena jika aku kehilangan kendali maka aku pasti akan berakhir dengan membuagtnya bertambah ketakutan. Aku harus lebih bersabar lagi. Aku menutup mata saat aroma darahnya yang menyengat dan membangkitkan gairahku bergerak menjauh dari tempatnya semula. Mau pergi kemana dia? Meskipun aku bisa merasakan aromanya, aku hanya bisa mengandalkan beberapa anak buahku untuk mengawasinya. Aku takut, jika aku bergerak mendekatinya, semua usahaku akan berantakan. Ponselku berdering, panggilan dari anak buahku. “Halo, laporkan!” ucapku. “Tuan, seorang pria mendekati Nona Nayya.” Mendengar laporan itu, seketika darahmu mendidih. Tanpa sadar taringku keluar begitu saja, buru-buru memasang masker untuk menutupi mulutku dan beranjak pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD