SEBUAH KECUPAN

2273 Words
"Oke, aku duluan." Teman Cemara beranjak dari sana, setelah mengeringkan tangan di mesin pengering tangan yang menempel pada dinding toilet. Cemara menghela napas panjang. Ia putuskan pulang. Cemara akan lebih malu jika berhadapan dengan Monica tanpa pasangan. Besok ia bisa buat alasan, ikut liburan bersama kedua orang tuanya. Jika mulut Monica menuntut penjelasan. "Cemara." Panggil seseorang saat ia mencoba keluar Cafe. Cemara kenal suara itu. Milik Rinda teman dekat Monica. "Kau datang? Kita masuk bareng yo." Ajak Rinda menarik tangan Cemara menuju ruang khusus acara Rumi. Cemara tidak dapat menolak, terlebih Rinda menarik tangannya. Rinda membawa Cemara menyapa Rumi. "Kalian datang bersama?" tanya Monica, melihat Cemara yang begitu cantik bahkan mengalahkan penampilannya. Segera merapat pada Rumi, menggandeng lengan pria itu. "Tadi kita ketemu di luar." ujar Rinda. "Eh, aku mau cari Gani. Kamu datang sama pasangan, kan?" Tanya Rinda, sambil mengedarkan tatapannya mencari pacarnya. "Oh iya benar. Pasangan kamu dimana?" tanya Monica. Menilai penampilan Cemara dari atas hingga bawah. Cantik, membuatnya sedikit gelisah. Rumi masih saja menatap Cemara dengan tatapan kagum. Cemara melihat sekilas Rumi yang tampak keren dengan setelan jas hitam dengan dalaman rompi. Tatapan mereka bertemu lalu senyum canggung terjadi di antara mereka. "Aku datang sen—" "Ara." Sebuah suara menyela Cemara. Kemudian satu tangan merangkul pundaknya. Merapatkan Cemara pada tubuh tingginya. Cemara menengadah melihat pemilik tangan yang merangkulnya. Jati sopir pribadinya. Jati tersenyum manis menunjukkan dua lesung pipi yang tidak terlalu dalam Seraya mengusap lengan Cemara. Cemara masih saja terpaku melihatnya. Bahkan bukan hanya Cemara. Monica dan Rinda juga ikut terpaku. Monica terpesona pada pria yang lebih tinggi dari Rumi dan jauh lebih dewasa. Begitu juga dengan Rinda. Rumi? Hatinya hancur. Ia berpikir, Cemara tidak semudah itu melupakannya. Cemara bahkan menggantikannya dengan pria yang lebih matang. "Jati Grandis. Pacar Cemara Lamtoro." Mengulurkan tangan pada Rumi. Mengenalkan diri. Sangat tenang berbeda dari biasanya yang selalu menunduk di hadapan Cemara. Rumi menyambut dengan malas "Rumi Wijaksono." Balas Rumi segera memalingkan wajah. Monica mengulurkan tangan, "Monica Candrawanita." Cemara segera menarik tangan Jati. Melarang pria itu menerima uluran tangan Monica. Wajah wanita itu pucat, menarik kembali tangannya. "Oh iya, Rumi. Selamat ulang tahun. Semoga panjang umur dan makin sehat dan ... semoga hubungan kalian awet." Cemara sengaja membalas rangkulan Jati. "Mas, Jati." Panggilnya manja. "Iya." Jantung Jati meledak padahal majikannya hanya berlakon. Tapi, dipanggil Mas dengan suara lembut membuatnya berada di taman bunga, bahagia. "Kita cari tempat kencan yang lebih menarik. Pengen berdua aja." ujar Cemara. "Tunggu. Aku nggak yakin kalian pasangan. Kali aja kalian pasangan palsu. Kencan buta atau pacar bayaran." Monica melipat lengan di bawah da'danya, menatap Cemara penuh selidik. Wajah Cemara pucat, "A-apa maksudmu?" "Coba dong buktikan kalau kalian pasangan beneran."Cecar Monica. "Iya benar. Kita semua tahu kalau kamu sangat mencintai Rumi. Masa secepat itu melepasnya." Rinda menimpali. "Cukup. Kalian keterlaluan." Rumi jengah melihat sikap Monica, ia hendak beranjak dari tempat itu dan segera dihentikan Monica. "Bukti seperti apa yang kamu inginkan?" tanya Jati dengan sikap tenang. Monica kesal, kecemburuan Rumi semakin jelas pada pasangan itu. Ia harus memastikan kalau Cemara dan Jati pasangan sungguhan. "Cium dia." Cemara melihat Jati dan entah kenapa Pria itu justru tersenyum melihat wajah gugup Cemara. Jati terlihat tenang dan sangat dewasa. "Baru kita percaya kalau dia pacar kamu. Iya kan, Rinda?" Tambah Monica, melihat Rinda. Sahabatnya itu mengangguk setuju. "Monica." Tegur Rumi, dengan raut wajah kesal. "Apa?" Monica menatap tajam Rumi. "Kami tidak perlu ciuman untuk membuktikan—" Jati terdiam, Dalam hitungan detik Cemara sudah berada di hadapannya. Cemara mengangkat tubuhnya, berjinjit untuk mengecup bibir Jati. Kedua manik mata Jati membola, lalu refleks memejamkan mata. Sentuhan bibir Nona mudanya sangat lembut. Tiga detik kecupan itu berlangsung. Rumi terkejut begitu dengan Rinda sementara Monica tersenyum puas. Rumi mengepalkan kedua tangannya erat, selama pacaran pria itu selalu gagal mendapatkan ciuman Cemara. Hatinya sakit, ia segera meninggalkan tempat itu lalu Monica mengejarnya. Menghentikan Rumi meninggalkan pestanya sendiri. Cemara memeluk Jati, "bawa aku pulang." lirihnya. Menahan malu. Jati menelan saliva. Jantungnya semakin kurang ajar berdegup kencang. Semoga saja Cemara tidak menyadari itu. Mimpi apa dia sampai merasakan sentuhan bibir Nona nya. Sangat lembut meski hanya kecupan ringan. Jati mengangguk, menggenggam tangan Cemara lalu membawanya pergi dari cafe. Meninggalkan pesta Rumi yang belum di mulai. "Hujan Nona." ujar Jati begitu keluar cafe. "Tunggu disini. Aku ambilkan payung di mobil." Jati berlari menerobos hujan mengambil payung dari bagasi mobil lalu membuka payung dan membawanya ke pintu cafe. "Ini payungnya, Nona," Jati memayungi Cemara dari belakang. Cemara ragu melangkah, wajahnya pucat dengan sorot ketakutan. "Nona." gumam Jati melihat tangan Cemara gemetar. Cemara memberanikan diri berjalan pelan menuju mobil mereka terparkir. Cahaya yang berkelebat dengan cepat di langit mengejutkan Cemara. Berbalik dan memeluk erat tubuh Jati. Kilat di langit disusul dengan suara petir yang sangat kuat. DARR!!! "Papa." Ketakutan Cemara semakin besar, ketika suara petir terdengar menggelegar. Cemara semakin mengeratkan pelukannya menyesakkan Jati bernapas. Jati menelan saliva kuat-kuat. Punggungnya basah terkena tetesan hujan dari payungnya. Jati perlahan mengangkat satu tangannya untuk mengusap punggung Cemara. DARR! Suara petir kembali terdengar hebat mengejutkan seluruh penghuni bumi di tempat itu. Cemara terperanjat dan semakin menyiksa Jati dalam pelukannya. "Nggak pa-pa, Nona. Jangan takut." ujar Jati. "Bawa aku pulang. Tolong …." Lirih Cemara, masih menelungkupkan wajah di d**a Jati. Jati kebingungan, Cemara memintanya pulang tetapi, gadis itu masih memeluk tubuhnya erat. Celana dan sepatu Jati basah terkena cipratan air hujan yang membanjiri tanah. Jati membungkuk lalu dengan satu lengan kuatnya ia mengangkat tubuh Cemara. Cemara segera melingkarkan kaki memeluk pinggang Jati sementara tangannya melingkar di leher, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher pria itu. Degup jantung Jati semakin berkejaran. Suara petir masih saja terdengar. Ia membawa Nona nya menuju mobil. "Nona tolong turun sebentar. Aku nggak bisa buka pintu mobilnya." ujar Jati. Cemara bergeming, memeluk erat leher Jati. Suara jantung gadis itu meletuk-letuk di dalam hingga Jati bisa merasakan di da'danya. Jati melepas tangannya yang menahan tubuh Cemara sementara satu tangan lain berusaha memayungi tubuh mereka berdua. Jati merogoh kunci mobil di saku celana. Menekan tombol kunci. Suara Bib! Bib! Terdengar dari mobilnya. Jati membuka pintu lalu masuk ke dalam mobil. Cemara masih seperti anak kangguru menempel di tubuhnya. Lagi-lagi Jati menelan saliva. Posisi mereka membuatnya tidak nyaman. Cemara benar-benar berada di atas tubuhnya. Ketakutan dan memeluknya erat. Jati terkejut sendiri melihat kedua tangannya berada di pa'ha mulus Cemara. Ia segera menjauhkannya. Ini benar-benar menyiksa, belum lagi aroma bunga lili sangat harum semerbak dari tubuh Cemara berhasil membangkitkan gairahnya. Ponsel Cemara berdering di dalam tas. Lagi-lagi mengejutkan Cemara. Gadis itu semakin memeluk erat Jati. "Nona, ada apa? Ponselnya bunyi. Mungkin Tuan menelpon." ujar Jati. "Bawa aku pulang."Gumamnya tidak jelas. Kali ini ponsel Jati yang berdering di dalam saku celana. Ia berusaha merogohnya dan tidak sengaja tangannya menyentuh pa'ha Cemara. Jati menelan salivanya. "Astaga. Aku benar-benar tersiksa." Jati membatin. "Tuan nelpon, Nona. Tolong lepas. Kita sudah di dalam mobil." Jati melihat keluar jendela mobil. Hujan masih deras. Ponsel Jati kembali berdering untuk kedua kalinya. Ia memutuskan menjawab. "Tuan." Sapa Jati. "Dimana Cemara?" Suara berat Lamtoro terdengar cemas. Jati menjauhkan ponselnya dari telinga. "Nona, tuan ingin bicara." Cemara melepas satu tangannya dari leher Jati meminta ponsel dari Jati tetapi, wajahnya masih bersembunyi di ceruk leher pria itu. "P-papa …." lirihnya dengan suara bergetar. "Ada apa, Ara?" "Ara takut, tolongin Ara Papa." suaranya ketakutan. Jati mengerutkan keningnya. Kali pertama melihat orang setakut ini pada hujan. "Petir, Ara?" "Mmm," ucap Cemara. Suara helaan nafas panjang terdengar dari Lamtoro. "Berikan ponselnya pada Jati." Jati mengambil ponsel dari tangan Cemara. Ia mendengar Lamtoro mencarinya. "Tuan." "Kalian masih di pesta?" "Jalan pulang, Tuan." "Bagaimana dengan Cemara?" "No-nona—" "Aku percaya samamu Jati. Tolong buat dia nyaman. Dia fobia petir. Aku minta tolong." "A-apa yang harus aku lakukan, Tuan?" Jati mengerti kenapa Nonanya tidak mau melepaskannya. Hening. Lamtoro bingung harus bicara apa. Ia melihat istrinya yang tengah duduk disampingnya. Rasamala mengambil ponsel dari tangan Lamtoro lalu menjauh dari suaminya. Berjalan menuju balkon hotel tempat mereka menginap. "Buat dia tidur, Jati." ujar Rasamala. Ia tahu suaminya tidak akan pernah setuju dengan idenya. Tapi, tidak ada jalan lain. Cemara butuh orang yang bisa melindunginya. Rasamala melihat Lamtoro tampak pasrah. Sampai sekarang mereka belum bisa menghilangkan fobia itu dari Cemara. Sementara orang yang menyebabkan Cemara mengalami gangguan itu sudah lama bebas dari penjara. "Peluk dia, usap punggungnya pelan pelan. Usahakan dia nyaman. Tolong Jati, Ibu minta tolong." ujar Rasamala dengan suara memohon. Jati mengangguk, "Baik Nyonya. A-aku akan coba." ujar Jati. "Aku percaya kamu, Jati." Rasamala segera mematikan ponselnya. Menekan d**a yang terasa sakit. Mereka mengizinkan orang asing memeluk putrinya. Pikirannya tidak tenang. "Semoga saja Jati orang baik." Gumamnya dalam hati, lalu membawa langkah menghampiri Lamtoro. "Kau yakin dia bisa di percaya?" Tanya Lamtoro. "Mmm. Mama yakin, Ayah." Rasamala berusaha meyakinkan diri dan suaminya. Sementara di dalam mobil, Jati melakukan apa yang diminta Rasamala. Memeluk Cemara seraya mengusap lembut punggung gadis itu. Berusaha mengabaikan gelenyar yang menggelitik seluruh tubuhnya. Dia pria dewasa sementara gadis yang memeluknya erat bukan gadis kecil. Dan posisi itu … sangat berbahaya. Tapi, Jati masih waras, Jati tidak akan mengambil keuntungan saat dalam posisi menyedihkan begitu. Jati tidak ingin menghancurkan kepercayaan majikannya. Napas hangat Cemara terdengar teratur di kulit leher Jati. Pelukan di lehernya pun mulai merenggang. Lama Jati menunggu sampai Cemara terlelap. Jati berusaha membaringkan Cemara lalu menyetel jok supaya Cemara nyaman tidur. Merapikan dress yang memamerkan kaki mulus. Jati menipiskan bibir melihat Cemara yang selalu ketus padanya ternyata hanya seorang gadis rapuh. Jati membuka pintu pelan, hujan masih saja deras. Jati mengizinkan hujan mengguyur tubuhnya. Berharap hasrat yang menjalar di tubuhnya lenyap. Jati bermandikan air hujan seraya melipat payung lalu menyimpan di bagasi mobil. Jati kemudian naik ke bangku kemudi dengan basah kuyup. Jati menggigil, menoleh kebelakang. Cemara sudah memutar tubuhnya menghadap punggung Jok. Jati tersenyum, mengusap wajahnya yang basah. Menghidupkan mesin mobil kemudian meninggalkan tempat itu. Membelah kota Jakarta yang diguyur hujan lebat. ••••• Cemara terjaga dari tidurnya. Menggeliat seraya mengumpulkan nyawanya. Duduk dan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Ia mengernyit saat melihat gaun pesta yang ia kenakan masih melekat di tubuhnya. Cemara mengingat apa yang terjadi. Ia menekan gigi pada bibir bawahnya. "Mati." Rutuknya. Meremas rambut panjang yang berantakan. "Mampus." gumamnya lagi. Otaknya sempurna mengingatkan tentang ciumannya pada Jati. Cemara menyentuh bibirnya. "Arrrhhhh." Teriaknya menghancurkan rambutnya yang berantakan. "Bibirku yang berharga. Kenapa mesti dia sih? Uhhh … ini nggak adil, harusnya ciuman pertama sama orang yang kita cintai." Cemara memukuli bibirnya. Ia melompat dari ranjang menuju toilet. Membasuh muka terutama bibirnya. "Tunggu." Melihat diri di cermin, bayangan disana sangat menyedihkan. Ada hal yang paling memalukan selain ciuman itu. Tentang fobianya. Tentang dia memeluk Jati seperti anak monyet menggantung pada Induknya. Cemara melebarkan mata lalu menjerit, gila. "Mati saja Ara. Dia pasti menertawakan mu." rutuknya dalam hati. ••••• "Semalam pulang jam berapa, Mas?" Tanya Yanti. Meletakkan segelas kopi di meja. "Terima kasih, Yan. Mmm tiba di rumah jam sebelas kayaknya." Jati mengambil gelas kopinya, meniup perlahan asap yang mengepul lalu menyeruputnya. Yanti mengagumi Jati yang semakin hari terlihat keren. Saat pertama melihat pria ini. Ia tahu Jati seorang yang tampan hanya saja penampilannya yang kuno menutupi pesonanya. Jati menatap gelas kopinya. Pikirannya mengingatkan kejadian malam hari bersama Cemara. Ciuman lembut bibir gadis itu walau hanya sebuah kecupan mampu berkeliaran di kepalanya. Mengusiknya hingga tidak bisa tidur. Dan … yang paling mengganggunya saat ini, Aroma bunga bakung yang ia cium dari tubuh Cemara. Sampai detik ini aroma itu seolah mengikutinya terus. "Mas, Jati." Entah sudah berapa kali Yanti memanggilnya. Hingga gadis itu menyentuh lengan Jati, mengejutkan pria itu. "Iya, apa?" Tanya Jati seraya tersenyum. "Lagi mikirin apa? Melamun aja. Ini masih pagi loh." ujar Yanti, mengaduk-aduk teh manis miliknya. "Ah, nggak lagi mikirin apa-apa, Yan." Jati merasakan ponselnya bergetar di dalam saku. Ia merogoh dan melihat pemanggilnya. "Aku angkat telepon dulu, Yan." ujar Jati beranjak dari duduknya. "Siapa? Pacar kamu ya?" Jati terdiam, melihat Yanti. Mulutnya ingin mengatakan sesuatu tetapi, suara Cemara mengalihkan perhatian mereka. "Mbak, Yanti." Panggil gadis itu dari ruang tamu. "Aku kesana dulu, angkat gih telponnya." ujar Yanti seraya melangkah menuju ruang tamu. Jati menekan tombol jawab di ponselnya. "Iya. Mbak?" "Uangnya ada nggak?" "Aku belum dapat uangnya. Bos aku lagi di luar kota. Aku mau kasbon sama siapa, Mbak?" Jati mengusap wajahnya, meninggalkan meja makan khusus pekerja di rumah itu menuju kamarnya. "Jati, kamu nggak pernah bisa diandalin ya." Sambungan telepon mati, Jati menggeram frustasi. Meletakkan ponsel di atas meja kecil tepat di samping ranjangnya. Selalu saja uang yang dibahas setiap bicara padanya. Seolah Jati memiliki mesin cetaknya. Jati pusing dibuatnya. ••••• "Pagi, Nona." Sapa Jati sembari membuka pintu mobil untuk Cemara. Seperti biasa ia sudah bersiap menangkap tas Cemara tapi, kali ini Cemara tidak melempar tasnya justru membawa masuk bersamanya ke dalam mobi. "Langsung jalan. Papa berangkat kerja bareng Mama." ujarnya begitu Jati duduk di bangku kemudi. "Baik, Nona." Jati mengemudikan mobil ke luar halaman rumah. Sesekali melirik Cemara lewat spion. Gadis disana sibuk dan tampak biasa saja. Satu hari berlalu setelah kejadian di cafe. Cemara sama sekali tidak keluar rumah dan dia hanya bercengkrama dengan Lamtoro dan Ibunya begitu pulang dari luar kota. Pagi ini Jati cukup bahagia. Ia menandatangani kontrak kerjanya untuk lima tahun. Lamtoro juga mengucapkan banyak terima kasih, karena sudah menemani Cemara saat kesulitan. Mobil yang ia kendarai masuk ke parkiran sekolah. "Jangan keluar." ujar Cemara saat Jati hendak keluar membukakan pintu untuknya. Cemara tidak ingin teman-temannya melihat Jati yang diakuinya sebagai kekasih. "Baik Nona." Entah kenapa, Jati merasa seperti ada tangan tak kasat mata mencubit hatinya mendengar larangan Cemara. Bukankah malah lebih bagus begitu? Ia tidak perlu tergesa membuka pintu untuk gadis angkuh itu tapi, kenapa justru ia ingin melakukannya. Melayani Nonanya seperti biasanya. . . . Thank you.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD