BAB 1

1361 Words
TERJERAT CINTA WANITA PANGGILAN Oleh: Kenong Auliya Zhafira [May, ada gawe. Kali ini spesial. Pria usia 35 tahun, habis patah hati diselingkuhin ceweknya. Nanti malam jam tujuh dandan yang cantik tapi kagak menor. Soalnya ini rada beda, kesehatan oke. Kamu dengerin aja dulu tuh orang, kalau cerita masalah pribadinya. Semoga beruntung.] Satu pesan via w******p menjadi sarapan pagi buat seorang wanita cantik, berambut ikal dengan tinggi 165 cm–Yesha Sasmaya. Berbekal kisah kelam saat masih duduk di sekolah menengah atas, wanita yang punya nama beken Mayasha itu terjebak dalam dunia fatamorgana. Bukan karena terseret arus pergaulan bebas, tetapi jalan inilah yang Mayasha ambil setelah hatinya patah berkeping-keping dikhianati sang kekasih. Melihat pria yang telah merajut kisah hampir tiga tahun lebih harus kandas secara tragis. Di mana Mayasha menemukan kekasihnya b******u dengan sahabatnya sendiri. Hidup dan hati seketika hancur lebur di tempat. Raga seakan mati ditikam belati dari sisi belakang. Berbulan-bulan hidup sembunyi dengan raga tak terurus. Ibarat kata ingin mati tapi ajal belum menjemput. Mayasha masih saja meratapi kisahnya yang sebentar lagi mereguk tingginya impian suatu ikatan. Namun, semuanya harus kandas hingga menjadi puing yang bertebaran layaknya debu. Pertemuan tidak sengaja dengan Elena–wanita yang dua tahun lebih tua darinya, membuat hidupnya perlahan membaik. Ia bisa mendapat teman bicara untuk mengurangi rasa sakit yang seakan membu-nuhnya. Bahkan, penampilannya berubah demi melupakan masa lalu. Bersama Elena, ia membuat hidup dengan caranya sendiri untuk mengobati semua luka, meski bisa terbilang g*la dan h*na. Menjadi anak sebatang kara juga menambah jalan hidup seorang Yesha kadang lurus dan berbelok jauh entah ke mana, termasuk menjadi wanita panggilan. Demi menjaga dari penyakit berbahaya, Mayasha menyeleksi ketat para tamu yang memanggilnya. Kesehatan dan usia menjadi prioritas utama. Batasan usia pun ada patokan sendiri. Mayasha membaca ulang pesan Elena lebih teliti. Sebagai wanita panggilan yang menerima jasa apa pun untuk membuat semua kliennya merasa puas, ia dituntut untuk tampil sesuai pesanan. Jika, pria hanya membutuhkan dirinya sebagai pendengar teman bicara, maka ia berpakaian biasa. Akan tetapi, bila pria itu menginginkan sesuatu yang lebih, maka ia akan memilih baju terbaiknya. Melupakan kisah hidup demi bertahan hidup, jemari lentik Mayasha kembali membalas pesan dari Elena. Ia tidak mau tamunya menunggu jawaban terlalu lama. Mayasha [Oke. Thanks buat jobnya. Aku suka caramu selalu memberi informasi detail tentang tamu yang memanggilku.] Setelah pesan terkirim, ponsel diletakkan di meja. Kemudian beranjak memilih gaun berwarna peach tanpa lengan dengan panjang sebawah lutut yang tergantung di lemari. Merias dengan polesan bedak tipis semakin membuat kecantikan Mayasha terlihat natural. Bibir tipisnya pun hanya diolesi lipstik tipis warna merah muda. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai sepanjang pengait bra. "Sempurna!" ucapnya setelah mematut diri di depan cermin. Sebelum berangkat menemui pria yang memanggilnya, Mayasha menuliskan pesan singkat pada sahabatnya yang telah menemaninya hingga detik ini. Mayasha [El, nama tamunya siapa? Janji temunya di mana?] Tidak ada semenit satu pesan kembali masuk. Mayasha menyambar cepat ponselnya dan membacanya. Elena [Namanya Lian Erza. Aku udah ngirim alamat rumahmu. Tunggu aja di depan. Kayaknya udah otewe.] Mayasha [Oke.] Wanita yang mungkin sudah terkotori itu mengambil sepatu haigh heels warna senada dengan gaun yang membalut tubuh seksinya. Tepat setelah kaki jenjangnya terhias sempurna, Mayasha mendengar suara ketukan di perumahan miliknya. Bekerja selama dua tahun sebagai wanita panggilan, Mayasha sudah bisa membeli perumahan elit di dekat kota. Bukankah hidup tergantung bagaimana kita mau mengambil jalan yang mana? Ya, Mayasha memilih jalannya sendiri demi bertahan hidup dari kerasnya dunia. Kadang dunia begitu sombong mempermainkan nasibnya. Akan tetapi, semua itu sudah tidak berarti lagi baginya. Ia telah membuang jauh semua rasa dan harga dirinya jauh ke dasar lautan. Kini hanya tersisa harga tubuhnya yang telah membawa semua hal dalam genggaman. Mayasha bisa membeli apa pun yang ia mau. Suara ketukan pintu membuatnya tersadar kembali akan kenyataan. Mayasha berlari menjemput uangnya yang telah berdiri menunggu di balik pintu. Di hadapannya berdiri seorang pria yang wajahnya lumayan tampan, berkulit bersih, hidungnya juga mancung, apalagi bibirnya .... Tubuhnya juga terlihat atletis. Celana jeans berwarna biru tua dengan jaket senada membalut sempurna tubuhnya. Pesonanya mampu menggoyahkan prinsipnya, yakni mengajak hati bermain dalam rasa. Namun, ia segera membuang semua itu. Baginya itu bukan cinta tapi hanya sekedar terpesona. "Mayasha?" "Lian Erza?" Keduanya memastikan nama dengan saling menatap penampilan masing-masing dari ujung kepala sampai kaki. "Mau mengajak ke mana?" tanya wanita yang masih berdiri di depan pintu. "Bisa bicara di sini saja? Saya sudah memanggilmu lewat Elena sampai pagi. Jadi, waktu kita masih banyak. Saya butuh teman malam ini." Pria yang bernama Lian menerebos masuk begitu saja ke dalam rumah. Mayasha merasa sia-sia sudah berdandan jika ujungnya tidak menghabiskan malam di tempat yang seharusnya. Baginya menerima tamu di lingkungan rumahnya terlalu beresiko. Lian mendaratkan tubuhnya di sofa, sedang Mayasha memilih duduk dengan jarak lumayan dekat. Menilik sejenak pemilik wajah yang menggambarkan banyak keresahan. Tangannya memberanikan menggenggam jemari sang pria. Ia hanya tersenyum getir, tetapi sentuhan itu berhasil membuat tatapannya beralih pada Mayasha. "Hei ... menurutmu apa yang harus saya lakukan saat melihat tunangan sedang b******u dengan orang lain di rumahnya?" Lian bertanya dengan suara parau. Mungkin jika wanita, ia sudah meraung menangisi nasib. Sebelum menjawab pertanyaan Lian, tangannya gesit mengambil minuman kaleng yang tersimpan di samping sofa, lalu memberikan satu pada pria di sebelahnya. "Apa kau pernah tidur dengannya? Kenapa terdengar seakan kau tidak bisa hidup tanpanya?" Mayasha bertanya sambil menatap langit rumahnya. Ada harapan yang pernah setinggi itu tapi harus runtuh karena kesalahan tak berperisahabatan. Lian tertawa mendapati pertanyaan begitu pribadi. Sisi terdalamnya mulai tertarik pada wanita di depannya. "Hahaha ... apa semua wanita berpikir sepertimu?" "Cinta dan nafsu hanya beda tipis. Walau bagaimanapun kau mempertahankannya untuk satu orang, nyatanya orang itu justru membaginya dengan orang lain. Bukankah itu egois?" "Satu lagi. Jangan pernah sekali pun kau menanyakan tentang ini pada wanita yang menjaga dirinya dengan baik. Karena jawaban mereka akan berbeda jauh dengan wanita sepertiku," imbuh Mayasha setelah meneguk habis minuman kaleng di genggaman dan meletakkan di meja. Lian mengembuskan napasnya kasar, lalu bersandar pada sofa yang diikuti wanita di sebelahnya. Sesaat pandangan keduanya beradu. Sorot mata mereka seakan tahu luka yang tertahan. Menatap wanita yang kata orang-orang cantik nan seksi membuat Lian mulai tergoda. Ia ingin melupakan tragedi itu dengan satu kesalahan yang sama, tetapi beda perasaan. Tatapan mata yang semakin lekat membuat Lian ingin lebih mendekat. Perlahan tapi pasti, tangan kekarnya mulai mengusap pipi lembut Mayasha. Bayangan tunangan b******u dengan orang lain mulai perlahan menghilang ketika bibirnya menyentuh bibir tipis wanita yang memiliki pikiran tentang hidupnya sendiri. Bersandar di sofa membaut gerak sang pria semakin panas. Mayasha selalu berusaha menerima pagutan lembut bibir sang pria, bahkan sesekali ia membalasnya. Lian menghentikan aksinya sejenak. Wanita di depannya masih terpejam menikmati bekas bibir yang baru saja terlepas. Merasa terlalu lama menunggu, Mayasha membuka matanya. Melihat Lian dengan jarak sedekat ini, membuat jantung ikut berdebar hebat, hingga membuat dadanya naik turun. Bukan Mayasha jika melakukan pekerjaannya tanpa rasa. Entah kenapa bersama Lian–tamu istimewa malam ini, membuat hati ikut bermain. "Kenapa berhenti? Bukankah kau memanggilku untuk ini?" tanyanya sembari melirik bibir sang pria. Lian hanya mencoba bagaimana rasanya mencium wanita yang bukan siapa-siapanya. Ternyata seorang Mayasha mampu melenyapkan kenangan pahit itu. Merasakan d**a wanita yang masih menatapnya naik turun membuat gejo-laknya kian menjadi. "Bagaimana kalau saya menginginkan lebih dari c*uman? Apa kau keberatan? Bukankah itu bagian dari pelayanan ini?" Tanpa menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya, Mayasha kembali memagut bibir Lian dengan lembut. Kedua tangan melingkar mesra di leher sang pria. Menuntunnya hingga tekanan c*uman semakin dalam. Bagi Lian, cara ini mungkin terdengar tidak normal jika untuk melupakan tragedi yang menyakitkan hatinya. Namun, bagi Mayasha hal ini untuk menyambung hidupnya. Perkara dosanya ia akan menanggung semuanya ... sendirian. Jeritan dering ponsel di meja membuat Lian geram. Ia masih ingin merasakan pelayanan Mayasha secara total, tetapi harus terhenti. Lian menatap ponselnya, nama sang ibu terlihat memanggil. "Breng-sek! Enggak tahu orang lagi nyari obat!" umpatnya sembari memukul sofa, lalu membuat jarak sejenak. "Halo, Bu ... ada apa? Lian lagi sama temen?" Akhirnya Lian menerima panggilan telepon, sedangkan Mayasha menatapnya dalam kagum. "Kamu di mana? Apa benar kamu membatalkan pertunanganmu? Apa alasannya?" Lian melirik wanita yang masih terlihat menggoda. Ia tidak mungkin membahas masalah keluarga di depannya. "Ah, si-al!" -----***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD