Part 2 : Bertemu Orang di Masa Lalu

1411 Words
(PoV Suci) ***** "Sayang bangun...sholat Subuh dulu," sayup dapat aku dengar suara ibu membangunkanku. Aku regangkan badan yang sedikit terasa pegal akibat lelah perjalanan luar pulau dan aku usap kepalaku yang sedikit pening. Aku beranjak untuk melakukan aktivitas rutin pagiku. Setelahnya aku menuju ke dapur menghampiri ibu yang tengah menyiapkan sarapan. "Wangi sekali aromanya bu." "Iya..roti panggang favorit Suci kan?" aku mengangguk membenarkan perkataan ibu. Aku mendekat, memeluk ibuku dari belakang," Maafkan Suci bu, Suci sudah egois membiarkan ibu tinggal sendiri selama 3 tahun tanpa Suci memikirkan betapa rindunya Ibu dan betapa sepinya rumah ini, Suci egois sekali bu hanya karena luka hati Suci tidak memikirkan perasaan ibu yang jauh dari Suci, satu-satunya teman ibu di rumah ini, sekali lagi Suci minta maaf bu, maafin Suci atas kesalahan Suci." Ibu mengusap pipiku perlahan, mata yang mulai menua itu terlihat mengembun, "Tidak apa-apa Suci...Alhamdulillah semuanya sudah terlewati, tidak perlu ada yang dimaafkan sebab Ibu tidak berfikir jika Suci egois dengan memutuskan menetap sementara di luar pulau, Ibu sangat mengerti dan akan selalu mendukung kebahagiaan putri ibu ini." "Sudah ahh jangan begini terus, gosong nanti masakan Ibu," ucap Ibu. "Hemm Ibu bikin apa aja ini? banyak banget ada nasi goreng segala, padahal kan cuma kita berdua." "Kata siapa cuma berdua?" Ibu balik melontarkan pertanyaan yang berhasil membuat keningku berkerut. Tiiiinnnn…… Terdengar suara klakson dari depan rumah. "Tuh calon menantu Ibu sudah datang, ayo sana disambut pangerannya." "Ihhhh ibu apaan sih," aku tersipu mendengar ucapan Ibu, gegas aku melangkah ke depan. Mas Arya tampak rapi dengan seragam kerjanya, ia kini menjabat sebagai Deputi Branch Manager atau yang bisa disebut dengan wakil manajer kantor cabang tempatnya bekerja. Di usianya yang masih terbilang muda, tentu saja pencapaian karir mas Arya dipandang cemerlang olah atasan maupun rekan kerjanya. "Assalamu'alaykum." "Wa'alaykum salam, kok gak bilang mau kesini pagi-pagi?" "Ada tamu itu disuruh masuk, bukan malah diberondong dengan pertanyaan, Ibu yang semalam minta nak Arya untuk ikut sarapan di rumah, " sahut Ibuku dari belakang. Aku ber oh ria mendengar penjelasan ibu. Kami bertiga duduk bersama di meja makan. Mas Arya tampak begitu menikmati nasi goreng buatan ibu. "Ayo Suci tolong potongin apelnya buat mas Arya," titah Ibu. Aku segera mengambil apel yang telah terhidang di meja. "Terima Kasih untuk sarapannya bu, sangat membuat perut dan lidah nyaman," puji mas Arya. "Sekalian kalau dibolehkan nanti bada' Maghrib insya Allah saya mau menjemput Suci untuk dikenalkan secara langsung dengan orang rumah." Ibu terang saja mengijinkan permintaan mas Arya. Kata Ibu sudah sangat sreg dengannya. Mas Arya memang lelaki yang sangat sopan, mengerti unggah-ungguh, ramah, pandai membuka obrolan meski dengan orang baru. Makanya tak heran jika ibu langsung menyukai mas Arya dari pertama mas Arya main ke rumah. Itu juga alasanku dulu mengagumi mas Arya. Aku mengantar mas Arya yang berpamitan hendak menuju kantor. Aku membantu membersihkan perkakas dapur walau ibu sempat melarang. Menurut ibu, aku cukup bersantai saja mengingat belum genap 24 jam aku berada di rumah. "Bu..nanti Suci pamit berkunjung ke kantor sebentar ya, buat mengecek persiapan data pemindahan pekerjaan Suci disini, sekalian mengenal lingkungan baru, barangkali banyak orang-orang baru di kantor yang belum Suci kenal, secara sudah 3 tahun Suci pindah tugas ke luar pulaunya." "Tapi pulangnya jangan kesorean, ingat nanti kan ada janji mau bertemu dengan keluarga mas Arya." "Siap Ibu...!!" Aku mengisi waktu luang sebentar dengan membaca buku dan sesekali membuka laptop, mengecek email yang masuk. Matahari kian menyingsing menunjukan sinarnya. Aku bersiap pergi ke kantor setelah sebelumnya berpamitan dengan ibuku yang sedang merawat tanaman-tanaman hiasnya di halaman samping rumah. "Dadah Ibu… " aku lambaikan tangan ke arah Ibuku. Pelan aku lajukan sepeda motor ini, sambil sedikit bernostalgia dengan jalanan kota yang sudah lama tidak aku lewati. Sebenarnya Ibu menyarankan agar aku membawa mobil saja, namun aku memilih berkendara dengan sepeda motor, lebih leluasa untukku yang sedang ingin menikmati angin wilayah yang lama aku rindukan. Tak butuh waktu lama untukku sampai di kantor yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah. Aku menepi ke pos security untuk menunjukkan kartu identitas kerjaku sebelum aku memasuki area kantor. Bapak satpam tersenyum dan mengangguk hormat kemudian menyapaku, "Selamat siang Ibu Suci." "Selamat siang juga pak, semoga kerjanya menyenangkan ya." Aku berlalu ke arah parkiran, turun dari sepeda motor lalu sedikit merapikan penampilanku. Aku melemparkan senyum saat berpapasan dengan beberapa pekerja. Aku memasuki lift dan menekan angka 4, lantai dimana ruanganku berada. Lift berdenting dan pintu terbuka, aku melanjutkan langkahku ke ruangan finance, bagian pekerjaan yang aku tekuni di sebuah perusahaan milik keluarga besar ''Subrata'. "Heyy...selamat siang semua…" "Suci…" seru beberapa rekan kerjaku yang mungkin kaget tiba-tiba melihatku datang ke kantor ini setelah sekian tahun. Mereka sontak menghampiri menanyai kabarku. Dan ada beberapa wajah yang menatap bengong ke arah kami. "Kenalkan...Ini Suci Nur Indraswari, manajer keuangan kita yang baru disini," Nadya antusias memperkenalkan diriku pada karyawan dan staff yang sedang berada ruangan membuatku sedikit nervous disebut sebagai manajer keuangan. Sebuah jabatan yang seminggu lagi akan mulai menyibukkan diriku di kantor pusat ini. Nadya adalah rekan kerjaku sedari awal. Bahkan kami mendaftar dan diterima bersamaan di perusahaan ini. "Gak bilang-bilang mau datang?" protes Nadya. "Sengaja mau beri kejutan buat sahabatku ini, nih oleh-oleh yang kamu mau," aku menyerahkan paper bag yang berisi kain ulos sesuai permintaannya. Nadya berjingkat kegirangan dan memelukku erat, "Senangnya dapat kain cantik ini tanpa perlu ke Sumatera." "Syukur deh kalau senang dengan oleh-olehnya," tukasku. "Sebentar ya, aku kelarin tugasku dulu biar kita bisa lebih leluasa kangen-kangenannya," kata Nadya "Take your time," Setelah melihat-lihat ruangan dan meja kerja baruku, aku pamit ke Nadya sebab ingin ke pantry membuat coklat panas sendiri. Aku mengobrol sebentar dengan pak Heru, General Manager kami saat tak sengaja bertemu dengannya. Kami pun membahas rencana skema pekerjaan yang nantinya akan aku geluti. Kami hanya berbincang sebentar, sebab pak Heru harus segera memimpin rapat. Aku menyesap coklat panas yang telah aku seduh, tiba-tiba ada suara yang terdengar familiar menyebut namaku. "Mba Suci…" Aku menelan saliva ku begitu melihat yang memanggilku ternyata Sari, adik dari Putra yang telah menjadi mantan kekasihku. "Sari?" "Iya mbak, ini aku Sari adiknya_" terlihat Sari menjeda ucapannya. "Apa kabar?" tanyaku mencoba mengalihkan suasana. "Baik mba..mba Suci sejak kapan pulang? Dan ini sudah pindah tugas lagi kesini mba? "Aktif bekerja sih mulai minggu depan, kamu kerja juga disini?" "Iya mbak..jadi admin area. " "Sudah lama?" tanyaku sekedar berbasa-basi. "Baru setahun ini mba," aku mengangguk mendengar jawabannya. Lebih dari tiga kali Sari menanyakan kabarku. Apakah kondisiku pasca putus dari kakaknya disangka seterpuruk itu. Aku menghembuskan nafas lega ketika Sari pergi melanjutkan pekerjaannya. 'Takdir apaan ini yang mempertemukan aku satu kantor dengan adik mantan?' tanyaku dalam hati. Sari sedikit menceritakan kondisi mamanya yang terkena stroke ringan akibat jatuh dari kamar mandi beberapa bulan lalu. Ahh aku menjadi ingat lagi cerita masa lalu. Keesokan hari setelah Putra beralasan mengantar mamanya periksa karena habis jatuh di kamar mandi, aku bertemu dengan mamanya saat belanja di supermarket. "Tante Widia…?" "Wahh ketemu Suci..sama siapa belanjanya?" "Sendiri saja tante," aku mengamati tante Widia yang terlihat baik-baik saja. "Tante Widia sudah pulih, gimana tante badannya ada yang cedera tidak?" "Cedera? Tante sehat dan bugar-bugar saja kok Suci, kok cedera kayak tante baru jatuh saja kesannya." aku cukup kaget mendengar jawaban dari mamanya Putra, meski aku tahu saat malam itu Putra hanya beralasan saja ketika aku memintanya datang ke rumah. Tapi tetap saja aku tak habis pikir mengapa Putra tega dengan berbohong berkata jika mamanya habis jatuh. Karena ucapan sama saja dengan do'a bukan? ------ Aku mengambil gawaiku dan mengetikkan pesan pada Nadya jika aku mau langsung pulang saja menemani ibuku di rumah. Lalu aku beralih ke kontak mas Arya yang mengirim pesan, bertanya aku sedang apa dan lain sebagainya. Bak ABG yang baru kasmaran, aku membalas pesan mas Arya sembari senyum-senyum sendiri. Ia berpesan agar aku tidak lupa dengan acara nanti malam. Aku membuka pintu rumah dan mendapati ibu yang sedang berkutat dengan mesin jahitnya yang sudah sedikit usang. Ibuku memang gemar menjahit. Sebagian dari pakaianku adalah hasil karya tangan ibu. Pernah aku tawari ibu untuk mengganti atau memperbaiki mesin jahitnya agar terlihat baru namun ibu menolak dengan alasan mesin jahit itu merupakan hadiah ulang tahun dari bapak. Jadi ibu ingin mesin jahit tetap seperti apa adanya untuk mengenang bapak. "Sholat Ashar dulu Suci." "Baik ibu.." Sore menjelang, aku dan ibu sama-sama menikmati waktu sore hari di halaman rumah. Aku memperhatikan tanaman hias ibu yang tumbuh dengan cantiknya. "Beberapa waktu lalu Putra pernah main kesini." Ucapan ibu menghenyakan perhatianku yang sedang tertuju pada bunga mawar merah muda yang merekah. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD