Bagian 4

1887 Words
Bagian 4 Fatih melonjak kaget saat mendengar suara pintu yang tertutup dengan kencang. “Ada apa, Teh?” tanya Fatih ketika Kharisma berjalan melewatinya. Kharisma mengambil sebuah gelas yang ada di meja makan dan menuangkan air putih. Kemudian, dia meminumnya hingga tandas. “Pintunya ketiup angin,” jawab gadis itu asal. Lalu, dia beranjak dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Lagi-lagi, terdengar suara pintu yang cukup kencang. Fatih merasa heran karena baru kali ini kakaknya bersikap seperti itu. Akhir pekan yang harusnya dipakai untuk bersantai, justru membuat Kharisma dilanda kegalauan. Sejak sampai di rumah hingga sore hari, dia mengurung diri di kamar. Dia tidak menyangka, niatnya bertanggung jawab untuk membayar biaya perbaikan mobil, malah ditolak dan harus diganti dengan sebuah pernikahan. Pikirannya semakin kacau ketika dia mengingat waktu yang ditentukan oleh Rama. Hanya dalam tiga hari, dia harus bisa memberikan jawaban. “Tiga hari ya dan aku gak mau ada penolakan!” Kalimat itu terus terngiang di telinganya. Ditambah lagi dengan kejadian memalukan saat di kedai kopi tadi, Kharisma mengacak-acak rambutnya karena frustrasi. Suara ketukan pintu terdengar dari balik pintu kamarnya. Kharisma bangun dengan malas dari tempat tidur untuk membuka pintu. “Bundaa .…” Kharisma langsung memeluk Aisyah dan menangis. Sejak tadi dia menunggu ibunya itu pulang dari pengajian dan ingin meluapkan semua kegalauan yang ada dalam pikirannya. “Kamu kenapa, Sayang?” Aisyah menuntun Kharisma untuk duduk di tepi tempat tidur, mengusap air matanya dan membelai rambutnya dengan lembut. “Fatih bilang sejak tadi kamu ngurung diri di kamar dan kedengeran kaya lagi nangis,” ujarnya. Kharisma menarik napas panjang, lalu berkata, “Aku nabrak mobil seseorang dan janji mau tanggung jawab, tapi dia malah minta aku tanggung jawab dengan cara menikah dengannya, Bun.” Aisyah tersenyum. Dia menyadari kalau putri pertamanya kini sudah dewasa dan mungkin akan segera menikah. “Bisa jadi kamu nabrak dia sebagai jalan kamu ketemu sama dia,” ucap Aisyah pelan. “Tapi, bagaimana mungkin orang yang baru ketemu dua kali itu menikah? Jangankan saling cinta, kenal aja enggak, Bun!” sahut Kharisma sambil kembali mengacak rambutnya. Aisyah mengambil sisir yang ada di atas meja rias, lalu mulai menyisir rambut Kharisma pelan-pelan untuk membuat putrinya merasa tenang. “Kamu yakin baru ketemu dua kali? Mungkin sebelumnya pernah ketemu di tempat lain.” Kharisma tampak berpikir dan mengingat-ingat wajah Rama. Namun, semakin dibayangkan membuatnya kembali semakin tidak karuan. “Iya serius, Bun. Kharis gak punya teman yang namanya Rama!” “Oh, jadi namanya Rama,” ucap Aisyah meledek. Kharisma tidak menjawab lagi, dia mengikat rambutnya yang sudah disisir rapi oleh Aisyah. “Sebaiknya kamu minta petunjuk sama Allah, cobalah untuk salat istikharah. Dulu waktu Bunda dan Ayah menikah juga belum terlalu saling kenal tapi ternyata berjodoh.” Kharisma menganggukkan kepala dan merasa lebih tenang setelah mendengar saran dari Aisyah. Kemudian Aisyah beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar putrinya itu. *** Tiga hari berlalu, Kharisma sudah kembali pada rutinitasnya bekerja sebagai manajer keuangan di WK Royal Hotel. Dia sudah bekerja selama kurang lebih dua setengah tahun dan bersahabat dengan Silvi dan Dara. Walaupun posisinya lebih tinggi, tetapi hubungan mereka sangat akrab, baik di dalam maupun di luar lingkungan hotel. Sudah waktunya istirahat makan siang, Kharisma masih belum menyelesaikan pekerjaannya. Otaknya seperti buntu karena pikiran terganggu oleh sebuah nama yang rasanya terus menghantuinya. “Mbak Risma gak lapar?” tanya Dara yang tiba-tiba kepalanya muncul dari balik kubikel. “Mbak Risma,” panggil gadis itu lagi, tetapi masih belum ada jawaban. “Risma!” Akhirnya Silvi berteriak sambil menepuk pundak Kharisma hingga membuatnya terkejut. “Ada apa, sih?” “Dari tadi Dara manggilin lo gak dijawab-jawab,” sahut Silvi yang memang sering bicara blak-blakan. “Sorry, ya, lagi mumet banget, nih, sama Excel. Pusing gue!” “Yuk, kita makan dulu! Mbak Risma dan Mbak Silvi mau makan apa?” Usia Dara lebih muda dibanding Kharisma dan Silvi, sehingga dia lebih sering memanggil keduanya dengan panggilan mbak. “Kita makan bakso di seberang, yuk!” ucap Silvi memberi usul. Kharisma mengunci layar laptopnya, lalu mengambil dompet serta ponsel. Kemudian, mereka bertiga keluar dari ruang kerja mereka. Baru beberapa langkah berjalan, ponsel Kharisma berdering. Dia menunjukkan layar ponselnya pada Silvi dan Dara. Arya yang menelepon. Perasaan Kharisma tidak enak, dia mencoba untuk mengabaikan panggilan itu. Namun, Arya kembali meneleponnya. “Angkat aja, Mbak! Siapa tahu ada yang penting sampai berkali-kali nelepon,” kata Dara. Kharisma menarik napasnya, lalu menekan tombol hijau dan sengaja membuka loudspeaker agar dua sahabatnya bisa mendengar suara Arya. “Assalamualaikum. Ya, Dok.” “Wa alaikumussalam, Ris. Saya lagi ada di Harmony Cafe sekarang. Kita makan siang bareng yuk! Sekalian ada yang mau saya bicarakan.” Kharisma menatap Silvi dan Dara, kembali meminta saran dari mereka. Silvi memberikan dua jempol dan Dara mengangguk. “Oh, begitu. Sebentar saya turun ya, Dok.” Setelah menutup teleponnya, Kharisma berpamitan dengan Silvi dan Dara. Harmony Cafe berada di lantai dasar WK Royal Hotel. Sekitar lima menit kemudian, Kharisma sudah tiba di depan pintu kafe dan langsung menghampiri Arya. Dokter itu berdiri dan menarik kursi lain untuk diduduki Kharisma. “Terima kasih, Dok,” ucap Kharisma yang merasa malu dengan sikap Arya. Dia hanya tersenyum hingga lesung pipinya terlihat. “Kamu mau makan apa?” tanya Arya sambil melihat-lihat menu makanan. “Samakan aja dengan Dokter Arya.” Kemudian Arya mengangkat tangan kanannya untuk memanggil pramusaji dan memesan menu makan siang untuk mereka berdua. Suasana kembali canggung karena keduanya bingung harus membicarakan apa. “Ris.” “Dok.” Arya dan Kharisma memanggil berbarengan. “Kamu yang duluan,” pinta Arya. “Enggak, Dokter Arya aja yang duluan, tadi katanya ada yang mau dibicarakan.” Arya kembali terlihat gugup dan sedikit kebingungan untuk memulai pembicaraan. “Hm, sebenarnya saya mau minta maaf, Ris. Soal kejadian beberapa hari lalu di kedai kopi itu yang mungkin membuat kamu merasa malu akibat ucapan Tasya.” “Oh, soal itu. Gak masalah, kok, Dok. Saya cuma agak kaget dengan candaannya Tasya,” jawab Kharisma dengan santai. Arya tersenyum dan entah kenapa jika bersama Kharisma dia selalu memiliki alasan untuk tersenyum. “Tapi, Tasya gak bercanda, Ris. Dia memang ingin kamu menjadi mamanya.” “Hah? Maksud Dokter?” “Iya, dia mau kita menikah, lalu tinggal bersama. Tasya bilang dia sangat senang ada di dekat kamu. Katanya kamu itu selalu bersikap lembut dan bersedia mendengar ceritanya. Tasya merasa cocok sama kamu, Ris. Hmm, mungkin itu juga karena dia memang ingin punya ibu seperti teman-temannya.” Sudah lebih dari dua tahun, Arya bercerai dengan istri pertamanya. Dengan berbagai pertimbangan, hak asuh Tasya diberikan pada Arya. Sejak kecil Tasya diasuh oleh neneknya, sedangkan ibu kandungnya menghilang tanpa pernah memberikan kabar. Arya pun mengakui bahwa dirinya memiliki perasaan yang lebih pada Kharisma dan berharap hubungan mereka bukan lagi hubungan karena profesinya sebagai dokter ayahnya atau sekadar teman saja. Setelah Arya melupakan masa lalunya bersama ibu kandung Tasya, kini dia mulai membuka hatinya kembali dan pilihan jatuh pada Kharisma. “Kharisma, apa kamu mau menikah dengan saya?” Jantung Kharisma berdegup kencang tidak karuan mendengar pertanyaan Arya. Tiba-tiba, seorang pramusaji datang membawa semua pesanan mereka dan menyajikannya di atas meja. Hal itu membuat Kharisma memiliki sedikit jeda waktu untuk memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan pada Arya. “Boleh gak kita makan dulu, Dok? Kalau lapar, kan, jadi gak bisa mikir,” ucap Kharisma yang berusaha mengulur-ulur waktu. Arya menjadi gemas dan mau tidak mau, dia harus mengabulkan permintaan Kharisma. Mereka mulai menyantap menu makan siang sambil sesekali mengomentari rasa masakan tersebut. Arya tidak menyangka, hal biasa seperti makan siang bersama dengan Kharisma saja bisa membuat hatinya sungguh bahagia. Apalagi ketika Kharisma bercerita dan mengeluarkan gurauannya hingga membuat mereka tertawa bersama. Arya telah selesai makan, dia menggeser piring itu sedikit menjauh darinya. Begitu juga dengan Kharisma, lalu dia meminta seorang pramusaji untuk mengangkat semua piring kotor yang ada di atas meja. Sebenarnya, sejak tadi gadis itu terus memikirkan jawaban untuk pertanyaan Arya. Ketika ada dua orang lelaki yang tiba-tiba mengajaknya menikah dalam waktu yang berdekatan, ingin sekali Kharisma kembali mengacak-acak rambutnya atau membenamkan wajahnya ke dalam air sungai yang jernih agar pikirannya pun ikut menjadi jernih. Sayangnya, situasi saat ini berbeda, dia harus segera memberikan jawaban untuk Arya. Arya terus menatap gadis manis itu dengan tatapan yang menantikan sebuah jawaban. Sedangkan Kharisma masih saja terdiam. Bayangan wajah Tasya yang ceria muncul dalam pikirannya. Baginya, Tasya memang anak yang menyenangkan. Mereka sering mengobrol ketika Kharisma sedang menemani ayahnya berobat dan Tasya terpaksa ikut ke rumah sakit jika tidak ada yang mengasuhnya di rumah. Selama ini Kharisma tahu jika Arya adalah seorang duda yang memiliki banyak penggemar di rumah sakit, tetapi dia tidak pernah menyangka bila Arya akan memintanya untuk menjadi istrinya. “Kharisma …,” panggil Arya yang mulai tidak sabar menunggu jawaban dari Kharisma. Ditatapnya mata gadis itu yang memandang ke arahtidak tentu seperti sedang berpikir keras. “Hmm … maafkan saya, Dok,” ucap Kharisma pelan lalu menarik napas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. “Saya tidak bisa menikah dengan Dokter Arya.” “Kenapa, Ris?” Arya tentu saja membutuhkan sebuah alasan yang bisa dia terima. Dia tidak menduga Kharisma akan menolak menikah dengannya. “Karena, hmm … karena saya udah janji sama orang lain.” “Maksudnya?” “Insyaallah, saya akan menikah dalam waktu dekat ini,” jawab Kharisma asal. Padahal, dia sendiri tidak tahu akan bagaimana kelanjutan dramanya bersama seorang Rama yang terus ada dalam pikirannya itu. Arya menyandarkan punggungnya. Berusaha menata hati yang rasanya hancur ketika mendengar jawaban Kharisma. Dia mengalihkan tatapan mata untuk menyembunyikan rasa patah hatinya itu. “Mohon maaf, Dokter Arya, sekarang udah jam satu lewat lima menit. Saya harus kembali kerja. Jangan khawatir, saya akan tetap jadi teman Tasya. Tolong sampaikan salam buat Tasya, ya!” “Terima kasih, Kharisma,” jawab Arya sambil tersenyum. Setelah itu Kharisma berdiri dan berjalan ke kasir untuk membayar semua pesanan. Dia tidak ingin merepotkan Arya dan juga tidak ingin menengok kembali ke belakang yang mungkin bisa mengubah keputusannya. Arya tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegah kepergian gadis yang disukainya. Ketika Kharisma tiba di ruang kerja, Silvi dan Dara seketika heboh menginterogasinya. Semenjak mereka berteman, baru kali ini Kharisma terlihat dekat dengan seorang pria. “Mbak Ris, tadi itu siapa?” tanya Dara. “Ris, kalian baru jadian?” Silvi pun ikut penasaran. Sedangkan Kharisma justru terlihat bad mood. Dia khawatir telah menyakiti hati Arya, apalagi Tasya. Namun, dia juga tidak bisa melepaskan pikirannya pada Rama. “Enggak, kok. Cuma teman aja, dia dokter spesialis jantung yang mengobati ayahku,” jawab Kharisma sambil berjalan ke arah meja kerjanya. Dia tidak ingin menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dara merasa gembira mendengar jawaban sahabatnya itu. “Aku mau dong, Mbak dikenalin sama Dokter Afgan yang ganteng itu. Uwuww …” Silvi pun semakin merasa gemas. “Iya mirip Afgan, pake kacamata dan ada lesung pipinya. Udah ganteng, dokter spesialis lagi. Gue juga mau dikenalin dong, Ris, kali aja jodoh. Hahaha ….” “Eh, tapi lebih ganteng dokter siapa itu namanya, Mbak? Dokter ….” “Arya,” ucap Silvi dan Kharisma berbarengan. Kharisma mengerutkan dahinya dan menyadari sesuatu yang aneh. Bukankah Silvi dan Dara itu belum mengenal Arya, tapi kenapa mereka tahu jika Arya berkacamata dan memiliki lesung pipi. “Kalian memata-matai aku, ya? Ih, kepo banget, deh!” Kharisma mencubit lengan Silvi dan Dara bergantian dengan gemasnya. Kedua sahabatnya itu memang kepo dan selalu nomor satu untuk urusan gosip. Sedangkan Silvi dan Dara hanya cekikikan melihat wajah Kharisma yang memerah. Tiba-tiba terdengar suara pintu pimpinan yang terbuka. Mereka langsung kembali ke meja kerja dan memasang wajah serius sambil menatap layar laptop masing-masing. Ternyata hanya Mira, sekretaris direktur yang keluar dan berjalan melewati mereka. “Nanti kita gosip lagi, ya!”`ucap Silvi sambil berbisik. Kharisma hanya melirik malas pada Silvi si Ratu Gosip. *** Rama membuka sebuah email yang baru saja masuk dengan subjek yang membuatnya penasaran. Email tersebut berisi laporan dari orang suruhannya berupa beberapa foto dan video. Setelah melihat laporan itu, raut wajah Rama berubah menahan amarah. Dia ingat bahwa lelaki itu adalah dokter yang sempat bertemu di rumah sakit dan yang membawa anak perempuan ke kedai kopi miliknya. Foto ketika Arya menarik kursi untuk Kharisma, ketika mereka mengobrol, bahkan tatapan Arya yang hampir tidak lepas dari gadis itu. Sedangkan Kharisma terlihat datar, terkadang dia mengedarkan pandangannya, dan sesekali tertawa. Pada foto terakhir terlihat Kharisma yang lebih dulu meninggalkan Arya. Kemudian, Rama berjalan mendekat ke arah jendela. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menghubungi seseorang. “Asalamualaikum, calon istri.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD