Semilir angin berembus kencang menerpa tubuhku saat ini. Aku lebih banyak diam dan tidak berbicara satu kata pun. Malam ini aku lebih suka tersenyum sendiri sambil tak henti-hentinya membuang napas panjang secara perlahan. Ternyata saat hati sedang bahagia, napas pun menjadi lebih sulit. Apalagi jantung yang tiap detik selalu berdetak. Pipi ini bersemu merah manakala Guru galak itu menyuruhku untuk memeluk tubuhnya.
"Kenapa enggak meluk? Kalau jatuh, aku juga yang repot!" perintahnya sambil berteriak.
Dalam hati, sungguh aku sangat gembira. Entah kenapa kalau lagi berdua dan tidak ada di sekolah, Pak Elang ucapannya selalu lembut dan sopan? Apalagi tadi kudengar dia menggunakan kata 'aku' sebagai penyebutan untuk dirinya.
"Biasanya juga 'saya' ...." batinku berdecak.
"Hem, enggak usah, Pak. Enggak akan jatuh," balasku sekenanya dan tak lupa sambil berteriak karena masih di perjalanan. Namun, setelah dia mendengar penolakanku, Lelaki beralis Sinchan itu memilih diam dan fokus mengendarai motor gede miliknya.
Setibanya kami di tempat tujuan. Pak Elang rupanya mengajakku mengunjungi tempat yang cukup indah. Tempat yang kunamakan hamparan bintang karena cahaya dari lampu yang terpasang di tiap rumah, jika dilihat dari lokasi yang tinggi, mirip seperti bintang berkelap-kelip.
Derap suara langkah sepatu milik Pak Elang terdengar di telinga. Saat aku menoleh, dia sedang berjalan sambil memegang dua buah jagung bakar lalu menyerahkan satu jagung padaku.
"Kamu pasti suka. Makanlah!" Pak Elang menyuruhku untuk memakan jagung bakar tersebut.
Aku menerima jagung bakar pemberiannya kemudian memakannya sembari memandang ke arah Pak Elang. Dalam hati aku menilai karakter guru Bahasa Indonesia itu ternyata tidaklah buruk. Saat aku sudah mengenal dirinya, sikapnya tidak dingin apalagi galak.
Sadar aku perhatikan, Pak Elang malah balik memperhatikan diriku. "Bocah bau kencur dilarang jatuh cinta sama gurunya! Ingat, ya ... saya ngajak kamu jalan, bukan berarti saya menyukai kamu. Ingat satu hal lagi, ini bukan acara kencan, ya?"
"Aduh, Pak. Tidak usah Anda beritahu pun aku tidak akan pernah menyukai Anda. Level lelaki idaman menurut versiku sangat berbanding jauh dengan Anda. Aku memperhatikan bapak hanya karena takjub saja. Jika di sekolah sikap galak Anda sudah sangat keterlaluan," ucapku cuek dengan bibir penuh jagung bakar.
Pak Elang mendelik ke arahku sembari memakan jagung bakar di tangannya. Tatapannya sangatlah menyebalkan, tetapi aku pura-pura tidak menanggapi lirikannya. Tetap fokus memakan makanan kesukaanku.
Sejurus kemudian, lelaki yang kupanggil guru itu tiba-tiba bangkit kemudian menggaet tanganku dan mengajakku kembali pulang ke rumah. Sebelum menarik tanganku, dia terlebih dulu mengambil jagung yang sedang aku makan, lalu membuangnya ke sembarang arah. Sikapnya itu sangat menyebalkan sekali.
"Kita pulang. Besok kamu sekolah. Saya takut kamu bangun kesiangan!"
Belum juga aku berbicara, Pak Elang sudah terlebih dahulu mengatakan hal itu. Terpaksa aku ikuti perintahnya. Ya, meskipun kesal karena masih ingin menikmati jagung bakar kesukaanku yang dia buang begitu saja. Lain kali aku mau ke tempat indah ini lagi. Ke tempat hamparan bintang.
.
Di sepanjang perjalanan lagi-lagi aku memilih diam. Tidak ada satu kata pun dari mulutku. Yang ada hanya suara bising dari knalpot motor miliknya.
Ketika sampai di rumah pun, Pak Elang langsung pergi dari hadapanku. Tidak ada ucapan basa-basi darinya. Pak Elang berubah lagi menjadi semula saat berada di sekolah. Ah, dasar Pak Elang ... dikau mirip sekali sama anak kecil kalau lagi merajuk.
***
Keesokan harinya.
Kartika berlari di halaman sekolah saat melihatku datang dengan langkah gontai ke sekolah. Raut wajahnya begitu ceria. Gadis itu selalu mengepang dua rambutnya yang keriting.
"Naya!" Kartika memanggil. Lalu dia berdiri tepat di depanku dengan napas yang terengah-engah.
"Ngapain lari?" Aku bertanya padanya.
"Takut telat," jawabnya sambil nyengir kuda.
"Ini masih pagi, Kartika. Masih jam 06.30," kataku. Lalu meneruskan perjalanan menuju kelas.
"Oh." Kartika manggut-manggut. "Eh, semalam aku lihat kamu dibonceng laki-laki pakai motor gede, loh. Itu beneran kamu, Nay? Sama siapa?"
"Hah ... gimana-gimana?" tanyaku pura-pura loading. Kakiku berhenti melangkah saat mendengar ucapan Kartika. Aku tahu maksud pertanyaan Kartika selanjutnya pasti tentang acara kencan dadakan itu.
"Semalam aku lihat seseorang mirip kamu lagi dibonceng laki-laki pakai motor gede, Naya. Terus pas aku ikutin, eh, malah ngilang jejaknya. Coba aja semalam aku lagi sendirian enggak sama Mama, ya ... bisa aku lacak deh ke mana perginya."
Gadis itu menyeringai memperlihatkan deretan giginya padaku. Dia sepertinya sedang mencari informasi karena aku yakin, Kartika pasti mengenal seseorang yang ditemuinya semalam.
"Tapi, laki-lakinya kenapa mirip banget sama Pak Elang, ya?"
Deg. Nyaliku ciut saat ini. Kuyakin Kartika mengenali sosok yang tidak sengaja dia temui tadi malam. Mau jujur, aku takut kalau Kartika bercerita lagi pada teman-teman yang lainnya. Kalau aku diam saja, pasti Kartika selalu membahas hal itu. Huft! Serba salah.
"Kamu salah lihat. Jelas-jelas aku berada di rumah bersama Ibu," sanggahku cepat sebelum Kartika berpikir negatif.
Kulihat matanya menyipit saat mendengar ucapanku. "Bukannya ibumu lagi ke luar kota, Nay?"
Gadis bermata sipit itu berubah menjadi detektif. Dia sama sekali tidak memberikan ruang padaku untuk mengambil napas saat aku merasakan ketegangan akibat nada interogasinya.
"Siapa yang bilang?" Tawaku pecah seakan sengaja dilepaskan untuk mengurangi kegugupan yang terlihat jelas di wajahku.
"Jangan-jangan ...." Ucapannya terjeda. Kartika masih terus menatapku tanpa berkedip. "Kamu berkencan sama Pak Elang, ya?"
Deg! Kali ini aku tidak bisa menyanggah lagi ucapannya. Aku terjebak.
"Kata siapa?" Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Pak Elang sudah berdiri di belakangku sambil menatap tajam ke arah kami. Tak lupa tangannya yang disilangkan ke d**a, itu ciri khas khususnya jika sedang mengintrogasi muridnya.
Glek!
Nyaliku ciut. Serasa kering tenggorokanku jika bertemu Pak Elang. Semoga gadis berkucir kuda itu tidak menceritakan kejadian yang dia lihat tadi malam pada Pak Elang.
"Eh, ada Pak Elang. Kebetulan sekali Bapak di sini. Ini Pak, saya mau nanya sama bapak. Semalam saya lihat bapak, em ... bleb-bleb-bleb ...." Kututup cepat mulut Kartika. Aku tidak mau Pak Elang berprasangka bahwa aku sudah menceritakan kejadian tadi malam bersamanya.
"Ada apa? Kok, enggak jelas ngomongnya? Mau nanyain apa?" Seperti biasa, dia kembali menyebalkan. Bicaranya ketus sekali.
"Enggak ada apa-apa, Pak. Tika ini suka sekali kepo sama urusan orang," sanggahku sambil terkekeh dan masih menutup mulut Kartika.
Pak Elang mengangguk. "Kalau mau nanya tadi malam kamu lihat saya sedang berboncengan dengan perempuan, itu benar," katanya kemudian.
Kartika diam. Dia langsung melepaskan tanganku dan membetulkan posisi kacamatanya. "Serius Pak? Sama siapa?"
Rasa penasaran Kartika menjadi awal dari perundangan yang akan aku hadapi hari ini. Jangan sampai Pak Elang memberitahukan kepada Kartika kalau perempuannya itu adalah aku, Nayanika Bhatari.
Guru bermata sipit itu melirik ke arahku. Dia menyeringai sambil menggerakkan kedua alisnya. "Tanya saja sama Naya. Dia juga tahu semalam saya kencan dengan siapa."
Jleb!
Sialan. Guru songong, galak menyebalkan! Aku tak henti-hentinya merutuki Pak Elang yang hari ini kurang se-ons.
"Siapa, sih? Boleh tahu enggak namanya?" Kartika mendesak sambil meremas jemari tangan Pak Elang.
Lagi-lagi Pak Elang tersenyum. Lalu dia membungkukkan tubuhnya pada Kartika seperti hendak membisikkan sesuatu. "Nayanika Bhatari."
Meskipun berbisik, suaranya tetap kudengar. Kali ini tamatlah riwayatku.
Kartika terpaku setelah mendengar penuturan dari Pak Elang kalau malam tadi aku dan guru galak itu berkencan. Saat aku memukul pelan pundaknya, Kartika tersenyum lebar. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini.
"Cie ... yang habis jalan sama guru galak," kelakarnya. Suaranya itu membuat siswa yang lewat ikut tersenyum lebar seolah mengejekku karena termakan ucapan sendiri.
"Amit-amit. Jangan sampai aku berkencan sama Pak Elang. Bisa turun harga diriku nanti." Itulah yang aku katakan enam bulan yang lalu.