Kedatanganku disambut meriah oleh teman-teman di kelas. Mereka semua mengistimewakan aku karena sudah berjuang di medan pertempuran melawan guru bahasa Indonesia. Ada yang mengipasi menggunakan buku tulis, ada juga yang memberiku minuman dalam botol. Ada-ada saja tingkah laku mereka.
"Kamu hebat, Nay. Hebat sudah berani menantang Pak Elang," ujar Kartika, dia teman sebangku.
Aku tersenyum puas mendengar ucapannya. "Iya, dong. Siapa dulu ... Naya gitu, loh."
Dengan tingkat kepercayaan diri tinggi aku berkata seperti itu pada Kartika. Sejurus kemudian, aku mengambil buku LKS bahasa sastra dari dalam tas. Namun, anehnya buku itu sudah tidak ada. Wah, hilang ke mana ini buku?
"Cari buku, Nay? Sudah aku kerjain tadi. Sudah dikumpulkan juga, Nay," ujar Kartika lagi. Membuatku bingung hingga mengerutkan dahi.
"Makasih dong, Nay. Kan, udah aku kerjain tugasnya. Enggak peka banget!" celetuknya sambil memanyunkan bibirnya lima senti. Aku terkekeh melihatnya begitu.
"Uluh-uluh ... hatur nuhun pisan, Kartika Putri. Kamu memang sahabat terbaikku. Padahal aku enggak minta," kataku sambil mencubit kedua pipinya dan itu sukses membuat Kartika meringis.
"Ya, kan aku cuma meringankan tugas kamu, Nay. Kasihan. Habis dihukum guru killer ... eh, disuruh kerjain tugas juga." Kali ini Kartika terkekeh sehabis menyindirku.
Kusenggol pundak Kartika sambil ikut tertawa. Aku sungguh beruntung bisa mengenal Kartika. Dia sahabat yang bisa aku andalkan. Dia juga jarang sekali membuatku marah. Justru akulah yang sering membuatnya merajuk seperti tadi.
Jam menunjukkan pukul 12.30 siang. Pelajaran pun telah usai dan seluruh murid di SMA Negeri 1 ini membubarkan diri. Termasuk aku dan Kartika Putri. Kami melenggang meninggalkan kelas lalu menuju gerbang sekolah dan pulang ke rumah masing-masing.
***
Aku melangkah gontai saat memasuki minimarket dan berjalan menuju rak penyimpanan minyak goreng. Ibu menyuruhku untuk membelinya karena di rumah kehabisan minyak goreng. Kalau tidak dituruti, bisa naik lima oktaf suaranya. Seram sekali.
Saat aku hendak mengambil minyak goreng di rak, seseorang juga ikut mengambilnya dan seketika tanganku dengan tangan pembeli yang lain saling berpegang erat. Yang lebih menyebalkan lagi, tangan besar itu ternyata milik guru bahasa Indonesia yang sangat menyebalkan itu. Guru yang tadi siang menghukumku berlari di lapangan basket.
"Kamu ...?" katanya terjeda. Dia menatapku tanpa melepaskan tangannya yang menggenggam tanganku.
Aku terkekeh.
"Kita ketemu lagi ya, Pak? Sepertinya kita berjodoh," celetukku sambil berusaha melepaskan tangan yang masih digenggam oleh Pak Elang.
"Idih, jangan ngarep! Emangnya saya doyan perempuan kayak kamu. Anak bau kencur," balasnya ketus dan berlalu pergi ke tempat rak berikutnya.
Saat melihat Pak Elang sedikit menjauh dari rak minyak goreng, aku langsung mengambil minyak itu dan memasukkannya ke dalam keranjang belanjaan. Tanpa membuang waktu, aku langsung bergegas pergi menuju kasir untuk membayar minyak goreng.
Tanganku digenggam olehnya lagi saat sedang asyik berjalan untuk kembali pulang ke rumah. Laki-laki yang Kupanggil Pak Guru, tiba-tiba saja menggenggam tangan muridnya yang dia sebut 'anak bau kencur.'
Aku sedikit terperangah menatap wajahnya itu. Dia memaksaku untuk mengembalikan minyak goreng yang tadi sudah kubeli. Sialnya, aku malah berjalan santai.
"Itu minyak goreng saya, Naya. Cepat kembalikan! Nanti uangnya saya ganti!" titahnya sambil mengulurkan tangannya meminta agar aku memberikan minyak itu padanya.
Gila. Bisa-bisa aku diomeli Ibu kalau pulang tidak membawa minyak goreng. Lagi, aku harus bertarung dengan makhluk jadi-jadian itu. Iya, tentu saja dia pantas disebut itu. Karena tidak mirip seperti manusia normal pada umumnya.
"Bapak kalau ngomong dipikir dulu dong! Ini minyak goreng punya saya. Sudah saya bayar, enggak mungkin ini punya Bapak. Saya benar 'kan, Pak?" kataku setengah menjelaskan.
Makhluk jadi-jadian itu pun langsung mendumel dengan suara naik satu oktaf dari suara awalnya.
"Saya bilang juga nanti dibayar lagi. Kalau perlu saya tambahin lagi uangnya. Jadi kamu ada lebihan untuk beli lolipop di warung," jelasnya dengan nada mengejek.
Sialan! Memangnya aku ini anak kecil yang tiap disogok dengan uang, langsung luluh begitu saja. Tentu tidak. Camkan itu!
Aku diam sejenak sambil memikirkan cara untuk bisa lepas dari makhluk Tuhan yang paling aneh ini. Aha! Aku dapatkan idenya.
Kutatap langit berwarna cerah di atas sana. Sengaja kusipitkan kedua mataku.
"Pak, itu di langit ada apaan, ya? Kok, bentuknya mirip mantan Bapak, ya?" seruku sambil menunjuk ke atas langit.
Rupanya dia masuk dalam perangkapku. Yes! Kayaknya aku berhasil.
"Ah, ngaco kamu!" gerutunya. Dia mendumel tetapi, malah nekat juga mendongakkan kepalanya memandang langit biru.
Aku langsung berlari kencang saat Pak Elang tidak melihatku lagi. Entah apa yang dia katakan, aku tidak tahu. Biarlah, yang penting hari ini minyak goreng untuk ibu terselamatkan. Aku tidak jadi digoreng oleh Ibu, eh ... diomeli ibu lagi. Sebagai balasannya, ibu membuatkan makanan enak untukku.
Gara-gara ibu, aku jadi melawan perintah guru. Ya, suruh siapa lelet sok pasang aksi gengsi. Jadinya ya, minyak itu aku ambil. Lagian juga kenapa sih minyak goreng akhir-akhir ini langka? Pada ke mana itu larinya minyak goreng? Hem, mungkin karena harganya murah, jadi ditimbun sama pembeli nakal.
***
Keesokan harinya.
Hari ini aku rada malas untuk berangkat ke sekolah. Pasalnya, bukan tanpa alasan jadi malas. Hanya saja aku tidak mau bertatap muka langsung sama makhluk jadi-jadian itu. Pasti Pak Elang bakalan menandai aku dan menjadi target balas dendam.
Bel sekolah berbunyi nyaring. Sebagian murid di SMA Negeri 1 ini memasuki kelas masing-masing. Termasuk diriku yang sudah lebih dulu sampai di sekolah. Ada debaran aneh ketika guru yang terkenal cuek dan juga ketus itu hadir di hadapan kelas. Debaran itu semakin lama semakin terasa saat Pak Elang selalu memperhatikan aku yang pada saat itu sedang mencuri-curi pandang dengannya. Namun, sikapnya aneh. Dia seolah-olah tidak pernah ada masalah denganku.
"Baiklah Anak-anak, hari ini saya mau menunjuk satu orang murid untuk maju ke depan sambil membacakan puisi akrostik yang tadi saya jelaskan." Pak Elang memberi aba-aba.
Kemudian, dia memperhatikan satu per satu anak didiknya dan entah disengaja atau tidak, Pak Elang menunjuk ke arahku. Hem, pasti ini jebakan buatku karena kemarin berani menipunya.
"Coba kamu, Naya. Maju ke depan, terus bacakan hasil puisi akrostik yang kamu tulis." Begitu mendengar perkataannya, gemetarlah badanku.
Kali ini bukan gemetar karena jatuh cinta, tetapi puisi yang aku buat tadi mengandung kalimat-kalimat cinta untuk guru songong itu. Loh, ini gimana? Bukannya aku sebal sama Pak Elang? Ah, entahlah. I don't no!
"Kenapa kamu diam? Belum mengerjakan tugas dari saya, ya?!" ocehnya. Lalu, tanpa aba-aba dariku, tiba-tiba saja dia mengambil paksa buku latihanku.
Aduh! Gawat! Pasti kali ini aku akan dipermalukan di depan kelas oleh Pak Elang. Dendamnya sudah terbalaskan.
Pak Elang membuka buku latihan milikku. Cukup yakin sudah mataku melihat perubahan di matanya saat membaca tulisan di lembar buku itu.
"Ehem." Dia mengawali dengan berdehem.
Glek! Sebentar lagi akan suara-suara sumbang menyeleneh terdengar berisik di kelas 3 bahasa.
"Nayanika silakan kamu berdiri di lapangan basket sambil memberi hormat pada bendera merah putih!" titahnya dengan cepat.
Aku tertegun ketika mendengar perintah darinya. Bukankah puisi yang aku tulis sudah benar dan pastinya bakalan membuat hati Pak Elang berbunga-bunga? Lantas kenapa sekarang Pak Elang menghukumku lagi?
"Hei, kenapa masih berdiri di sana?" tanyanya tajam. Setajam matanya yang terlihat seperti Burung Elang.
Akhirnya aku mendekati Pak Elang dengan raut wajah kesal. Saat aku sudah mendekat ke arahnya, dia dengan sengaja membuka buku latihan milikku dan apa yang terjadi di luar dugaanku.
Seluruh murid kelas 3 bahasa tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat apa yang ada di buku milikku. Sebuah karya seni karikatur luar biasa yang aku buat membentuk wajah Pak Elang. Lebih parahnya lagi, gambar itu diberi tulisan yang bakalan membuat Pak Elang murka.
'Makhluk Jadi-jadian.'
Sial! Pantas saja Pak Elang memberiku hukuman lagi. Biarlah tidak apa-apa. Toh ini juga kesalahan yang aku buat.
"Ternyata selain pintar berbohong, kamu juga pintar membuat lelucon kayak gini!" tukasnya menjadi-jadi. Sumpah ini tidak asyik.
"Silakan keluar dari kelas ini, dan berdiri di lapangan basket sambil memberi hormat pada bendera!"
Tanpa banyak bicara, aku menuruti perintahnya. Dasar apes! Aku kira tidak akan lagi dihukum oleh guru jadi-jadian itu.
Uh, menyebalkan! Aku sial lagi hari ini. []