Thread Madness - Part 6b

1096 Words
Oh, jadi, ternyata gini, ya, waktu lihat orang pintar terbahak, ujarku berkata pada diri sendiri. "Senang banget. Udah kayak anak kecil aja kamu, Lun," kelakar Edward sebelum memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang sudah disediakan oleh restoran cepat saji ini. "Iya, dong. Jarang-jarang tau aku dapat makanan gratis begini," balasku sambil terkekeh sebelum menikmati es krim vanilla dengan taburan oreo di atasnya yang dibelikan oleh Edward ini. Setelah menandaskan es krim kami masing-masing, aku dan Edward pun membuang sampah bekas makan kami ke dalam tempat sampah yang berada tepat di sebelah mobilnya. Setelah itu, Edward pun segera mengantarkanku pulang ke rumah sesuai dengan tawarannya saat di sekolah tadi. Hanya butuh waktu lima belas menit bagi kami untuk mencapai komplek perumahanku karena memang jarak restoran cepat saji tadi dengan rumahku hanya 2 kilometer saja. "Aku turun dulu, ya, Ed," ujarku berpamitan sembari membuka pintu mobil lelaki itu, hendak bersiap untuk keluar dari sana. Edward menganggukkan kepalanya dan membentuk pola lingkaran dengan menyatukan jari jempol dan telunjuknya yang mengartikan kata 'oke'. "Makasih loh tumpangan sama traktiran es krimnya tadi," imbuhku. "Sama-sama," balas Edward santai sebelum aku benar-benar menutup pintu mobil lelaki itu. Edward kemudian melajukan kendaraan beroda empat itu setelah memastikan aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu pagar dengan benar. Lambaian tangan yang aku berikan dibalas dengan suara klakson satu kali oleh lelaki itu sebelum mobilnya benar-benar menjauh dari rumahku. * Akhirnya aku bisa menghembuskan napas dengan lega pagi ini ketika mataku nggak menangkap mobil Ezra di depan pagar rumahku seperti hari-hari sebelumnya. "Ternyata dia mau juga dengarin ucapanku," ujarku pada diri sendiri sembari terkekeh dan menutup gorden yang sempat aku sibak sebelumnya. Sebenarnya ada sedikit ketidakpercayaan ketika nggak menemukan eksistensi pria yang biasanya bersandar pada mobilnya pagi ini karena selama beberapa hari berinteraksi dengan Ezra, pria itu selalu mendominasi dan kerap bisa membuatku mengalah pada ucapannya. Hmn ... maksudku, pria itu sedikit manipulatif sepertinya. Atau sebenarnya aku yang terlalu bodoh, ya? batinku bertanya pada diri sendiri. Aku berdecak dan menggelengka kepala, nggak setuju dengan pemikiran yang baru saja melintas di dalam benakku beberapa detik yang lalu. "Ah, udahlah. Mending aku berangkat sekarang sebelum nggak boleh ujian semesteran gara-gara telat," gumamku dengan tangan yang menutup pintu rumah. Atensiku kemudian beralih pada lemari sepatu. Tanganku mengeluarkan sepasang sepatu hitam sementara mataku meneliti pada ponsel yang menampilkan aplikasi ojek online untuk mengecek keberadaan driver dan kendaraan yang aku pesan. Sebuah motor berwarna hitam dengan seorang wanita sebagai pengendaranya berhenti di depan rumahku dan membunyikan klakson sebanyak satu kali. “Atas nama Laluna, ya, Neng?” tanya driver ojek online dengan kaca helm-nya yang terbuka. Aku yang baru saja memasangkan sepatu pada kakiku pun lantas bangkit berdiri dan berjalan menghampiri driver tersebut. “Iya, Bu,” jawabku sembari menutup kembali pintu pagar. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sekolah dengan menggunakan ojek online. Suasana di sekolah hari ini nggak seramai biasanya karena hanya dihadiri oleh murid kelas 10 saja. Ya, setiap ujian semester diadakan, sekolahku selalu membagi jadwal ujian menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama untuk murid kelas 10, gelombang kedua untuk murid kelas 11, dan gelombang ketiga untuk murid kelas 12. Setahuku, pembagian gelombang ini dilakukan karena jumlah kelas yang nggak mencukupi untuk dijadikan sebagai ruang ujian, apalagi ditambah dengan setiap meja hanya boleh ditempati oleh satu orang murid saja. Jika setiap murid menempati satu meja, maka tentunya itu membuat jumlah kelas yang dibutuhkan menjadi bertambah dua kali lipatnya. Jadi, demi kenyamanan bersama, maka dibuatlah pembagian gelombang ujian tersebut. * Ujian kali ini berjalan lancar tanpa ada kendala apapun. Guru pengawas di ruang ujianku pun dapat berkompromi alias nggak terlalu killer. Setidaknya seperti itulah yang aku rasakan. Meskipun guru pengawas di ruang ujianku kerap menegur ketika suasana kelas sudah mulai nggak kondusif, tetapi itu bukanlah masalah yang besar bagi penghuni ruangan ini. ‘Lebih baik ditegur daripada ujiannya diawasi oleh guru killer.’ Begitulah motto yang selalu dianut oleh setiap murid di sekolah ini karena bagi kami, jika pengawas ruangan ada guru killer, itu artinya sudah nggak ada kemungkinan bagi kami untuk bekerja sama atau sekadar berbagi jawaban. Meskipun soal ujian kali ini nggak terlalu sulit, tetapi aku sempat mendengar segelintir teman-temanku yang mengeluh karena beberapa soal yang menurut mereka sulit untuk dikerjakan. Bahkan ada yang heboh karena lima soal yang dia kerjakan nggak mendapatkan jawaban sesuai dengan pilihan bergandannya. Bel tanda ujian sudah berakhir pun berbunyi. Semua murid yang sudah mengumpulkan lembar ujian dan jawaban mereka di meja guru sejak sepuluh menit yang lalu pun lantas bangkit dari posisi duduknya dan berhamburan keluar dari ruangan ujian. Melihat pemandangan seperti itu dari tempatku berada saat ini seperti melihat semut yang sedang bergotong royong untuk mengangkut makanan mereka. Aku membiarkan teman-temanku untuk keluar dari ruang ujian ini lebih dulu. Itu lebih baik daripada aku harus berdesak-desakan dengan mereka, 'kan? Toh, setelah ini sudah nggak ada jawdal lagi dan aku juga nggak ada keperluan yang terlalu mendesak setelah ini. Saat aku baru saja melangkah keluar ruang ujian, sebuah suara sudah lebih dulu memanggilku dari arah belakang. "Lun ...!" seru suara itu. Mendengar suara itu, tubuhku pun lantas berputar beberapa derajat untuk menatap pada pemilik suara tersebut. Mataku langsung bersitatap dengan lelaki yang mengantarkanku pulang 2 hari yang lalu, Edward. Lelaki berkacamata dengan papan ujian di tangannya itu pun berjalan menghampiriku. "Ya?" tanyaku dengan kening yang sedikit mengerut, bermaksud untuk bertanya mengenai panggilan tadi. "Mau pulang bareng?" tanya Edward menawarkan sembari menyejajari langkahnya denganku sementara tangannya memasukkan perlengkapan ujian ke dalam tas. "Hmn ...." Aku nggak langsung menjawab tawaran Edward, melainkan balas bertanya pada lelaki itu. "Kamu buru-buru nggak?" tanyaku. "Lumayan, sih, tapi kalau sekadar antarin kamu pulang, sih, masih bisa," balas Edward menjelaskan. "Oh, kalau gitu aku pulang sendiri aja, deh," putusku pada akhirnya. Sebelum Edward sempat membalas, aku sudah lebih dulu melanjutkan ucapanku. "Soalnya aku mau mampir ke tempat lain lagi," sambungku menjelaskan. "Yah ...," desah Edward. "Ke mana memangnya?" lanjut lelaki itu bertanya. "Ada, deh," jawabku dengan cengiran yang menghiasi bibir. Edward berdecak dengan keningnya yang berkerut. Namun, aku tahu kalau lelaki itu hanya berpura-pura tampak kesal karena sedetik kemudian, kekehan sudah menyembur keluar dari mulutnya. Setelah itu, kami pun saling melambaikan tangan dan berpisah di koridor lantai pertama sekolah. Edward menuju ke arah Timur, yaitu tempat parkiran kendaraan. Sementara aku menuju ke arah Selatan di mana lapangan sekolah berada. Untuk dapat sampai di gerbang utama, pada umumnya murid-murid di sekolah ini selalu berjalan melewati lapangan sekolah. Begitu juga dengan diriku. Namun, ketika aku baru saja keluar satu langkah dari gerbang sekolah, sosok seorang pria dengan kacamata hitamnya sudah menyapaku dari balik jendela mobilnya yang terbuka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD