Hal yang sama kembali terulang lagi pagi ini. Di depan pagar rumahku, Ezra sudah menunggu sembari bersandar pada badan mobilnya yang mencolok dan berwarna merah itu.
Aku meringis di dalam hati ketika menemukan pria itu di depan sana. Mau apa lagi, sih, ini orang?! dengusku nggak suka di dalam hati. Bukannya nggak suka dengan sikap pria itu, tetapi ini lebih pada masalah kenyamananku.
Hidupku yang awalnya nyaman, tentram, damai, dan sedikit ... sepi, tiba-tiba didatangi oleh pria borjuis seperti Ezra itu. Jadi, nggak ada salahnya kalau aku merasa terusik dan nggak nyaman, bukan? Lagi pula, aku yakin, dengan penampilannya yang rapi dan kelas atas seperti itu, nggak mungkin nggak ada wanita yang mau bersama dengannya.
Aku berani bertaruh, pasti banyak wanita yang sekelas dengannya sedang mengantri di luar sana. Jadi, kenapa pria itu malah kurang kerjaan dengan pagi-pagi nangkring di depan rumahku seperti ini, sih?!
Dengan gerakan sepelan mungkin aku menutup pintu rumah agar nggak ada suara berderit yang terdengar. Begitu juga saat aku membuka pintu lemari sepatu. Rencanaku sudah hampir berhasil, tetapi saat menutup kembali pintu lemari berbahan kayu itu, suara berderit nyaring yang nggak bisa terelakkan pun terdengar sampai Ezra menolehkan kepalanya dan menatap ke sumber suara, yaitu tempat di mana aku sedang berdiri saat ini.
Aku meringis sembari menutup mata karena rencanaku yang ‘gatot’ alias gagal total. "Boleh aku masuk?" tanya Ezra yang sudah berdiri tegak di depan pagar rumahku. Pria itu kini nggak lagi bersandar pada kap mobil Lamborghini-nya.
"Bo—boleh kok," ujarku terbata dari jarak radius beberapa meter sembari memasangkan sepatu pada kedua kakiku.
Ezra tersenyum kecil kemudian menganggukkan kepalanya. Pria itu lalu menggeser pintu pagar rumahku dan masuk ke dalam. Aku baru saja bangkit dari posisiku yang setengah berjongkok ketika Ezra berdiri tepat di hadapanku. Pria itu mengambil tas kecil berwarna ungu muda milikku yang masih teronggok di atas lantai. Di dalam tas itu ada kotak makan yang berisi makan siang dan jas lab praktikumku.
"Ayo, berangkat," ajak Ezra dengan tangan yang sudah menenteng tas berbahan kain tersebut.
Aku mengerutkan kening setelah mendengar kalimat berisi ajakan itu, sementara Ezra, pria itu sudah lebih dulu membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar dari rumahku untuk menuju ke mobilnya tanpa menunggu balasan dariku.
"Eh ... bentar-bentar. Ini mau ke mana?" tanyaku dengan ekspresi kebingungan yang tergambar jelas di wajah.
"Ke sekolah, dong, Lun. Memangnya mau ke mana lagi?" tanya Ezra dengan ekspresi wajah yang menahan tawa.
"Tapi ... tapi aku bisa pergi sendiri," jawabku dengan kalimat yang menolak tumpangannya secara halus.
Aku masih trauma dengan kejadian kemarin yang membuatku harus berakhir dengan minyak kayu putih dari awal sampai akhir pelajaran karena aroma dari tempat pembuangan sampah yang membuat kepalaku berputar-putar.
Aku nggak ingin pria bernama Ezra itu kembali menculikku dan membawaku ke suatu tempat sampai-sampai membuatku harus kembali merasakan hal yang sama seperti kemarin lagi. Big no no! Itu nggak boleh terjadi lagi.
"Nggak baik loh menolak tawaran orang. Hitung-hitung ini rezeki yang datang dari Tuhan buat kamu," jelas Ezra sebelum pria itu benar-benar keluar dari perkarangan rumahku dan masuk ke dalam mobil Lamborghini-nya.
Rezeki apanya? Udah jelas-jelas situ penyebab aku mabuk gara-gara cium bau di tempat pembuangan kemarin! Huh! gerutuku mencibir di dalam hati.
Aku membuka pintu mobil Ezra. Namun, aku nggak langsung masuk ke dalam mobil itu, melainkan menatap Ezra yang sudah duduk di balik kemudinya.
"Hmn ... Ez—Ezra." Ya Tuhan, bahkan menyebutkan namanya saja aku masih tergagap. Kenapa orang ini bisa tiba-tiba datang menghampiriku selama dua hari berturut-turut, sih? Dan kenapa juga aku bisa-bisanya mau berkenalan dengan Ezra waktu itu?!
Apakah manusia bernama Ezra ini adalah kiriman dari-Mu, Tuhan? batinku bertanya di dalam hati. Tapi kiriman untuk apa, Tuhan? lanjutku bertanya.
Aku segera menggelengkan kepalaku untuk mengusir pemikiran-pemikiran aneh yang mulai berseliweran di dalam benakku dan kembali fokus pada sosok pria berkemeja yang ada di dalam mobil berwarna merah itu.
"Aku pergi sendiri aja nggak apa-apa,"gumamku. Perasaan kikuk tiba-tiba datang menghampiri ketika indra penglihatanku yang nggak sengaja meneliti penampilan Ezra yang jauh berbeda dengan diriku. Maksudku, status sosial kami benar-benar jomplang dan berbeda bagaikan langit dan bumi. Jauh sekali. Namun, bukan hanya itu saja, sepertinya umur kami juga terpaut lumayan jauh, tetapi aku nggak tahu tepatnya berapa tahun jarak usia kami.
"Serius, deh. Aku pergi sendiri aja, ya," lanjutku menganjurkan sembari mengulurkan tangan, hendak mengambil tas berisi makan siangku yang berada di pangkuan Ezra. Namun, belum sempat tanganku mengambil tas kecil itu, tangan Ezra sudah lebih dulu menjauhkan benda itu dariku. Kepala pria itu juga menggeleng, menolak dan nggak setuju dengan anjuran yang baru saja aku lontarkan.
"Ayo, masuk, Lun. Aku nggak keberatan kok antarin kamu begini. Jadi, santai aja, ya," tutur Ezra menjelaskan. "Ayo, buruan, Laluna. Kamu nggak mau telat, 'kan? Lima belas menit lagi jam masuk sekolah kamu loh," lanjut pria itu yang sukses membuatku membulatkan mata sembari melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku.
Aku menghela napas pasrah. Namun, pada akhirnya aku mengalah juga pada pria itu dan masuk ke dalam mobilnya. Dengan mendebat Ezra tentunya akan membuang waktuku dan aku nggak ingin berakhir di tempat pembuangan sampah lagi seperti kemarin.
*
Selama perjalanan, Ezra-lah yang lebih banyak mengeluarkan suaranya. Pria itu bertanya beberapa hal mengenaiku dan aku hanya menjawab sekenannya dan menimpali ucapannya beberapa kali.
Sebenarnya pria ini nggak buruk juga, batinku bermonolog pada diri sendiri.
Ya, jadi siapa yang bilang dia jahat atau buruk, Laluna? tembak sisi lain dalam diriku bertanya. Perasaan kamu yang nggak suka mulu sama pria ini! tuduhku pada diri sendiri.
Aku menggelengkan kepala untuk mengenyahkan peperangan batinku. Akhirnya, aku bisa mendesah lega di dalam hati ketika gedung sekolahku sudah tampak di depan sana. Setidaknya aku bisa keluar dari situasi yang canggung ini sebentar lagi.
"Hmn ... boleh berhenti di sini aja, Ezra?" pintaku lagi-lagi dengan suara yang bergumam.
"Kenapa nggak mau di depan gerbang sekolah aja?" tanya pria itu tanpa menyetujui ataupun menolak permintaan yang baru saja aku lontarkan.
Nggak mungkin aku mengatakan bahwa mobilnya ini terlalu mencolok untuk berhenti di depan gerbang sekolahku, 'kan? Entah itu adalah pujian atau malah hinaan, tetapi yang jelas aku nggak mungkin berkata seperti itu pada Ezra. Setidaknya, ia sudah berbaik hati mengantarkanku ke sekolah—meskipun aku nggak menyukai hal tersebut. Jadi, aku pun lantas memutuskan untuk memberikan alasan yang paling masuk akal pada pria itu.
"Hmn ... it—itu aku mau olahraga. Iya, olahraga," jawabku dengan cengiran lebar yang tampak dipaksakan. Entah Ezra menyadari cengiran penuh kepalsuan itu atau nggak. Namun, hanya alasan itu yang mampu terpikirkan oleh otakku dalam jangka waktu yang singkat.
"Nanti jalan dari gerbang ke kelas kamu juga udah olahraga kok, Lun. Jadi, aku antarin kamu sampai depan gerbang, ya," putus Ezra secara sepihak. Meskipun pria itu nggak terang-terangan menolak permintaanku, tetapi dari ucapannya saja aku sudah bisa menyimpulkan bahwa pria itu menolak permintaanku secara tersirat.
"Eh, ja—jangan ... berhenti di sini aja, ya," pintaku dengan nada yang lebih memelas daripada sebelumnya.
Ezra menatapku dengan pandangan ragu, tetapi sedetik kemudian, pria itu pun akhirnya menganggukkan kepala dan setuju dengan ucapanku. Aku bersorak di dalam hati, rasanya seperti baru saja memenangkan lotre bernilai milyaran rupiah.
"Oke, kalau gitu aku turun, ya. Makasih tumpangannya, Ezra," pamitku dengan senyum lebar yang terpatri di bibir sebelum membuka pintu mobil Ezra dan keluar dari kendaraan yang harganya mampu membeli rumahku itu.
"Hati-hati, Laluna!" seru Ezra. Kalimat itulah yang terakhir tertangkap oleh indra pendengaranku sebelum pintu mobil pria itu benar-benar tertutup rapat.
Setelah keluar dari mobil Ezra dan berjalan menuju gerbang sekolah yang masih beberapa meter di depan sana, sebuah tepukan terasa di pundakku.
"Ed ... ward?" cicitku setelah merotasikan kepalaku beberapa derajat untuk melihat siapa pelaku yang baru saja menepukkan tangannya pada pundakku.
"Pagi, Lun," sapa lelaki itu sembari menyamakan langkahnya agar sejajar dengan langkahku.
"Pagi, Ed. Tumben kamu datang jam segini," ucapku sembari melirik pada jam tanganku sekilas. "Biasanya 30 menit sebelum bel juga kamu udah nangkring di kelas," lanjutku berujar yang disambung dengan kekehan setelahnya.
"Iya, aku telat bangun tadi. Gara-gara siapin tugas OSIS sampai jam 4 pagi," jelas Edward yang kubalas dengan sebuah anggukan kepala tanda mengerti.
"Oh, ya, kamu diantarin sama siapa tadi?" tanya Edward. "Aku tadi lihat kamu turun dari Lamborghini, deh, kayaknya," lanjut lelaki itu.
Aku terkesiap kecil ketika mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Edward. Mulutku bungkam sejenak, entah harus memberikan jawaban apa pada lelaki itu. "Oh, itu ... ak—aku diantar sama te—temanku. Iya, teman aku kok," jawabku terbata-bata. Setidaknya, aku nggak benar-benar berbohong, 'kan? Meskipun aku nggak tahu apa nama yang cocok untuk menamai hubunganku dengan Ezra karena baru berkenalan dengan pria itu beberapa hari terakhir, tetapi sepertinya kata 'teman'-lah yang paling cocok.
Edward yang mendengar jawabaku lantas mengerutkan keningnya. Sepertinya lelaki itu menyadari ekspresi wajah gugup yang tercekat pada wajahku. Namun, untungnya temanku itu nggak bertanya lebih lanjut mengenai masalah mobil Lamborghini yang mengantarkanku tadi sehingga aku bisa bernapas lega pada akhirnya.