Mamah bahkan memilih tak menjawab pertanyaanku tentang Seno. Hanya bilang bahwa Seno sudah menjadi masa lalu. Kenapa begitu sulit untuk aku mengingat atau mendapat informasi tentang Seno juga tentang Ayas. Kepada siapa aku bertanya? Sedang pada Ayas ia terlihat enggan untuk menjelaskannya padaku, sedang pada Mamah aku tahu dia bukan tak ingin menjelaskan perihal Ayas hanya saja pernah bilang bahwa biarlah Ayas dan kamu yang memahaminya.
Berangkat ke rumah sakit tak ada percakapan berarti antara aku dan Mamah. Mamah yang terlihat sibuk dengan ponselnya dan beberapa kali menerima panggilan telepon. Entah dari siapa tapi yang aku tahu sekarang bisnis Ayah diteruskan oleh Mama. Kata Mamah bisnisnya sekarang memang tak sebesar dulu tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga membuat para pekerjanya bertahan karena gaji masih aman dan tercukupi.
"Harusnya Mamah tak sesibuk ini," gumamku pelan. Namun ternyata ucapanku barusan didengar oleh Mamah.
"Kalau Mamah tidak menyibukkan diri, Mamah mungkin sudah gila, Sayang. Kehilangan Ayah adalah pukulan terbesar yang Mama rasakan." Mamah berkata dengan suara parau, aku ikut merasakan kesedihan yang juga Mamah rasakan kini. Mungkin sedih itu lebih terasa di dadaku karena aku tak ingat apa pun tentang Ayah selain ingatan masa gadis, hanya itu.
Aku memeluk Mamah dengan erat, berharap pelukan ini bisa membuat kami sama-sama kuat.
"Maafkan Key, Mah," lirihku.
"Tidak, Sayang, ini sama sekali bukan salahmu. Jika Ayahmu masih ada maka Ayah dan Mamah lah yang meminta maaf padamu."
"Jelaskan padaku Mah, kenapa dan ada apa sebenernya?" Aku mulai terpancing rasa penasaran.
"Semuanya sudah berlalu, Key. Mamah hanya merasa kesepian selepas kepergian Ayahmu. Terlebih saat kamu menikah, Ayas membawamu ke rumahnya."
"Apa? Jadi selama ini Key tinggal di rumah Ayas? Lelaki gondrong itu?" Mataku memanas seketika oleh genangan yang merebak di kornea. Kenapa Ayas tak pernah memberitahuku? Lalu mengapa Ayas tega membuatku tinggal di rumahnya dan membiarkan Mamah sendirian dan kesepian?
Sialan memang, amnesia ini sungguh membuatku tersiksa. Terlebih Ayas tak mau bercerita seperti apa aku dan dia sebenernya. Rasa dongkol sekaligus benci ini tiba-tiba bercokol dalam hati terhadap Ayas. Apa mungkin hubungan kami tak baik-baik saja?
Bagaimana hubungannya dengan Mamah?
"Mah, apakah Ayas itu lelaki yang jahat?" tanyaku lagi.
"Kata siapa?"
"Ya bisa saja kan, karena dia membiarkan Mamah tinggal sendirian dan mengajakku tinggal di rumahnya."
"Bukan Ayas yang mengajakmu tapi dia hanya membawamu."
"Apa bedanya?" ucapku cepat.
"Beda, kamu yang bersikeras untuk tinggal di rumah Ayas. Bukan Ayas yang meminta."
Aku tertegun seketika mendengar jawaban dari Mamah. Bagaimana bisa aku memutuskan hal itu?
"Jadi aku yang tega?" lirihku.
"Key, Mamah tidak apa-apa. Bahkan Mamah juga tahu kamu berhak menentukan tinggal di mana. Mamah yang terus mengurung diri ketika itu, bahkan Mamah tak ingin bicara dengan siapa pun termasuk kamu. Bukan salahmu Key." Mamah menepuk lembut pundakku berulang kali.
"Lalu kenapa setelah pulang dari rumah sakit ketika itu, Key malah pulang ke rumah Mamah?"
"Ayas yang menyarankan, Mamah juga senang kamu ada bersama Mamah."
Aku mengangguk.
"Siapa yang membayari biaya rumah sakitku, Mah?"
"Ayas. Memangnya siapa?"
"Seberapa kaya sih dia? Kenapa Mamah dan Ayah mempercayakan aku padanya?"
"Ini bukan tentang kaya atau miskin Key."
"Tapi Ayah dulu begitu selektif saat ada lelaki yang mendekatiku. Seno pun awalnya tak disetujui tapi setelah Ayah tahu Seno dari keluarga Adijaya yang terkenal dengan bisnis propertinya, Ayah baru setuju."
"Ayahmu sudah tenang di sana Key, jangan mengungkit kesalahannya lagi. Lagi pula semua orangtua ingin yang terbaik untuk putrinya." Mamah berkata pelan.
"Mah, Keyra tak bermaksud seperti itu. Key hanya ingin tahu seperti apakah sosok Ayas itu? Aku juga berhak tahu, Mah."
"Yakinlah Key bahwa Ayas lelaki baik. Kalau tidak baik mungkin Tuhan tidak menakdirkannya untukmu."
Kemudian aku memilih bungkam. Rasa penasaran tengah mengambang dalam pikiran, jika tidak sekarang mungkin nanti aku mendapat jawabannya. Entah dari mulut Ayas atau dari ingatanku yang perlahan-lahan mulai kembali.
Mobil terhenti tepat di parkiran rumah sakit, aku dan Mamah turun dan akhirnya berjalan di koridor rumah sakit. Mendaftar di bagian administrasi, setelah mendapat nomor antrian barulah kami duduk di kursi tunggu rumah sakit.
Aku kembali melihat Mamah mengangkat panggilan telepon yang masuk, terlihat serius dari nada dan intonasinya saat bicara. Kemudian Mamah menoleh dan menatapku seusai mengakhiri panggilan teleponnya.
"Sayang, Mamah ada urusan mendadak. Ada barang yang datang dan harus Mamah periksa kelengkapannya."
"Nggak papa Mau, Key bisa sendiri kok. Nanti Key telepon Ayas dan minta tolong jemput ke sini."
"Jangan Nak, Ayas lagi sibuk dengan kerjaannya. mamah bisa naik taksi dan biarkan supir mengantarmu pulang nanti."
"Tapi Mah."
"Kamu butuh supir karena Ayas belum tentu bisa dihubungi dijala dia sedang sibuk. Maaf ya, Mamah nggak bisa temenin kamu di sini."
"Its oke Mah, Key gak apa-apa kok."
Setelah memelukku Mamah berlalu pergi. Tak berselang lama namaku dipanggil untuk memasuki ruangan dokter.
"Selamat siang, Key." Aji menyapaku dan dia bangkit dari kursinya. Membantu mendorong kursi roda dan menempatkan posisiku di depan mejanya. Aji kembali duduk di kursinya.
"Sama siapa ke sini?" tanya Aji lagi.
"Mamah, tapi Mamah pergi karena ada urusan lagi."
"Suamimu?"
"Dia sedang sibuk."
"Oh," gumamnya.
"Butuh berapa lama aku menjalani terapi ini, Ji?"
"Tergantung progresnya."
"Aku bosan."
"Loh memangnya kamu betah di kursi roda terus? Gak boleh bosan, harus semangat sembuh dong."
Sejenak aku teringat dengan Seno yang tak lain kakaknya Aji. Kaka adik ini nyaris memilik kepedulian yang sama. Selalu menyemangati juga. Tiba-tiba terpikir olehku, apakah Aji mengetahui peristiwa berakhirnya hubunganku dengan Seno? Ya, aku harus menanyakannya.
"Ji, aku boleh tanya sesuatu?"
"Apa itu?"
"Seno kenapa dulu tidak jadi menikah denganku?"
Aji mengangkat kedua alisnya saat aku menanyakan demikian. Tertegun sebentar tapi kemudian mulai bersikap seperti biasa.
"Kita mulai saja ya terapinya, gimana?" Aji seolah menghindari pertanyaanku.
"Ji, pliis jawab aku. Bantu aku untuk mengingat semuanya," pintaku dengan memohon.
"Key … Aku tak berhak ikut campur dalam urusan kalian. Kak Seni juga melarangku."
"Setidaknya kasih tahu aku meski sedikit saja."
"Apa yang mesti aku kasih tahu?"
"Jawab pertanyaan aku yang tadi, Ji."
Aji menghela napas dan membuang pandangan ke arah lain. Dia seperti tak sanggup untuk menatapku.
"Katakan lah, ji," desakku.
"Key ini jam kerjaku dan masih banyak yang mengantri. Maaf mungkin tidak sekarang aku bisa menjawab pertanyaanmu."
"Oke, tapi setelah theraoi hari ini aku menunggumu untuk bisa jelasin. Pokoknya aku tetep tunggu kamu, Ji." Aku berkata dengan nada memaksa.
"Iya Key, iya. Sekarang kamu aku antar ke ruang therapi ya. Nanti ada dua suster yang bimbing."
"Kenapa buka kamu saja?"
"Aku harus melayani pasien yang lain, Key," jawabnya.
Setelah itu kau hanya mampu diam dan menurut apa yang harus kulakukan di ruangan itu atas sarannya. Aji bercakap sebentar dengan perawat dan memberitahu apa-apa yang harus dilakukan.
Satu jam aku berlatih berjalan dan menurut suster yang mendampingi progresku lumayan bagus. Bahkan tadi aku sudah bisa menapak dan berjalan selangkah dua langkah tanpa alat bantu lagi. Hanya saja kakinya masih gemetar dan belum kuat untuk menopang, jadi ada insiden terjatuh tadi dan membuat lututku terasa nyeri.
Kini aku sudah keluar dari ruangan therapi dan memilih duduk di bangku tunggu. Tentu saja menunggu Aji keluar dan selesai dengan tugasnya menangani pasien lain. Sekita tiga puluh menit menunggu akhirnya Aji keluar dari ruangannya dan menghampiriku.
"Belum mau pulang, Key?" tanyanya. Tentu saja hal itu membuatku sebal.
"Aku yakin kamu tidak lupa denga apa yang tadi aku minta."
Aji tertawa kecil lalu ia mulai mendorong kursi rodaku ke arah kantin rumah sakit.
"Kita ngobrolnya sambil makan aja ya, aku lapar."
"Di kantin ada mie ayam?"
"Hah?"
"Mie ayam Ji," ulangku lagi.
"Kamu masih suka mie ayam?"
"Ya suka lah. Kenapa memangnya?"
"Oh tidak. Hanya bertanya saja, soalnya Kak Seno juga dulu suka mie ayam."
"Selera kami memang sama Ji, dari dulu malah."
"Iya aku tahu itu."
Kini aku sudah berhadapan dengan Aji. Dia memesan sop buntut dan sepiring nasi hangat. Sedangkan aku tetap memilih mie ayam makanan favoritku.
"Kamu tahu tidak? Terlalu sering mengkonsumsi mie ayam itu tidak sehat." Aji mulai berbicara.
"Tahu dong. Makanya aku gak terlalu sering. Kamu juga tahu enggak? Makan sip buntut berlebihan itu akan menimbulkan kekenyangan."
Seketika Aji terbahak.
"Ji."
"Hmm ya?"
"Bisa kan sekarang jawab pertanyaan aku yang tadi? Kenapa Seno tak menikahiku?"
Aji terdiam sejenak tapi kemudian dia mulai menjawab pertanyaanku.
"Bukan Kak Seno tapi kamu yang memutuskan menikah dengan Ayas."
"Apa?" Aku tersedak mie ayam tiba-tiba dan Aji segera menyodorkan minum.
"Kok bisa? Aku mencintai Seno, Ji. Kakakmu itu lelaki baik dan gak mungkin aku memutuskan untuk berpaling hati pada yang lain. Tolong kasih tahu aku apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ingatanmu akan pulih perlahan-lahan jadi kurasa aku tak perlu menjelaskan detailnya, Key."
Aku ingin memaksa Aji tapi harus menahannya agar Aji tak memutuskan pergi.
"Oke, kalau gitu sekarang aku ingin tahu di mana Seno? Apa dia sudah menikah?"
"Belum lah Key, dia kan emang sudah move on. Kak Seno belum pulang dia lagi di Solo."
"Kapan Seno pulang?"
"Minggu besok dia pulang."
Kabar itu seperti angin segar untukku.
"Alamat rumah kalian masih sama kan seperti dulu?" tanyaku lagi, kali ini lebih antusias.
"Memangnya mau apa?" Seno bertanya seraya menatapku.
"Aku mau ketemu Seno."
Aji menggeleng. Rupanya dia tak setuju.
"Jangan Key, jaga perasaan suamimu."
"Tapi aku butuh info dari Seno."
"Cukup Key, kamu sudah memiliki kehidupan yang tenang bersama Ayas. Aku yakin Kak Seno juga tak mau bertemu denganmu."
"Hanya sekali ini saja, Ji. Pliis tolong bantu aku." Tak sadar aku meraih tangan Aji sebagai bentuk permohonan. Aku ingin menemukan titik terang dari pertanyaan yang kian hari kian berkelindan dalam otak. Namun tepat di saat itu ada yang memanggi namaku.
"Khayra."
Aku menoleh ke arah jalan dan mendapati Ayas tengah menghampiriku dengan tatapan tajamnya. Sontak saja Aji menyingkirkan tanganku.
"Key, aku tak ingin suamimu salah paham," tukas Aji.