Bersitegang

1162 Words
"Bisa lepaskan tangan istriku?" Ayas menatap tajam ke arah Seno. Terlihat sekali kalau memang dia tak suka. "Bisa, tapi berikan Key untukku." "Kurang ajar!" umpat Ayas mulai emosi. Sedangkan Seno hanya tersenyum dan masih terlihat tenang. "Stoopp," ucapku yang tak ingin ada kegaduhan. "Kalian kalau mau berantem jangan di sini. Keluar semuanya." "Untuk apa pula berantem. Aku akan menemanimu di sini, Key," ujar Seno cepat seraya melirik ke arahku. "Tidak. Aku suaminya. Akulah yang berhak menemaninya." Ayas berkata tegas. "Suami kok ya hobinya nyakitin isteri." Seno berkata mencibir. "Diam kau." Kali ini Ayas benar-benar marah. Matanya menyalak galak menatap lelaki yang tengah duduk di samping bangsalku. Sedangkan Seno masih stay cool. "Sudah sudah, aku tak ingin ditemani oleh siapa-siapa. Kalian berdua keluar dari sini," ucapku sambil menunjuk ke arah pintu. Ayas dan Seno sama-sama terdiam. Mereka bahkan tak ada yang bergerak dan melangkah pergi. "Kenapa diam? Sana keluar," usirku. "Keluar," ucapku lagi dengan nada penuh penekanan. Tepat di saat itu ada dua perawat masuk hendak mengecek kondisiku. "Suster tolong suruh mereka pergi. Mereka di sini cuma menggangu saja," ucapku pada dia suster itu. "Baik, Bu." Dua perawat itu akhirnya berhasil membuat Ayas dan juga Seno hengkang dari ruangan. Aku bisa tenang saat ini karena tak lagi melihat mereka berdebat. "Kapan saya bisa pulang, Sus? Lagi pula saya sudah merasa lebih baik." Aku bertanya saat salah satu suster selesai mengecek kondisiku. "Sabar ya, Bu. Nanti dokter yang menginfokan Kapan Ibu bisa pulangnya." "Gak bisa gitu nanya dokternya langsung sekarang?" tawaku. "Setengah jam lagi dokternya datang ke sini. "Baiklah," jawabku mencoba pasrah. Hari sudah siang saat seorang dokter menghampiri lalu mencatat obat-obatan yang harus kuminum. Sempat kutanya juga kalau aku sering mimpi buruk dan rasanya seperti nyata pernah kualami, dokter bilang itu adalah memoriku yang pulih perlahan-lahan. Akhirnya bisa bernapas lega setelah dokter bilang sore ini aku bisa pulang. Aku menelpon Mamah dan ingin hanya Mamah saja yang menjemputku pulang, tanpa Ayas. Rasa kesalku terhadapnya belum berkurang. Di mataku kini Ayas adalah lelaki angkuh dan juga arogan. Pukul 16.50 akhir Mama datang menjemput. Senyumnya semringah saat melihatku susah pulih seperti sedia kala. "Mamah senang sekali Key lihat kamu sudah sembuh." Mama berkata sambil membawa barang-barang milikku dalam tas berukuran sedang. Kami berjalan di koridor rumah sakit menuju ke parkiran depan. "Key juga senang Mah. Kata dokter ingatan Key sudah ada kemajuan. Beberapa peristiwa masa lalu sudah berhasil diingat meski baru sebagian," tuturku antusias. "Alhamdulillah, bagus dong itu Key. Sekarang peristiwa apa di masa lalu yang membuatmu merasa paling bahagia?" Aku berpikir sejenak, mulai mengingat-ingat. Kemudian terlintas dalam bayangan dulu aku pernah mendapat nilai raport jelek, semua mata pelajaranku nilainya minim bahkan ada yang merah. Aku jarang belajar dan lebih suka bermain tapi Ayah tidak marah, Ayah selalu mensupport dan bilang begini, " tidak apa-apa nilai raport tidak tinggi yang penting Keyra harus bahagia dan juga jangan lupa untuk selalu hormat pada orang dan berbuat baik.'" Ya, ketika itulah aku merasa sangat bahagia. Bersyukur karena Sudah yang terkenal cukup galak itu tidak marah, beliau malah terus mensupport hingga aku akhirnya bisa menjadi juara kelas. Ayah sering menggendong tubuhku dan menceritakan banyak hal tentang dongeng putri salju, ada Mamah juga yang sering menemaniku setiap hari. Aku tak ingat itu diusia berapa tapi yang pasti aku sudah mulai paham. "Key?" tegur Mamah menegurku. "Eh iya Mah." "Iya apa?" "Key ingat hari itu Key dapat nilai raport yang jelek. Key takut sekali saat itu, takut Ayah marah tapi ternyata Ayah tidak marah, malah memeluk Key. Saat itu Key merasa jadi anak paling bahagia, dimengerti meskipun nilai rapot rendah semua. Mamah juga, selalu support Key setiap hari. Makasih ya Mah," ucapku panjang lebar. Ada rasa haru diam-diam menyelinap relung saat aku mengingat kejadian masa lalu itu. Mama menghentikan langkahnya lalu kemudian memelukku erat. "Kamu selalu jadi Putri kebanggan kami, Key." *** Di kamar, aku terus mencoba untuk mengingat lagi apa-apa yang pernah terjadi. Saat mulai memejamkan mata dan fokus tiba-tiba saja pintu kamarku diketuk dari luar. "Nona aku ingin bicara." Suara itu? Ya aku mengenali suara berat milik Ayas. "Bicara apa lagi?" tanyaku tanpa beranjak dari ranjang. "Buka lah pintunya." "Aku sedang tidak ingin bertemu denganmu Ayas." "Tapi kita perlu bicara." "Nanti saja, aku capek dan ingin istirahat," tolakku lagi. "Khayra pliiis." Terdengar di pintu itu suara Ayas memohon. Entah mengapa aku senang melihatnya terus memohon seperti itu sedangkan aku tak berniat membuka pintu. Apakah ini bentuk dendam? Aku muak melihat Ayas yang sok baik dan mungkin juga pura-pura baik selama aku baru sadar dari koma saat itu, tapi kini lambat laun aku mulia ingat bagaimana dulu dia memperlakukanku. Hati ini tak terima. "Nona buka pintunya," ucapnya lagi masih tak berhenti mengetuk pintu. "Kamu pergilah, Bung. Pergi sesukamu ke mana yang kamu mau." "Aku hanya ingin denganmu, Khayra." Terdengar sahutannya dari luar.. "Pergi sana," ucapku lagi bersikeras. "Keyra Sayang buka dong pintunya. Biarkan suamimu masuk." Ya ampun, apa Ayas mengadu pada Mamah? Kekanakan sekali coba? Akhirnya dengan terpaksa aku mulai beranjak dari ranjang dan melangkah menuju pintu kamar, membuka kunci. Ternyata Mamah sudah berdiri di daun pintu. Pakaiannya rapih dan di tangannya ada tas yang sering dibawa saat bepergian. "Mama rapi banget, mau ke mana?" "Keyra, Mamah ada pembukaan cabang baru di luar kota. Ini bentuk dari bagian ikhtiar Mama mengembangkan usaha Ayahmu. Gak papa kan kamu Mamah tinggal untuk beberapa hari? Toh di sini juga ada Ayas yang jagain kamu jadi Mamah tidak begitu khawatir," tuturnya menjelaskan. Aku hanya bisa menghela napas. Pasrah namun hati tak sepenuhnya rela melepas Mamah pergi. Aku bakal di rumah ini berdua sama Ayas? Itu menyebalkan. "Berapa hari Mamah di sana?" "Sekitar tiga sampai lima harian lah. Kamu mau dibawakan oleh-oleh apa?" tanya Mamah antusias. Aku menggeleng. Tentu saja karena aku tak menginginkan oleh-oleh apa pun selain mengharapkan Mamah segera pulang. "Loh kenapa?" tanya Mamah melihat ekspresiku. "Nggak ada Mah. Aku gak mau oleh-oleh apa pun selain Mamah nanti pulang lagi dengan selamat. Itu saja." Aku melirik ke arah Ayas yang sejak tadi hanya diam dan menyimak saja pembicaraanku dengan mamah. "Doakan Mamah lancar dan Mamah pasti akan segera pulang." "Aamiin." Aku menimpalinya. "Ayas jagain Key ya. Mamah pergi dulu." "Iya Mah, Ayas antar ya sampai Bandara?" Lelaki itu menawarkan . "Enggak usah, Mamah bisa sendiri lagian Mamah sudah pesan taksi tadi. Kamu kan baru pulang kerja, pasti capek dan butuh istirahat." Terlihat sekali Mamah begitu tulus menyayangi Ayas. Sedangkan kau sebaliknya. Perasaan ini hambar dan tak menentu. "Kamu jagain Key aja ya." Mamah berpesan kemudian segera berbalik pergi menuruni anak tangga ke bawah. Tanpa meminta persetujuanku Atas malah nyelonong masuk kamar dan menghempaskan tubuh besarnya di kasur. Aku meliri tajam sekaligus tak terima. "Ayas kelaur dari kamarku," perintahku akhirnya. "Nggak mau." "Ini kamarku." "Kita sudah suami istri, kamarmu berarti kamarku juga." "Enak sekali bicar begitu," gumamku menahan kesal. Sekonyong-konyong tanpa terduga Ayas menarik lenganku dengan cepat hingga aku terjatuh dan terjerembab di atas tubuhnya. Aku merangsek dan bergerak untuk melepaskan diri tetapi kali dan tangan Ayas seolah mengunciku dengan sangat kuat. Sialan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD