Mobil yang Ayas kendarai berhenti di halaman ya g tak seberapa luas. Aku terburu-buru turun tanpa menunggu Ayas membukakan pintu. Berdiri lama di samping mobil dan membiarkan Ayas berjalan terlebih dahulu.
Aku memegang bibirku, bibir yang tadi dikecup brutal dan sialnya aku menikmati semua itu. Aku meraba bibir dengan jari, rasanya masih tertinggal aroma bibir Ayas yang serupa jeruk di bibirku.
"Nona, ayo," teriakan kecil Ayas membuatku tersadar dari bayangan di mobil. Lelaki yang masih mengenakan jas hitam formal itu terus menatapku dengan senyumnya. Senyum yang entah mengapa di mataku terlihat menggoda. Apa-apaan ini? Kenapa aku seperti tak punya pendirian? Bukan kah dua Minggu kemarin aku begitu membencinya tapi setelah dua Minggu tak bertemu dengan Ayas, nyatanya pertemuan kali ini seolah membawa kesan tersendiri.
"Mau cium lagi?" bisik Ayas dengan kerlingan mata jahil. Aku melotot dan menunjukkan tinjuku padanya.
"Ya Tuhan istriku galak ternyata," gumamnya. Pintu besar berukir jati itu dibuka oleh Ayas setelah memutar kuncinya. Harum aroma terapi seketika tercium di hidung. Ruangan ini ternyata sudah diisi beberapa sofa berwarna nude lengkap dengan gorden berwarna pastel di setiap jendelanya.
Dinding-dinding yang kulihat masih kosong saat pertama kali ke sini, ternyata sekarang sudah terpajang foto-foto pernikahanku dengan Ayas. Yang menarik perhatianku adalah lukisan besar di ruangan tengah itu. Aku melangkah mendahului ke sana untuk menatap lukisan besar itu lebih jelas. Gambar dua perempuan yang kalo diperhatikan garis wajahnya hampir mirip. Wajahku dan ... Aku bahkan tak mengenal siapa wajah perempuan yang dilukis bersebelahan denganku itu? Ada tulisan besar di atasnya dan aku mulai membaca. 'DUA SAYAP KEHIDUPAN' background warna dan gambar abstrak di belakang gambar dua perempuan itu. Aku mulai meraba, bahkan setiap detil wajahku dilukis begitu purna. Siapakah yang melukis ini?
"Ayas," panggilku. Lelaki yang sedang membenahi letak sofa panjang di dekat televisi itu menoleh, dia melangkah mendekat.
"Ya?"
"Lukisan siapa ini?"
"Kamu tidak mengenali wajahmu sendiri, Nona? Amnesia bukan berati lupa sama wajah kan?"
"Maksudku gambar yang ini, yang dilukis di sebelah lukisanku." Aku menunjuk wajah perempuan berambut panjang bergelombang itu.
"Ibuku."
"Oh ya? Kok aku nggak tahu?"
"Meskipun ingatanmu pulih kurasa kau tak akan pernah mengenal Ibuku."
"Aku mau tahu, boleh kah menemuinya?"
Mendengar permintaan dariku Ayas tertegun, dia menatapku sejenak tapi kemudian mengangguk.
"Kapan?" cecarku.
"Maunya kapan?"
"Sekarang," ucapku lagi.
"Kita baru saja sampai, Nona. aku lelah dan ingin tidur. Kalau mau ketemu Ibuku nanti sore saja." Ayas menghempaskan tubuhnya di sofa. Mulai menyalakan televisi berukuran besar.
"Jadi ini kejutannya untukku?" tanyaku.
"Ya, isi rumah ini dan lukisan besar itu. Apa kau suka?"
"Apa kau akan mengajakku tinggal di sini juga?" Aku balik bertanya. Sengaja karena untuk saat ini aku tak mau tinggal jauh dari mamah, bagaimana kalau sewaktu-waktu Ayah berubah temperamen lagi padaku? Membayangkan diriku dikunci di rumah ini aja cukup membuatku ciut nyali. Ah ya ampun, dia itu monster apa suami sih? Kadang dia bersikap menakutkan tapi tadi, dia bersikap mengejutkan dengan mencium bibirku dan bersikap semanis ini.
"Apa kau keberatan jika aku memintamu tinggal di sini bersamaku, Nona?"
"Aku nggak mau jauh dari Mamah. Mamah sendirian di rumah. Bagaimana aku tega meninggalkannya?"
"Ya, aku mengerti. Kalau memang belum siap tinggal di sini ya gak papa. Aku mau nunggu."
"Dan kamu tetap tinggal di sini?" giliran aku yang bertanya.
"Tentu saja. Dua Minggu aku berdiam di sini terasa nyaman dan membuatku berpikir kalau memang aku bukan lelaki baik untukmu, Nona. Sadar betapa tempramennya aku, oleh karenanya dua Minggu kemarin aku tak berani menunjukkan diri padamu."
"Maksudmu berkata seperti itu apa? Merasa bersalah atau mau mengabulkan permintaanku untuk bercerai denganmu?"
Ayas terdiam. Ia bahkan tak menatapku padahal jawabannya kunantikan.
"Berpisah itu sangat mudah Nona, tidak kah kau ingin mencoba hal yang lebih rumit?"
"Aku tak butuh teka-teki darimu, Bung. Aku hanya butuh jawaban atas pertanyaanku tadi."
"Apakah dengan berpisah denganku kau akan bahagia? Maksudku apakah kau bahagia dengan Seno?" Pertanyaan Ayas nyatanya menghantam mentalku.
"Kenapa harus bawa-bawa Seno? Dia tidak terlibat dengan masalah kita."
"Tapi nyatanya beberapa hari ini, selama aku tak bersamamu, kau banyak menghabiskan waktu dengannya bukan? Dia sangat mencintaimu, Nona."
Aku menelan ludah yang nyatanya kini terasa begitu pahit. Apakah diam-diam Ayas mengikutiku?
"Berhentilah membahasnya Ayas," ucapku tak suka.
"Bukan kah memang kau meminta berpisah denganku untuk kembali pada Seno?"
"Ayas cukup," sentakku. Kulihat mata Ayas berkaca-kaca.
"Dia memang lelaki baik. Lelaki yang pantas mendapatkanmu." Bergetar suara Ayas mengatakan hal itu. Aku menghampirinya dan duduk di dekatnya, menatap tajam agar dia paham bahwa aku sudah tak ingin meneruskan obrolan ini. Apalagi sampai membawa-bawa nama Seno.
"Ayas!" Aku meninggikan suara dan menatapnya marah.
"Kau terus-menerus melibatkan Seno dalam hal ini padahal ini masalah kita. Aku yang benci dengan perlakuan kasarmu di masa lalu dan aku yang benci mihat perempuan yang bersamamu mal …." ucapanku terhenti karena Ayas membungkam mulutku dengan bibirnya. Melumat dan membuatku nyaris kehabisan napas. Seharusnya aku berontak tapi melihat matanya berair hatiku luruh seketika. Kecupannya yang semula terasa kasar kini mulai lembut dan membuatku lena. Beberapa menit aku menerima dan membalas hingga menimbulkan getaran di pusat tubuhku. Kecupan Ayas beralih ke leher dan detik berikutnya kami sama-sama hanyaut dalam dalam gairah sepasang suami isteri. Untuk pertanian kalinya aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan seumur hidupku. Di tengah rasa yang membuatku melayang nyatnya aku merasakan perih.
"Maaf," lirih Ayas dan kembali menghunjam pertahananku. Semua terjadi begitu saja dan aku merasakan lelah serta kantuk setelahnya.
***
Aku terbangun dan mendapati diriku berada di sebuah kamar bercat tosca. Bahkan kah sebelumya aku berada di ruang tengah dan tiduran di sofa? Kenapa sekarang terbangun di atas kasur berukuran king size ini?
Melirik ke arah samping tak ada Ayas, ruangan ini terasa hening dan dingin. Suhu Ac-nya begitu tinggi karena meski berselimut tebal tapi masih kuarasakan dinginnya menembus kulit. Aku mencoba menggerakkan kaki hendak beranjak namun terpekik karena merasakan perih di area sana, apa yang telah terjadi? Bajuku? Mataku membulat manakala di balik selimut itu aku tak mengenakan sehelai kain pun.
Apa yang telah terjadi? Aku mencoba mengingat. Pipiku bersemu merah mengingat beberapa jam yang lalu Ayas menyentuh tubuhku dan kami melakukannya dengan haru. Bagaimana tidak, Ayas menangis dan mengucap kata maaf berkali-kali, sedangkan aku merasa pasrah dan terhanyut dalam permainannya. Mungkin benar kata orang bahwa setelah pertengkaran adalah masa-masa gelora yang menuntut untuk dituntaskan.
Ayas benar, bahwa memang dia sama sekali belum menjamah mahkotaku sebelumnya. Padahal pernikahan kami hampir dua tahun, harusnya sebagai lelaki normal dia ingin cepat melakukan malam pertamanya bukan? Tapi ternyata Ayas tidak, dia punya alasan tersendiri kenapa menundanya selama ini. Aku kira kisah itu hanya ada dalam drama telenovela, namun nyatanya aku yang merasakannya.
Sekarang aku ingin bertanya Ayas kenapa tidak dari dulu dia melakukan hal ini, dia harus mengatakannya sekarang. Karena aku yakin dengan dia menjelaskannya itu pasti ada hubungannya dengan perjanjian antar Ayahku dan Ayas.
Perlahan-lahan aku mulai duduk, masih terasa perih di sana. Saat mencoba berdiri dan melangkah, kakiku gemetar.
"Khayra …." Ayas muncul dari arah pintu kamar mandi. Dia hanya mengenakan handuk dan rambutnya basah. Langkah panjangnya menghampiri.
"Biar kugendong," ucapnya serayaembungkuk dan memasang badannya.
"Aku masih bisa jalan kok, cuma sedikit perih."
Tanpa menghiraukan ucapanku nyatanya Ayas langsung membopong tubuhku ke kamar mandi dan sebelum menempatkanku di bathub berisi air hangat itu ia menatapku.
"Apakah kau akan berendam dengan menggunakan selimut?"
"Hah?" Aku baru menyadari kalau sejak tadi aku mengenakan selimut untuk menutupi tubuh polosku."
"Buka ya selimutnya."
"No. Biar aku saja yang buka, kamu keluar dulu dari sini."
Ayas tersenyum dan dia memandangku dengan tatapan jahil.
"Bahkan aku sudah melihat seluruh tubuhmu, Nona. Ngapain masih malu? Kita suami istri apa kau lupa?"
"Tapi kita baru saja melakukannya bukan? Aku malu dan memang tak terbiasa."
"Kukira kau akan mengajakku mandi bareng di bathub ini."
"Bukan kah kau sudah mandi?" tanyaku.
"Apa salahnya mandi lagi?"
"Ayas!" seruku saat tangan jahilnya menarik selimut yang melekat di tubuhku. Aku melotot dan bersiap meninjunya.
"Iya ampun." Ayas mengangkat dua tangannya dan berjalan keluar pintu.
Setelah Ayas berlalu dan memastikan pintu kamar mandi tertutup rapat, segera aku membuka selimut dan berendam di bathub. Merasakan air hangat yang begitu merilekskan tubuh. Rasa perih di area bawah tubuhku juga mulai kebal perlahan-lahan. Sekita lima belas menit kuhabiskan untuk berendam kemudian setelah itu segera berdiri di bawah shower mengguyur tubuh dengan air dingin dan tak lupa memakai shampo.
Usai mandi aku baru ingat bahwa tidak ada handuk di kamar mandi. Hanya ada selimut yang tadi kukenakan sebelum berendam. Mana mungkin aku menggunakannya lagi karena tadi ada bercak darah yang kutemui di beberapa bagiannya.
"Ayas …." Akubteroaksa memanggilnya di balik pintu kamar mandi.
"Ya?" sahutnya.
"Aku butuh handuk."
"Sebentar aku ambilkan dulu."
Satu menit berlalu tapi Ayas tak juga datang mengambilkan handuk. Kemana dia?
"Ayas," panggilku lagi.
"Khayra, di depan kayaknya ada tamu. Sebentar ya aku ke sana dulu."
Ya Tuhan, apa katanya? Ada tamu? Pakaianku pasti masih tercecer di sofa ruang tengah. Seketika aku menjadi panik membayangkan tamu datang dan mihat baju serta underware yang berveverab di sofa dan lantai.
"Ayas tunggu!" pekikku dengan suara keras.
"Apa lagi?"
"Semua baju-baju dan celanaku bagaimana?"
"Ya ampun aku lupa, pasti masih di sofa. Biar aku ambilkan segera ya."
"Huuuuffft, hampir saja." Aku menghembuskan napas lega.
Tak berapa lama terdengar suara pintu kamar dibuka, itu pasti Ayas.
"Khayra bajumu sudah kuletakan di atas kasur ya. Aku ke depan dulu kayaknya ada paket datang.
"Iya," teriakku menimpali.
Aku langsung keluar dari kamar mandi dan mengenakan baju dengan cepat. Duduk di depan cermin rias dan menyisir rambutku yang basah.ada peralatan makeup lengkap dan masih baru, apakah Ayas sengaja membelinya untukku atau ini milik wanita lain? Bisa saja kan seperti itu?
"Khayra, aku sengaja beli ini di toko online untukmu. Buka lah," ucap Ayas yang baru saja masuk ke kamar dan mengangsurkan kardus berukuran sedang yang masih disegel itu ke hadapanku.
"Apa ini?" tanyaku.
"Buka aja nanti juga kamu tahu itu isinya apa."
"Lingerie?"
Sontak saja Ayas menutup matanya dengan sebelah tangan, ia menahan tawa, aku tahu.
"Bahkan kau bisa menebaknya dengan benar, Nona."
"Aku tidak menebak, Bung. Ini dekat barkot ada tulisan anda barngnya." Aku menunjukkan.
"Buat apa beli ini?" tanyaku.
"Tubuhmu pasti lebih seksi jika menggunakannya tiap malam."
"No. Aku bisa masuk angin tidur mengenakan itu."
Ayas tertawa. Padahal tidak ada yang lucu menurutku.
"Kamu gak akan masuk angin selama ada di pelukanku."
"Sejak kapan kau pandai menggombal, Bung?"
"Sejak kita menyatu tadi, ayolah coba lingrie itu dan kita ulangi lagi."
"Ayas, kau gila ya?"
"Iya, nyantanya aku tergila-gila padamu, Nona."
Aku melemparnya dengan bantal tapi Ayas menangkap dengan cepat. Ia membopong tubuhku ke kasur dengan cepat hingga tak sempat aku mengingat atau pun mengelak.
"Mau apa hei?" teriakku berontak saat Ayas memabntung tubuhku pelan dia Ats kasur empuk itu.
"Mau mengulangi yang tadi."
"Tega!" ujarku, karena aku masih merasakan perih di sana.
"Apanya yang tega? Aku cuma mau mengulangi memelukmu."
"Bener cuma meluk? Nggak lebih kan?"
"Nggak, aku juga punya perasaan Khayra. Selaput daramu baru saja robek mana mungkin aku tega menerobosnya lagi. Kau bahkan terlihat kesakitan. Maaf ya, aku tadi memaksa untuk masuk. Maaf," lirihnya.
"Setelah dua tahun pernikahan kita, kenapa kau baru melakulannya?" tanyaku serius. Posisi Ayas masih memeluk tubuhku dari belakang. Bisa kurasakan hembus napas hangatnya di leherku.
"Belum siap."
"Alasan macam apa itu, Bung? Lelaki normal tidak akan kuat menunggu selama dua tahun setelah pernikahan. Jadi jelaskan padaku kenapa?"
"Entah lah Key. Kenapa sih nanyanya harus itu, gak ada pembahasan lain apa?"
"Ayas jawab aku, aku bertanya serius lho."
Hening menjeda kami, Ayas bahkan masih terdiam dan tak juga menjawab pertanyaanku. Apakah baginya terasa berat untuk mengungkapkan alasannya?
"Ayas jawab aku atau aku pulang sekarang." Aku sengaja mengancamnya.
"Bagaimana mungkin aku menyentuhmu dengan rasa dendamku, Key?"
Aku terkejut demi mendengar penuturan Ayas barusan.
"Dendam? Maksudmu apa?"
"Aku mencintaimu dari dulu, dari sejak kau mengenakan seragam SMP. Melihatmu yang riang dan ramah pada siapa pun membuatku jatuh hati. Aku mencintaimu diam-diam tentu saja karena aku merasa tidak layak dan tak pantas mengungkapkannya. Aku hanyalah orang miskin, Ibuku sakit-sakitan dan Ayahku tak ubahnya setan yang setiap hari selalu marah dan meminta uang untuk berjudi, kalau Ibu tak kasih uang maka yang diterimanya adalah pukulan. Aku masih kecil ketika itu tapi begitu benci terhadap Ayahku. Beruntung ayah mati overdosis saat menenggak minuman, setelah kematiannya aku dan Ibu merasa bebas. Kami hidup miskin tapi Ibu tak pernah mengajariku meminta-minta. Ibu lebih baik jadi pemulung dan bekerja apa saja untuk sesuap nasi daripada harus menengadahkan tangan ke orang lain. Ibuku adalah perempuan hebat dan aku bangga memilikinya, hanya saja tak lama setelah Ayah meningal Ibuku menyusulnya juga."
Kini aku tahu bahwa ternyata Ayas sudah tak memiliki orangtua. Bisa-bisanya aku tadi bilang ingin bertemu dengan Ibunya. Pastilah Ayas akan membawamu ke makam, tapi tak apa aku perlu tahu di aman makam ibunya. Sesekali aku juga harus berziarah ke sana.
"Ibu sakit parah dan aku bahkan tak bisa membelikannya obat, itu adalah penyesalan terbesarku. Kemudian aku hidup sebatang kara dan Ayahmu berbaik hati mau mempekerjakanku menjadi bodyguardnya. Aku harus bekerja ekstra keras dan terbiasa latihan berat bersama para bodyguard yang lain. Menjadi pebisnis seperti Ayahmu ternyata cukupenakutkan Khayra, banyak sekali musuh yang ingin menjatuhkan. Setiap Ayahmu menenangkan tender, maka kami semua bersiap akan serangan-serangan yang biasanya datang tak terduga. Orang-orang banyak yang ingin menjatuhkan perusahaan Ayahmu. Ketika itu untuk pertama kalinya aku yang sering ditugaskan menjaga lapangan tapi tiba-tiba diutus datang ke rumah. Aku hanyalah pemuda dekil yang penampilannya pun serampangan. Tidak seperti para bodyguard lainnya yang memakai baju layak. Aku lebih senang mengenakan baju belel dan jeans sobek-sobek dibagian lutut. Hari itu aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di rumahmu, di rumah Dewa Tanoto. Saat mengetuk pintu ternyat kau yang membukakannya. Menatap mata hazel dan wajah cantikmu untuk yang pertama kali, nyatanya membuatku jatuh hati. Aku mencintaimu detik itu juga, tali cukup sadar diri untuk hanya memendamnya saja. Kau mempersilahkanku masuk dengan wajah jutek, mungkin kau menganggapku preman pasar. Padahal pada siapa pun kau selalu tersenyum ramah."
"Oh ya? Kau bahkan mengenalku sejak aku memakai seragam SMP? Tapi kenapa aku tidak mengingatmu, Bung?"
"Karena aku tidak penting bagimu, Nona. Lagi pula siapa lah aku? Hanya pekerja kasar Ayahmu."
"Memangnya Ayah menugaskanmu melakukan pekerjaan apa?"
"Jadi tukang kelahi," jawabnya sambil tertawa kecil.
"Jadi tiap hari kerjaanmu berantem?"
"Membela diri lebih tepatnya. Seringnya kita dapat serangan duluan. Kami menjaga tanah dan perusahaan Ayahmu."
"Lalu sejak kau datang ke rumah, apakah Ayahku menugaskan hal yang sama?"
"Tidak. Aku malah diperintahkan jadi mata-mata dan tentu saja hal itu lebih berbahaya dan beresiko."
"Jadi mata-mata?" tanyaku tak paham.
"Aku ditugaskan merebut perusaahan Ayahmu yang jatuh ke tangan orang lain. Dia merebut ya dari ayahmu secara curang, karena memalsukan dokumen dan tanpa sadar Pak Dewa menandatanganinya."
"Terus kamu setuju?" Kali ini aku benar-benar penasaran.
"Awalnya tidak, aku tentu saja menolak karena merasa tidak punya skill jadi mata-mata. Lagipula resikonya sangat berat, ketahuan maka bisa saja aku ditembak di tempat. Gini-gini kan aku masih ingin hidup."
Kalimatnya yang terakhir membuatku ingin tersenyum. Tapi tidak jadi karena khawatir Ayas tersinggung.
"Lankutkan lagi ceritanya, Bung," pintaku.
"Ayahmu memaksa dan mengiming-imingi imbalan yang cukup besar. Tapi aku tetap tidak mau kecuali …." Ayas tak melanjutkan kalimatnya. Entah ia menggantung dengan sengaja, atau sengaja membuatku penasaran.