Masih ada waktu untuk aku belajar jalan pelan-pelan di rumah, sebelum Ayas datang menjemput. Dengan kursi roda aku menuju ke teras samping, di sana sinar matahari pagi terasa hangat. Vitamin D juga sehat untuk kekuatan tulang, oleh karena itu aku berniat untuk pelan-pelan belajar melangkah seperti yang telah dipraktekkan di rumah sakit.
Sampai di teras samping, aku mencoba berdiri dengan dua tangan memegang dinding, kami mulai menapak ke lantai dan aku mulai menyeimbangkan tubuh saat berdiri. Berhasil. Meski dengan lutut yang terasa gemetaran namun tekadku sangat kuat untuk bisa berjalan. Aku harus pulih dari kelumpuhan ini juga harus bisa mengingat kembali apa-apa yang telah hilang dari ingatan.
Kadang aku berpikir kenapa Tuhan menakdirkan hidupku dengan Ayas? Kenapa bukan dengan Seno saja, lelaki yang jelas-jelas kucintai dengan sepenuh hati? Pertanyaan itu kemudian kupatahkan sendiri bahwa memang jodoh hidup Rizki dan kematian itu sudah Allah atur dengan sedemikian rupa. Jadi aku harus ridho dengan ketetapannya. Aku yakin apa-apa yang sudah menjadi takdirku pasti itu jadi yang terbaik.
Selangkah demi selangkah kaki ini mulai menapaki lantai, terasa berat dan kaku. Namun terus dipaksakan lagi dan lagi agar terbiasa dan juga lekas bisa jalan lagi.
"Neng ... Ya Allah," ucap suara dari arah pintu teras. Aku menoleh dan mendapati Bi Ijah menatapku dengan raut cemas.
"Awas atuh jatoh Neng, Bibi takut ngeliat Neng Key latihan jalan sendirian kayak gini. Bibi bantu megangin ya," ucap Bi Ijah dengan logat sundanya yang kental. Perempuan menjelang lima puluh tahun itu melangkah menghampiri.
"Enggak apa-apa Bi, aku bisa melakukannya sendiri kok. Pelan-pelan."
"Beneran gak mau Bibi bantuin?"
"Nggak usah Bi, meski terlihat lutut ini bergetar tapi aku merasakan kaki ini mulai enteng."
"Syukurlah Neng, Bibi teh sangat berharap Neng lekas bisa jalan lagi seperti sedia kala."
"Bukan hanya itu, Bi. Aku juga pengen ingatanku segera pulih secepatnya."
"Aamiin. Pasti dimudahkan jalannya Neng, Insya Allah." Bi Ijah berkata dengan antusias.
"Mau Bibi bikinin jus atau cemilan Neng?"
"Hmmm kentang goreng sama teh hangat kayaknya enak, Bi."
"Oke siap, Bibi ke dapur dulu ya."
Aku mengangguk dan tersenyum saat Bi Ijah berlalu masuk ke dalam. Tujuh langkah telah berhasil dan aku kini belajar memutar tubuh untuk kembali berjalan menuju ke kursi roda.
"Khayra ...." Ayas berdiri di sana sambil menatapku lekat dengan pandangan tak percaya.
Aku tersenyum
"Hai Bung," jawabku berniat untuk menyambutnya.
"Wow perubahannya secepat ini ternyata, kenapa kau tidak memberitahuku kalau sudah bisa jalan seperti ini, hmm?"
"Kejutan, Bung," ucapku masih sambil berusaha tetap melangkah dan berjalan meski tertatih dan nyaris terjungkal.
"Yes, kamu berhasil membuatku terkejut, Nona." Ayas mendekat dan dia berdiri di dekat kursi rodaku.
"Mungkin nanti saat ingatanku pulih juga aku akan terkejut."
"Hmmm," gumam Ayas seraya mengalihkan matanya ke arah lain. Seolah dia enggan aku mengingat hal yang pernah terjadi dalam hidupku
Aku duduk menghempaskan tubuh di kursi lalu menatap wajahnya.
"Mau ngajak aku ke mana Bung?"
"Kamu juga nanti bakalan tahu kok. Sekarang ayo siap-siap ganti baju."
"Sebentar, aku istirahat dulu."
"Istirahat lah, kamu juga keringetan banget nih."
Bi Ijah datang membawakan cemilan kentang goreng yang tadi aku pesan. Setelah memberikan sepiring kentang itu Bi Ijah permisi kembali untuk ke dalam.
"Kamu suka kentang goreng?" Ayas bertanya saat memperhatikan aku yang lahap makan cemilan itu.
"Suka banget."
"Kalau minuman yang kamu sukai apa?" tanyanya lagi.
"Jus alpukat."
Aku mengernyitkan dahi tak mengerti karena tumben Ayas menanyakan makanan dan juga minuman favoritku.
"Kenapa nanya-nanya makanan dan minuman yang kusukai, Bung?"
"Hanya ingi tahu."
Aku mengernyitkan dahi.
"Selama dua tahun kita menikah kamu tidak tahu makanan favoritku?"
"Sudah tahu kok barusan." Dia berkata santai.
"Ya itu barusan aku yang kasih tahu lho."
"Ya memang harus kamu yang ngasih tahu."
Aku menghirup napas dalam, Ayas cukup menyebalkan ternyata.
"Setelah makan aku antar kamu ke kamar."
"Sekarang saja."
"Kamu kan masih makan kentang goreng."
"Ini sudah mau habis."
***
Tiga puluh menit berlalu dan kami masih berada di jalan.
"Kita mau ke mana sebenernya?" Aku menoleh pada Ayas yang sedang menyetir mobilnya.
"Ke suatu tempat. Gak usah bawel nanti juga tahu."
"Apa itu sebuah tempat yang penting untukku?"
"Tentu saja. Kalau tidak penting mana mungkin aku mengajakmu ke sana, Nona."
"Bung." Aku ingin menanyakan sesuatu lagi.
"Hmmm."
"Apakah sejak nikah kau selalu memanggilku, Nona?"
Ayas menggeleng.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Lalu kenapa sekarang memanggilku Nona?"
"Ingin saja, karena kamu juga memanggilku 'Bung' kan?"
"Aku hanya asing dengan semuanya. Ketika aku baru sadar dan terbangun di rumah sakit aku bahkan tak mengingat apa-apa selain sebagian memori di saat aku masih kuliah. Dan mungkin itu sebelum aku mengenalmu."
"Ya kau hanya ingat sebagian kecil saja, tak apa-apa karena bagiku itu justeru lebih baik."
"Kenapa lebih baik? Sedangkan aku merasa kesulitan mengenalimu?"
"Aku ingin dikenal sebagai suamimu yang sekarang, Nona. Bukan suamimu di masa lalu."
Aku melengos sebal.
"Suami macam apa yang tidak tidur satu kamar dengan isterinya?"
"Ya karena aku cukup tahu diri, aku takut kamu tidak menginginkanku untuk menemanimu di kamar karena kamu bilang kan aku asing bagimu."
Betul juga apa yang dikatakannya. Lagi pula aku belum siap tidur satu kamar, entah mengapa aku merasa belum terbiasa. Dia masih terasa asing dan aku tak mengingatnya sama sekali selain jantungku yang berdegup lebih kencang saat berdekatan dengannya dalam jarak yang cukup intim. Dan jujur saja kejadian kemarin saat ia tak sengaja menciumku kerap terbayang dalam ingatan. Bukan kah sudah wajar jika suami istri melakukan kontak fisik? Namun mengapa rasanya bagiku masih asing dan aneh?
Mobil yang dikendarai Ayas akhirnya memasuki sebuah perumahan. Tepat di depan rumah bercat biru muda dengan pagar tralis itu mobil terhenti.
"Sudah sampai," ucap Ayas.
"Kita mau bertamu ke rumah siapa?"
"Nanti juga kamu tahu, Nona."
Ayas segera turun dan dia berjalan memutar untuk membuka pintu mobilku kemudian membopong tubuhku hingga masuk ke dalam. Bahkan Ayas sendiri punya kunci rumah ini. Apa mungkin ini rumah baru yang sengaja dibeli Ayas? Pokranu terus bertanya-tanya namun mulutku enggan bertanya.
Saat pintu terbuka, aku mendapati sebuah ruangan yang unik. Banyak sekali lukisan dan salah satu dari lukisan itu adalah gambar wajahku. Apa mungkin Ayas yang membuatnya?
Pelan, aku di dudukkan di kursi, sedangkan Ayas kini berdiri sambil menatapku.
"Semoga suka ya, ini rumah baru kita."
"Hah?"
"Kapan pun kamu mau tinggal di sini aku sudah menyiapkannya."
"Tapi kalau aku di sini Mamah pasti tinggal di rumah sendirian?"
"Kalau kamu mau Mamah bisa kok tinggal di rumah ini juga."
"Mamah gak mungkin mau meninggalkan rumahnya, karena di sana banyak sekali kenangan tentang Ayah. Kenapa harus beli rumah ini?"
"Untuk keluarga kecil kita nanti," ungkapnya.