Reya keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan bathrobe dan handuk kecil untuk membungkus rambutnya yang masih basah. Dia memang baru sempat untuk membasuh diri meski sekarang sudah pukul delapan malam. Walaupun tadi sore dia sudah mandi _di rumah orang tuanya_ tapi rupanya setelah melakukan banyak aktivitas menata barang dan membersihkan rumah _yang dua minggu lebih tidak di bersihkan_, rupanya Reya menjadi gerah lagi.
Huft, enaknya berada di tempat sendiri, tenang dan tentu saja dia bisa melakukan semua sesukanya. Senyaman-nyamannya tinggal dengan orang tua yang kalau makan tinggal ambil, tapi tetap saja bagi Reya beginilah definisi hidup sempurnanya, sendirian.
Mengingat masalah tadi sore, jujur saja Reya mulai berangsur angsur melupakan. Ya meski masih sedikit tersisa rasa kesal pada Yosandra, tapi hal itu tidak akan membuat hari pertama Reya tinggal di apartemen berubah menjadi tak menyenangkan.
Reya pun bergerak menuju area televisi, dia akan menyalakannya sebagai pengisi kesunyian malam, agar keadaan apartemen tidak terlalu mencekam begitu loh.
Meski saat ini dia hanya menggunakan bathrobe saja, Reya benar benar tidak perduli, toh tidak akan ada yang melihat bukannya bukan. Mau bertelanjang kek atau bagaimana pun bolak balik memutari isi apartement, tak akan bermasalah untuk Reya.
Hanya saja, ketika Reya baru saja hendak mengambil remot. Dia malah di kejutkan dengan suara bel pintu yang tiba tiba terdengar beberapa kali.
Ting ... Tong ...
Ting ... Tong ...
Dahi Reya berkerut dalam, mencoba berfikir siapa gerangan orang yang memencet bel apartment nya di jam segini. Karena ya hari sudah bisa di bilang cukup malam, dan dirinya juga tidak memesan makanan dan sebagainya, lalu itu siapa yang datang?
Ting ... Tong ...
Karena bel terus berbunyi, malah jauh lebih bruntal dari yang tadi, Reya pun tidak berniat berfikir macam macam dan segera buru-buru berjalan menghampiri pintu. Ey jangan salah Reya tetap ingat betul kalau dirinya masih menggunakan bathrobe saja, makanya Reya hanya berniat mengecek melalui monitor yang terhubung di depan pintu.
Dan ketika melihat di layar, Reya hampir terkejut melihat seluruh layar di penuhi wajah konyol seseorang, sial, rupanya temannya lah _Dhini_ yang datang. Reya kira siapa, pasalnya sangat jarang pula wanita itu datang tanpa memberi kabar seperti ini. Huft, dan sepertinya Dhini sengaja menempatkan wajahnya berada sangat dengan dengan kamera, untuk mengejutkan Reya. Dikira Reya tidak bisa mengenali apa.
Ting tong ...
Bel kembali di tekan oleh temannya itu, makanya Reya juga cepat-cepat bergerak menghampiri pintu untuk membukanya.
Dan ...
Cklekkk ...
Reya membuka pintu perlahan, yang mana selanjutnya sosok Dhini dengan pakaian kerja lengkap namun sudah lusuh besertaan dua koper yang di tarik samping kanan dan kiri berhasil membuat Reya mengerutkan dahi bingung.
Mau minggat kemana temannya itu? pikirnya nyeleneh.
"Re, ko berani amat berpenampilan kayak gitu buka pintu," Mata Dhini mengerjap beberapa kali, apalagi saat ini belahan surgawi dari Reya terlihat begitu jelas.
Dhini tak lupa menoleh ke samping kanan kiri takut takut ada orang lain tengah berjalan di lorong dan malah mendapati pemandangan gratis yang Reya suguhkan.
"Halah gue tau kali kalo lo yang dateng," balas Reya cuek bebek. Benar benar tidak ada khawatir khawatirnya sama sekali. Padahal kan jelas, kalau aurora-nya sampai di intip pun dia yang kelimpungan sendiri.
Dhini berdecih, tidak habis fikir dengan pemikiran temannya tersebut. "Cih, ya udah cepet masuk, nanti ada yang liat elo bisa berabe."
Dan setelahnya Dhini mendorong Reya ke belakang, hingga semua tubuh keduanya benar benar masuk ke dalam unit apartment Reya.
Gerakan Dhini begitu cepat, dan segera menutup pintu tersebut pula setelahnya.
"Eh, eh, tapi lo mau kemana?" Meski begitu, Reya masih bingung dengan temannya ini. Kenapa membawa koper, memang mau liburan ke mana dia?
"Ya kesini lah, udah tau gue nyamperin elo," jawab Dhini dengan sangat tidak santai.
Dahi Reya berkerut dalam. "Lah, kenapa? Kok nggak kabar-kabar gue dulu," tentu saja, siap yang tidak terkejut ada tamu yang datang menginap tanpa kabar-kabar dahulu.
"Kelamaan, dari sore gue chat gue telfon nggak di angkat," Dhini bukan bermaksud tidak mengabari. Salahkan sendiri Reya yang sudah di telfon belasan kali pun tetap tidak menyahut.
"Ah iya, hp gue lowbat." balas Reya setelah teringat kalau ponselnya saat ini tengah di charge karena kehabisan daya, itu pun dalam keadaan mati, makanya dia tidak dapat mendengar bunyi telefon sekalipun.
"Huh, pantesan," Dhini mendesah kasar.
Tapi ya sudahlah, intinya juga Dhini sudah tiba di sana. Tanpa mengabari pun tidak masalah.
"Terus lo kenapa bawa koper segini banyak?" Reya bertanya, kalau cuma untuk main kenapa harus membawa koper bejibun macam itu. Sudah macam pindahan saja.
Mendengar hal tersebut sontak saja Dhini menyengir lebar, dan pemikiran Reya sudah mulai tidak enak karenanya.
"Hehe mau nginep di sini, sampai waktu yang tidak di tentukan,"
Boom ...
Tepat seperti dugaan Reya. Temannya itu hendak menginap di apartemen ini.
Tapi ... Kenapa? Apa alasannya?
"Emang apartment lo kenapa? Di usir lo dari sana," tuduh Reya sebab merasa moment menginap Dhini ini begitu mendadak. Kalau pun hendak menginap biasanya sudah jauh jauh hari di bicarakan, atau setidaknya tidak membawa koper sebanyak itu.
"Ye bukan gitu," Dhini tidak membenarkan tuduhan temannya itu.
"Lo tau sendiri mobil gue nggak bener bener sampe sekarang. Mau gue jual aja kayaknya. Makanya gue numpang di apart lo sementara ini biar gue nggak telat mulu ke kantornya," Begitulah alasan Dhini. Beberapa waktu lalu mobil Dhini mengalami ke-mogokan mendalam apalagi sebelumnya mobil itu sempat di buat di tabrakan pada trotoar ketika di pinjam adik Dhini. Makanya, keputusan menjual sepertinya lebih baik dari pada menyimpan barang rongsokan bobrok.
Tapi ya begitu, resikonya, Dhini jadi tidak memiliki kendaraan sementara waktu.
"Dih," Bukannya Reya tidak mau menerima Dhini, tapi kadang Reya tipikal orang yang kalau tidak ingin di ganggu, ya tidak ingin. Apalagi Dhini entah sampai kapan menginapnya.
"Halah, plis lah Re, ini darurat banget. Janji deh kalo lo lagi sibuk nulis nggak ganggu." Dhini memohon mohon seraya menautkan kedua tangannya, berharap temannya itu menaruh belas kasihan pada karyawan yang berusaha agar tidak telat dan berakhir di pecat itu. "Mana seminggu ini aja gue udah telat 2 kali,
lo Re."
Mata Reya makin menyipit dalam, membuat hati Dhini berdegup degup tak karuan.
"Iya, serah lo,"!"
"Yey,"
Dan langsung saja sorakan Dhini pun terdengar setelah Reya mengiyakan. Walaupun tidak terlalu jelas, tapi Dhini tau kalau itu bermakna kalimat setuju.
Reya setuju juga karena tidak ada pilihan bukan. Apalagi dia juga tidak sejahat itu menolak bantuan temannya. Dia merasa kasihan kalau temannya makin sengsara hanya karena egonya.
"Love you bertie."
Apartment Reya memang bertempat di pusat kota menjadikan lokasi tersebut cukup strategis, yang mana memang berada dekat dengan kantor Dhini, makanya Dhini senang kalau Reya mengizinkan, hemat tenaga dan waktu. Efisien lah pokoknya.
Dhini tersenyum lebar dan bergerak hendak maju mendekat pada Reya, "Sini gue kasih cium kasih sayang."
Hanya saja Reya buru-buru menutup bibir monyong monyong Dhini menggunakan tangannya. Dan menahan agar Dhini tidak maju.
"Dih, mandi sana lo, bau banget dari pagi nggak kena air kan," Bukan tanpa alasan Reya berkata demikian. Karena faktanya Dhini nampak lusuh berantakan dan masih menggunakan setelan kerja.
"Hehe okay-okay," Dhini juga setuju tak mempermasalahkan, toh dirinya sadar diri kalau memang bau pakai banget.
Reya mengangguk. "Lo pake kamar tamu ya, jangan sentuh lemari warna abu, isinya milik Reno, bisa ngamuk kalo barang pelindung pusaka-nya di obrak-abrik."
"Anjirlah Reya," pekik Dhini, paham dengan ucapan temannya tersebut.
By the way, maksud Reya pelindung barang pusaka ya sempak apa lagi. Karena di apartement nya hanya memiliki dua kamar saja, satu miliknya dah satu lagi kamar tamu yang sering menjadi kamar singgah adiknya, membuatnya tak ada pilihan lain untuk menempatkan Dhini di sana.
"Ya udah sana." Tidak mau melanjutkan perdebatan, Reya meminta Dhini untuk cepat menuju kamar.
Dan akhirnya Dhini pasrah, hingga benar benar melangkah menuju kamar tamu yang Reya maksud.
Reya sendiri juga akan melanjutkan aktivitas nya, yakni menuju kamar hendak mengganti baju dan mengeringkan rambutnya yang masih basah itu.
Hanya saja ketika Reya baru mencapai pintu kamarnya _belum sepenuhnya masuk_, dia malah harus di kejutkan oleh teriakan keras seseorang, yang tak lain tak bukan adalah suara temannya itu _Dhini_.
"REYA ADA SEMVAK BERCECERAN DI KASUR!!"
Mendengar teriakan panik tersebut membuat Reya hanya dapat memijit pelipisnya sendiri, "Anjirlah. Pasti itu kerjaan si Reno!"
Reya tadi memang belum sempat membersihkan kamar, juga dua minggu lalu pun dia tidak sempat. Dia pikir kamar kosong untuk apa di bersihkan di saat Reya tengah merasa cape macam itu. Makanya dia tinggal saja.
Kalau tau Dhini akan menginap pasti dia juga akan membersihkan.
"MANA BULUK BANGET. BERAPA LAMA SIH DI KASUR!" Teriakan itu kembali terdengar menggelegar.
Reya pun buru-buru menjawab seraya berjalan menuju lokasi Dhini, yakni kamar tamu. "Gue ke sana."
"GANTI SEPRAI NYA REYA! TITIK!"
Suara Dhini masih terdengar, padahal Reya sudah hampir mencapai wanita itu.
"IYA! DIEM JANGAN TERIAK-TERIAK!" Kesal juga lama lama. Makanya Reya keceplosan ikut membalas dengan teriakan.
Reya pun sampai di kamar tamu, dan dengan mata kepalanya sendiri melihat tiga barang keramat di atas kasur belum lagi baju-baju yang ber-sepah di atasnya. Entah baju bersih atau kotor.
"Sana mandi gue yang bersihin kamarnya," ucap Reya nada memerintah. Tidak ingin membuat temannya makin histeris.
Dengan wajah di tekuk, Dhini pun mengangguk setuju, "Iya udah." Lagi pun dia sudah sangat gerah di sana.
"Dasar Reno, tailah!" Umpatan Reya keluar sebelum akhirnya dia bergerak menghampiri ranjang untuk membersihkan kekacauan Reno.