Pesan Panglima Baojia
Di kerajaan Kangxi.
Kaisar Hongli kedatangan tamu dari wilayah Shan. Seorang panglima kepercayaan kerajaan mereka datang membawa sebuah kabar gembira.
Pria tua itu pun tertawa bahagia. “Haha, aku tidak menyangka bahwa putraku diinginkan oleh kerajaan kalian.”
“Ya, Yang Mulia Kaisar Hongli. Kami sudah mendengar bagaimana prestasi putra-putra anda.”
Hongli mengangguk bangga. “Mereka memang putra kesayanganku.”
“Putri kami sangat cantik, sudah siap untuk menikah. Dari pada jatuh ke tangan pria tidak baik, bukankah lebih bagus jika memperkenalkannya dengan putra anda?”
Hongli tertawa. “Hahaha, ya benar! Aku tahu putri kerajaan Shan sangat cantik dan cerdas. Mungkin saja sesuai dengan syarat menjadi pendamping putraku.”
“Apa syaratnya, Yang Mulia Kaisar?” tanya panglima yang diutus untuk menyampaikan pesan dari Raja mereka.
“Putraku ada 4, mereka semua masih sibuk mengembangkan diri dan tidak teringat untuk menikah. Aku akan memperkenalkannya satu persatu pada putraku. Jika mereka suka maka aku akan mempertimbangkannya,” jelas Hongli.
Panglima tersebut mengangguk. “Namun, putri kami juga punya syarat tertentu yang akan diajukan ketika bertemu dengan para pangeran di sini.”
“Haha, baiklah. Kita bisa menunggu hasilnya, bila ternyata cocok maka pernikahannya akan kita atur.”
Panglima tersebut bahagia dengan keputusan Hongli. Semua buah tangan yang mereka berikan diterima dengan senang hati tanpa memerlukan balasan.
Ada kesepakatan tertentu yang akan diajukan oleh Hongli apabila ternyata putri dari kerajaan mereka menyukai salah satu pangeran atau sebaliknya.
Semua perjanjian tersebut dituliskan Hongli dalam sebuah surat yang akan dibawa oleh panglima ke kerajaannya.
*
Liangyi tiba di kerajaan, ia melihat ada MT asing yang parkir di area halaman kerajaan. Pria itu turun lalu berjalan menuju pintu masuk. Saat ingin melangkah, ia melihat Ayahnya berjalan dengan seseorang berpakaian rapi dengan segala pelindung di tubuhnya kecuali wajah. Liangyi memutuskan untuk menunggu mereka di halaman.
“Ah, ini salah satu putraku.” Hongli mengarahkan tangannya pada Liangyi.
Liangyi memberi penghormatan singkat dengan wajah datar, menjaga marwahnya sebagai seorang pangeran.
“Dia sangat tampan,” ujarnya tersenyum kemudian Panglima itu memperkenalkan dirinya pada Liangyi. “Salam pangeran, perkenalkan nama saya Baojia, panglima dari kerajaan Shan.”
“Salam panglima, saya pangeran Liangyi, putra kedua dari kerjaan Kangxi.”
Baojia mengangguk dan tersenyum lalu pamit pada raja dan Liangyi setelah dirasa semua pesan sudah tersampaikan. MT milik mereka mendekat lalu pria itu pun naik.
Liangyi langsung bertanya tentang tujuan kedatangannya. “Untuk apa mereka ke sini, Ayah?”
“Masuklah, aku akan bicarakan ini pada kalian,” perintah Hongli.
“Pada kami? maksudnya?”
“Panggil kakak dan adik-adikmu. Aku tunggu di ruang kerjaku.”
“Baik, Ayah.” Liangyi membungkuk dan membiarkan Ayahnya berjalan lebih dulu baru dia berjalan ke arah lain. Keningnya bergelombang, penasaran pada tujuan kedatangan panglima Baojia.
“Pangeran, kue pesanan pangeran dibawa ke mana?” tanya Kanebo.
“Kanebo, kemarilah.” Liangyi memanggilnya.
Pria itu segera menghampirinya. “Ya, Pangeran?”
“Apa kita punya masalah dengan kerajaan Shan?” tanya Liangyi.
Kanebo menggeleng. “Sepertinya tidak ada, Pangeran.”
“Mmh.” Liangyi mengerucutkan bibirnya.
“Berikan kue itu untuk semua pangeran dan putri yang ada di kerajaan termasuk Kaisar serta Permaisuri. Sisanya untuk kalian semua.”
“Terimakasih banyak, Pangeran.” Kanebo segera membagikan kue tadi.
Liangyi berjalan menuju kamar kakak dan adiknya untuk menyampaikan pesan dari Ayahnya.
Liangyi tiba di kamar kakak tertuanya. Pelayan dari kamar kakaknya mengetuk pintu.
“Ada apa?”
“Pangeran Liangyi ingin masuk, Pangeran.”
“Silahkan.”
Pintu dibuka, langkah Liangyi mengayun berat ke dalam. “Kau sedang apa, Kak?” tanya Liangyi.
“Aku sedang melukis burung camar yang lagi bercanda di antara ranting itu,” jawabnya.
Liangyi tersenyum. “Hobimu tidak pernah berganti. Sejak dulu selalu melukis.”
“Hanya ini yang mampu membuatku bahagia.”
Liangyi tertawa tanpa suara dan mengangguk. “Sesekali keluar lah dari kerajaan. Banyak sekali pemandangan yang bisa kau nikmati.”
“Cukup kau saja yang mengawasi lapangan. Aku percaya bahwa kekuatanmu bisa membuat rakyat tentram.”
“Hmm, kau sangat keras kepala.”
“Aku hanya akan melakukan hal yang kusuka.”
Kakak tertua Liangyi merupakan pria pendiam yang sangat introver. Melukis adalah media mencurahkan emosinya yang terpendam. Berulang kali Liangyi memperhatikan hasilnya tetap hanya bisa menikmati keindahan disetiap goresan tinta di atas kanvas tersebut. Walau kakaknya mengatakan makna lukisan itu adalah kesedihan, Liangyi tetap tidak bisa merasakannya. Pangeran pertama kerajaan Kangxi bernama Jianying. Umur mereka terpaut 5 tahun lebih tua dari Liangyi yang berusia 30 tahun.
“Ayah meminta kita ke ruang kerjanya,” ujar Liangyi.
“Ada apa?”
Liangyi menaikkan bahunya. “Entah, aku tidak tau.”
“Baiklah.” Jianying meletakkan kuasnya di dalam wadah berisi air lalu merapikan meja kerjanya.
Liangyi ijin ke kamar adik-adiknya untuk meneruskan pesan Hongli.
Saat ia tiba di depan kamar adiknya, terdengar keributan dari dalam.
“Apa yang terjadi? siapa di dalam?” tanya Liangyi pada pelayan yang berdiri di depan ruangan itu.
“Pangeran Chen dan Chang ada di dalam, sepertinya mereka berdebat.”
Liangyi menarik tegas bibirnya dan segera masuk ke kamar Chen. Kedua lelaki itu langsung berhenti dari pertikaiannya karena melihat kakaknya datang.
“Kakak!”
Mereka bergegas berdiri dengan keadaan kacau. Rambutnya berantakan dan bajunya juga miring.
“Sedang apa kalian?” tanya Liangyi menaikkan alisnya.
“Hehe, tidak ada, Kak. Kami cuma sedang adu kekuatan,” jawab Chang tertawa nyengir.
“Oh, latihan. Kenapa harus di kamar? Kenapa tidak di ruang latihan?”
“Hehe, maaf, Kak.” Chen memegang kepalanya, menunduk takut.
“Ada apa Kakak kemari?” tanya Chen kembali mengangkat kepalanya.
Liangyi berjalan mendekat mereka, berada di tengah-tengah adiknya, memisahkan mereka yang tadinya berdiri berdampingan. Dua tangannya menarik anak rambut adik-adiknya. “Aku ingin menjewer kalian yang selalu membuat keributan.”
“Aduuh.”
“Maaf, Kak. Kami janji gak bakalan bertengkar lagi!” sahut Chen Ling.
Dua lelaki itu pun menyesali perbuatannya.
“Jangan suka saling menyakiti antar saudara. Aku paling benci hal itu.”
“Iya, Maaf, Kak.” Chen Ling dan Chang Wei menunduk.
Liangyi melepas tarikannya dan meminta mereka membenahi penampilan.
“Dalam waktu 5 menit, aku akan menunggu kalian di ruangan kerja ayah. Kalau terlambat, hukuman berat akan kuberikan pada kalian,” kata Liangyi memberi peringatan.
Chen dan Chang segera berlari melihat dirinya ke cermin.
Liangyi bergegas menuju ruang kerja Hongli lalu berpapasan dengan Jianying dan mereka jalan bersama-sama.