***١١***

1117 Words
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 11) Tidak terasa waktu yang dihabiskan Hilma berada di pesantren penuh genap lima bulan. Merasakan likuan dan tantangan yang membuatnya banyak belajar dari kesalahan. Di bulan kelima itu pula. Semua santri menunggu waktu diperingatinya maulid Nabi Muhammad SAW. Mengartikan beberapa santri pilihan dari pesantren lain akan diundang. Termasuk pesantren Al-Akbar. Di mana sosok sang kakak yang lama tidak pulang. Yaitu Ustaz Yusuf, wajahnya tidak jauh dari sang adik, tapi tentunya lebih mempesona Ustaz Yusuf. Hasbi yang mulai merasakan tubuhnya panas dingin hanya tersenyum kecil, saat ibunya menyerahkan lembar jadwal acara yang akan berlangsung minggu depan. Tentunya sebagai pewaris Al-Fikri. Ustaz Hasbi ditugaskan menjadi pembuka acara nanti. "Kamu harus bisa bersikap sempurna sebagai seorang pemimpin. Jangan kalah tegas sama Rizwan, loh!" protes Umi Fitri. Rizwan tepat duduk di samping Hasbi terkikik. "Kayaknya, Hasbi lagi suka sama seseorang, nih, Umi," terangnya. Seketika wajah kalem Hasbi memberikan kesan ancaman. "Ngomong tuh jangan ngaco!" ketusnya malas. "Suka sama santriwati di sini?" tanya Umi Fitri penasaran. Hasbi mendongak malas. "Jangan percaya sama omongan dia, Mi, Rizwan yang ada lagi suka sama, Za—" "Ngomong tuh dijaga," sela Rizwan sebelum Hasbi menyebut nama gadis yang diam-diam disukai, tapi Hasbi berhasil mengetahui. "Tuh, sendirinya juga tadi gak dijaga omongannya!" Umi Fitri menjadi tidak berselera dengan acara yang akan mereka buat. Setelah telinganya mendengar bahwa Hasbi anaknya menyukai seseorang. Siapa perempuan itu? Apakah Zahra yang dulu dianggapnya sebagai adik? Mengingat selama ini, Hasbi memang tertutup soal hal percintaan. Namun, tidak mungkin kepada Rizwan? Pasti anaknya itu selalu membagi rahasia kepada sahabatnya. Jadi, Umi Fitri akan merencanakan. Meminta kepada Rizwan untuk memberitahukan, siapa gadis yang Hasbi sukai? Sebelum hal yang tak diharapkan membelah, memberantakkan niat yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Apalagi, jika gadis yang disukai santri Al-Fikri. Sangat gampang disingkirkan. Dari dalam kamar tepat di belakang Umi Fitri, sosok Kiai Hikam dengan sorban yang selalu tersampir di pundaknya. Memberikan senyum ramah, tercium harum wangi parfum biasanya. "Sedang apa ini?" tanyanya. Umi Fitri menoleh. "Acara maulid Nabi, nanti langsung Hasbi yang urus, Abi ... hanya duduk melihat bagaimana cara kerja calon pewaris Al-Fikri," jelasnya. Kembali senyum senang terukir, tapi tidak dengan perasaan Hasbi. Ia kesal dengan lelucon yang Rizwan lontarkan. Dipastikan nanti Uminya itu akan bertanya lebih dalam lagi. Sampai kumandang salat magrib pun terdengar. Memaksa keduanya siap pergi ke pondok. Namun, tidak dengan Rizwan. "Rizwan, tunggu umi mau bicara sebentar." Hasbi menahan langkah kaki selanjutnya, tapi ibunya itu tidak meminta ia juga untuk berbicara dengannya. Jadi, Hasbi dengan pasrah keluar dari rumah. Melihat jelas lalu lalang para santriwati yang siap masuk ke dalam masjid. Lagi, perempuan yang membuatnya penasaran terlihat berjalan dengan ketiga temannya. Empat bidadari Al-Fikri. Panggilan khusus bagi keempatnya. Wajah tenang Zahra menoleh, tersentak kecil lalu melempar senyum untuk Hasbi. Cengkeraman di tangan Hilma seketika terasa semakin mencengkeram. Ia tidak menyadari bahwa Zahra mulai salah tingkah mendapati Ustaz Hasbi. Sampai di dalam masjid, barulah melepas cengkeramannya yang sangat mengerat. "Kenapa? Kayak ketakutan gitu?" tanya Hilma sambil membentangkan sajadahnya. Zahra menggeleng tegas. "Gak, gak kenapa-napa, kok," balasnya. Kumandang ikamat pun terdengar. Selanjutnya mereka melaksanakan salat magrib berjamaah. Diimami langsung oleh Kiai Hikam. Tidak lupa zikir dan hapalan tahfiz segera berjalan lancar, terakhir pengumuman soal maulid Nabi yang akan dilaksanakan minggu depan. "Seperti tahun yang lalu, satu hari satu malam, pesantren kita akan mengundang beberapa santri dari pondok lain. Mengikuti kemeriahan yang akan ditampilkan. Nanti, semua pembimbing akan memilih, membagi tugas siap tampil atau bertugas di luar dari kelas masing-masing," jelas Ustaz Hasbi dengan pengeras suara, membuat para santriwati yang tak tahu jelas tubuhnya di mana dapat mendengar info yang diberikan. "Baiklah, sekian yang dapat saya sampaikan. Semoga di minggu yang akan datang, acara berjalan dengan lancar. Aamin, aamiin Ya Rabbal Alamin." Di dalam kelas yang sudah diisi puluhan santriwati, Umi Sarah dan Umi Maryam langsung menyebutkan nama semua santriwati. Untuk kesekian kalinya, Zahra menjadi penceramah yang akan membawakan topik maulid Nabi. "Hilma, kamu gak dapet tugas, ya," lirih Zahra. Hilma tersenyum kecil. "Gak masalah, mungkin tahun yang akan mendatang aku bisa dipercaya oleh guru-guru." Mendengarnya Zahra merasa iba, ia memeluk Hilma dengan sayang. Intan dan Rahma berbalik, menggenggam jemari Hilma. "Kamu pasti bisa, mencuri hati para guru. Biar bisa buktiin kamu layak tampil di depan para santri nanti," ucap Intan menyemangati. "Makasih, aku akan berusaha." Hari para santri sibuk dengan tugasnya masing-masing pun dapat dirasakan oleh Hilma. Walaupun ia sendiri tidak memiliki tugas apa pun selain memandang iri. Ada beberapa santriwati akan mementaskan drama, bahkan bersalawat ramai-ramai. Rasanya hanya Hilma seorang saja yang tidak memiliki kegiatan. Sampai Intan dan Rahma mengabari hal yang tak diharapkan. "Semua santriwati ikut meramaikan, naik panggung dengan kelompok masing-masing. Gak ada yang diam kayak kamu, Hil," ungkap Intan. "Kita sengaja cari tahu satu-satu, ternyata semuanya ikut kok. Kalo gak pentas, mereka punya tugas di dapur atau menjadi penjaga buku tamu," balas Rahma. Jadi, mengapa Hilma tidak mendapat tugas salah satunya? Zahra datang dengan wajah kentara lelah setelah pergi dari pasar. Ia segera duduk bersama ketiga temannya. "Aku gak dapet jawaban sama sekali dari, Umi. Soal Hilma gak dapet tugas atau tampil di acara maulid." Lagi, Hilma hanya mampu memberikan senyum kecil. "Udah, deh, kalian fokus aja sama tugas yang dikasih, Umi, nanti aku bakal jadi penonton setia, ok?" Bukan itu yang Intan, Rahma dan Zahra harapkan. Mereka ingin tampil berempat sebagai bidadari Al-Fikri nanti. Namun, apa yang didapat? Mengapa nampaknya semua orang tidak suka akan keberadaan Hilma? Tentunya kecuali ketiga temannya saja. Tanpa mereka sadari, begitu pula Ustaz Hasbi. Rizwan menjawab permintaan Umi Fitri siapa gerangan, gadis yang disukai anaknya. "Maryam, coret nama Hilma dalam daftar tugas santriwati untuk maulid Nabi," titahnya. "Ada apa, Umi? Anak itu tidak berulah di luar batas seorang santri," ucap Umi Maryam bingung. "Biar saya yang urus, apa yang kamu tugaskan untuknya?" Umi Maryam mencari nama Hilma dalam catatan yang dibuatnya. "Kisah teladan Sang Rasul, sempat saat jadwal pidato yang membawakan sikap romantisnya Rasul kepada istrinya. Mungkin bisa diulang, waktu acara maulid Nabi." "Jangan, biarkan dia tidak memiliki tugas apa pun," tegas Umi Fitri. Tidak bisa membantah, Umi Maryam segera mencoret tugas Hilma. Padahal ia percaya Hilma bisa menghibur para penonton dengan topik yang bisa ia bawakan. Namun, dikarenakan Umi Fitri memintanya menghapus tanpa menjelaskan alasannya. Hilang sudah bayangan Hilma tampil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD