Zeema 2

1305 Words
"Sunggu?" Wanita ini berjalan ke hadapan ku, aku terpaku di buatnya. Rasa takut yang ku rasakan seketika menghilang tergantikan dengan rasa kasihan saat aku menatap wajahnya, wajahnya penuh luka lebam, matanya sembab, dan tubuh nya kotor. "Nona?..." Panggil ku. "Aku terpisah dengan anak laki-laki ku saat kami melarikan diri ke dalam hutan, aku berkali-kali terjatuh kedalam jurang saat mencari putraku nona." "Dan... Dan aku mengikuti mu cukup lama, aku berfikir jika kau salah satu dari mereka. Kau ingin membawa anak ku pada mereka, jadi aku berjaga-jaga, tapi selama aku mengikuti mu kau tak bertemu atau berniatan menghubungi siapapun nona. Aku berfikir jika kau wanita yang bernasib sama sepertiku, itu sebabnya aku berani mendekati mu." Tuturnya panjang lebar, sesekali wanita ini menangis sesenggukan. Lengan kananku terulur, mengusap air mata yang turun bergantian di kedua pipinya. "Aku menemukan anak ini di tengah hutan, aku berniatan untuk membantunya bertemu orangtuanya. Tapi sepertinya anak ini, putramu." Aku sedikit menjauhkan wajah anak laki-laki itu dari tubuhku, memperlihatkan wajah yang sangat tenang terlelap dalam mimpinya. "INI PUTRAKU! NONA INI PUTRAKU." Ucapnya penuh keharuan, hingga ia mengambil putranya dariku. Menciumi nya tiada henti, hingga aku ikut merasakan haru yang seharusnya tak ku rasakan. "Duduk lah dahulu, istirahatkan tubuhmu. Malam masih panjang, kau bisa melanjutkan perjalanan mu lagi besok, aku akan menjaga kalian berdua." Wanita ini membalas ucapan ku dengan gelengan yang penuh kepastian. "Tidak, justru bahaya yang kami rasakan berada di malam hari. Kami harus tetap terjaga nona, kami tak ingin jatuh kedalam perangkap pria menyeramkan itu!" "Apa maksud mu?" "Keluarga kami bermasalah, hingga aku dan putraku memutuskan untuk lari kedalam hutan." Aku memapah tubuh wanita ini untuk duduk, lalu kami pun mendudukkan tubuh di bawah pepohonan yang menjulang tinggi. Wanita itu tak henti-hentinya mengeluh, mengecup, dan memeluk putranya. Membuatku sedikit merasa iri, karna kasih sayang itu hanya pernah menyentuhku beberapa waktu. "Suamiku, dia terlibat masalah dengan bos nya. Bosnya dulu meminjam uang pada perusahaan besar yang di segani banyak orang, tapi bos dari suamiku melarikan diri dan memberikan pernyataan palsu tentang suamiku pada perusahaan itu." Aku terdiam, menatap wajah sembab nya. Menunggu penjelasan lain terucap. "Dalam pernyataan itu, suamiku mengambil 50 persen pinjaman untuk aku dan putraku gunakan, lalu melemparkan semua bunga yang ada pada suamiku. Lalu bos nya itu melarikan diri, yang entah kami tak tahu di mana dia sekarang." Lanjutnya. "Dan suamimu?" Belum sempat aku mendengar penjelasannya, wanita itu menangis. Aku mengusap pelan punggungnya yang bergetar. "Suamiku sudah dalam sandra mereka, dia memintaku untuk pergi sejauh mungkin, biar dia saja yang merasakan siksaan kejam dari pria itu. Nona kami memang orang susah, tapi kami tak pernah memakan uang haram, kami tak pernah menggunakan hak orang lain." Ucapnya, hatiku mencelos. Dunia masih sangat kejam ternyata, dan selalu orang lemah lah korbannya. "Aku mengerti perasaan mu, aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang sangat berarti untuk mu. Tapi kembali lagi, kau harus melindungi putra dan dirimu sendiri." "Berdoa lah pada tuhan, semoga suamimu masih baik-baik saja." Wanita ini menggeleng, ia menggenggam tanganku begitu erat. "Tidak mungkin, aku melihat dengan jelas suami di tembak di hadapanku sendiri. Dia sudah mat*, suamiku mat* nona." Dug... Dug... Dug... "Di tembak?" Seketika tubuhku bergetar hebat, dadaku begitu sesak. Jantungku berdegup begitu kencang, tanpa ku sadari air mataku kembali turun. Air mata yang sudah tak pernah ku lihat dari beberapa puluhan tahun yang lalu, kini bisa ku rasakan. Sesaat aku merasa jika aku adalah seorang manusia normal, tapi saat aku mengingat betapa dinginnya tubuhku pemikiran tentang manusia normal kandas begitu saja. "Aku tidak bisa melakukan apapun untuk mu, aku hanya bisa menjadi pendengar terbaikmu saja." Setelah aku berucap, wanita ini mengusap wajahnya sendiri, dan kembali menggenggam tanganku. Aku bisa melihat kedua alisnya yang bertautan, saat genggaman itu mengerat. "Tubuhmu dingin sekali, apa kau sakiti. Aku melihat gaun mu juga begitu tipis, kemari gunakan jaketku saja. Kebetulan aku menggunakan dua lapis jaket." Aku mencekal lengannya yang hendak melepaskan jaket itu, seraya menggeleng. "Kenapa? Nanti kau sakit, kau begitu muda, jagalah kesehatan mu nona." "Aku sudah terbiasa seperti ini." "Heiss, jangan di biasakan. Ayo pakai!" Aku masih menggenggam lengan berkerut itu, "boleh aku memanggilmu ibu?" "Tentu, aku ibumu, dan akan selalu menjadi ibu untuk mu." Ucapan itu membuatku tersenyum dan menangis, aku bisa melihat tatapan penuh kasih sayang di matanya. Hingga wanita itu memeluk ku. "Tubuhmu wangi sekali nak, berapa usiamu?" "Em, aku 22." "Pantaslah, kau masih sangat cantik, tubuh mu juga masih penuh energi. Di mana rumahmu?" Rasanya bibir ini kaku mendengar pertanyaan yang paling aku hindari, karna memang aku tak bisa menjawabnya. "Aku.... Aku tak punya rumah." Sahutku, aku melihat tatapan iba wanita ini padaku. Lantas ia mengelus surai hitam milikku. "Tak apa, tak perlu di jawab. Aku mengerti." Setelah perbincangan panjang itu, aku kembali mengedarkan pandangan ku. Hari sudah hampir pagi rupanya, aku harus segera kembali ke wujud asli ku. Aku tak bisa terlalu lama menukar wujudku. "Ibu, aku harus pergi. Sampai berjumpa lagi nanti." Aku melihat wanita itu hendak berdiri, namun aku menahannya. "Kenapa? Kau mau kemana nak?" "Aku harus pergi, aku berjanji aku akan menemuimu lagi nanti, dan aku akan menjelaskan semuanya." Ucapku sebelum akhirnya aku berlari masuk ke dalam hutan. "NAMA?!!" Teriakan itu membuatku berbalik. "ZEEMA!" Sahutku sebelum aku memalingkan diri di balik pepohonan besar. Aku menghentikan tubuhku di atas dahan besar, menatap suram pepohonan lain di hadapan ku. "Aku lelah, sangat lelah. Jika aku manusia, mungkin aku sudah mati kelelahan." Perlahan kepalaku tertumpu pada dahan pohon, menatap sendu kegelapan yang hampir terang. "Hidup dan mati yang sama-sama menderita, garis takdir ku begitu buruk." Tak lama setelah bibirku terucap, aku melihat secercah cahaya yang datang. Kedua mataku memicing, ingin tahu cahaya apa itu. "Apa itu?" Kedua halisku bertautan saat melihat seorang pria paruh baya berjalan melewatiku denger sebuah obor yang ia pegang, berjalan begitu santai seolah tak takut apapun. "Kakek tua, kenapa kau berjalan sendirian di tengah hutan seperti ini? Bagaimana jika ada hewan buas huh?" Aku memutuskan untuk mengikutinya, berjaga jika nanti kematiannya adalah di terkam hewan buas. "Dia berjalan begitu tenang, itu bagus." Gumamku. Tubuhku melayang mengikutinya, hingga aku memutuskan untuk berjalan beriringan, meskipun sebenarnya aku tetap melayang setidaknya aku berada si sampingnya sekarang. Sekilas aku melihat pria ini tersenyum, itu justru membuatku bertanya-tanya. "Apa dia bisa melihatku? Kenapa kau tersenyum kakek tua?" Aku berjalan-jalan di hadapannya dengan kedua wajah kami yang saling berhadapan, kedua mataku memicing. Aku sungguh curiga sekarang. "Katakan! Kau pasti melihatku kan? Jangan membuat ku kesal kakek tua!" "Hey!!" Aku berusaha menganggu pandangannya, sampai aku menyerah untuk menganggunya dan kembali berjalan berdampingan. "Dia tak bisa melihatku ternyata." Perjalanan kami terhenti di sebuah gubuk yang masih berada di dalam hutan, gubuk ini terlihat baru di buat. Potongan kayunya masih terlihat, bahkan atapnya pun masih kokoh. "Kapan gubuk ini di buat?" Pria paruh baya itu masuk ke kedalam gubuknya, begitu pula denganku aku berniat untuk masuk juga je dalam. Tapi saat setengah tubuhku masuk. Blam!! Aku terlempar keluar, sontak saja diriku terkejut. Apa itu tadi? Kenapa bisa begitu? Seolah ada perisai yang melapisi gubuk ini, aku benar-benar tak bisa masuk. Merasa tak percaya dengan kejadian yang baru ku alami, aku mencobanya kembali. Tapi hasilnya tetap sama, tubuhku kembali terpental. "Kakek kenapa bisa seperti ini? Kenapa aku tidak bisa masuk juga?" Tak ada sahutan, kakek tua itu kembali keluar dengan sebuah panci berisi teh. Tangan berkerutnya perlahan mengumpulkan ranting-ranting pohonnya, membuat sebuah tungku dari bebatuan yang ada di sana. Aku hanya bisa memperhatikannya, mendudukkan tubuh tepat di samping gubuknya. Hingga hari mulai terang, kakek tua ini enggan untuk beranjak dari sana. Ia malah mengeluarkan satu buku tebal, dan membacanya di sana. "Ini salah satu cara menikmati masa tua." Gumamku. Dan setelah gumaman itu, seutas senyuman kembali ku lihat dari wajahnya. Tertarik dengan buku yang ia baca, hingga pria itu tersenyum saat membacanya. Aku mendekat, menumpukkan kepalaku di samping kepalanya, membaca buku itu bersama-sama. "Ini buku sejarah, apa yang membuatnya tersenyum?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD