Nomor Asing

1308 Words
“Sama indahnya … haaa.”   Prok … prok … prok ….   Tepuk tangan meriah menggema di sebuah kafe dengan area outdoor yang cukup luas setelah Jenna menyelsaikan lagu terakhirnya.   Ia mengucapkan terima kasih dan pamit undur diri pada pengunjung. Bukan karena sudah waktunya tempat ini tutup, tapi jam malam yang diberikan oleh sang nenek sudah habis.   “Langsung pulang?” tanya Ira, gadis yang duduk di meja kasir saat melihat Jenna mengambil tas yang disimpan bawah meja. “Nggak makan dulu?”   “Nggak, Mbak. Sudah telat banget, nih.” Jenna menjawab sambil menyelempangkan tas pada bahu kanannya. Lalu melirik benda yang melingkar di pergelangan kirinya.   “Ibunda ratu pasti sudah nungguin aku di depan pintu dengan tongkat ajaibnya,” lanjutnya, membuat Ira yang sedang melayani p********n terkekeh.   “Terimakasih atas kunjungannya,” ucap gadis itu pada pelanggan setelah menyerahkan uang kembalian beserta bukti transaksi.   “Udah besar gini masih aja dibatasin jam malamnya,” gerutunya dengan tangan yang sibuk menautkan pengaman helm hingga terdengar bunyi ‘klik’.   Kadang Jenna merasa tidak enak hati dengan anggota Live Music karena ia selalu pulang lebih awal. Untung saja mereka memahami keadaan Jenna, meskipun ada satu dua orang yang terlihat tidak suka.   “Nenek Rah cuma mau jaga kamu, Na. Beliau nggak mau kejadian yang dulu terulang lagi,” kata Ira berusaha memberi pengertian sambil memperhatikan kertas-kertas berisi pesanan pelanggan.   Hidup di lingkungan yang sama sejak kecil, Ira tau bagaimana sulit dan terpuruknya keluarga Jennaira di masa lalu.   Hinaan, penolakan dan pengusiran sering mereka alami hingga harus berpindah-pindah tempat tinggal. Sampai akhirnya Nenek Rah terpaksa mengungkap fakta menyakitkan mengenai kehamilan Tyas---Ibu Jenna.   Fakta yang membuat warga di lingkungan tempat tinggal mereka merasa iba dan akhirnya menerima kehadiran mereka. Bahkan, tidak segan memberikan bantuan.   Jenna yang mendengar itu hanya bisa menghela napas pendek. Ia paham benar dengan apa yang dikhawatirkan oleh wanita paruh baya yang merawatnya sejak kecil. Tetapi, seperti anak remaja pada umumnya, Jenna juga jemu bila terus mendapatkan nasihat yang sama.   “Ya udah, deh, Mbak. Aku pulang dulu.”   Setelah mengucapkan salam, Jenna pun berlalu. Namun, baru dua langkah ia membentang jarak, panggilan dari Ira memaksa Jenna untuk menghentikan ayunan kakinya.   “Eee … Jen, tadi ada cowok yang nanyain nomor kamu,” kata Ira sedikit ragu, setelah Jenna membalikkan badan.   “Nggak Mbak kasih, kan?” tanya Jenna. Perasaannya sedikit tidak enak melihat gelagat dari wanita yang kini berdiri di hadapnnya.   “Sorry.”   Satu kata yang terucap lirih itu membuat bahu Jenna merosot dan ekspresinya berubah lesu.   “Mbak …,” rajuknya dengan wajah memelas. Berharap Ira sedang menggodanya saja.   “Maaf. Maaf banget, Jen. Aku tadi lagi sibuk. Jadi, pas dia tanya aku spontan kasih,” jelas Ira dengan nada menyesal.   Wanita itu tidak berbohong. Saat pria tersebut meminta nomor Jenna, di depan meja kasih berdiri beberapa pelanggan yang antre ingin melakukan p********n. Jadi, tanpa sadar ia menyebutkan dua belas angka yang sudah ia hafal di luar kepala.   Jenna mendesah pasrah, lalu memanyunkan bibirnya. Ia tidak pernah berinteraksi berlebihan apalagi sampai memberikan nomor ponsel pribadinya pada orang asing, terlebih lawan jenis. Untuk urusan pekerjaan saja, ia harus meminta izin sang nenek untuk memberikan nomor ponselnya pada pemilik tempat ini.   Bukan karena sombong, tetapi trauma membuat nenek Jenna sangat protektif. Ia selalu mengawasi pergaulan Jenna. Dengan siapa dia berteman dan bagaimana keseharian teman-temannya.   Beliau tidak melarang Jenna untuk berinteraksi dengan pria, tetapi hanya sebatas hubungan profesional saja. Di luar itu, dia mengatakan dengan tegas tidak boleh.   “Ya udah, deh, Mbak. Nggak papa. Sudah terlanjur juga,” katanya terdengar pasrah. Dia hanya perlu mengabaikan jika ada nomor baru yang menghubunginya nanti.   “Aku pulang, ya,” pamitnya dengan lesu. Berjalan gontai menuju area parkir.   Jenna tidak sadar jika ada dua pasang mata yang memperhatikannya dengan intens. Pukul 11 kurang tiga menut Jenna baru tiba di rumah. Ia parkirkan motor matic kesayangannya di teras rumah, di mana seorang wanita baya duduk di kursi rotan dengan sebuah kemoceng di atas meja bundar.   “Jam berapa ini, Jen?”   “Jam sebelas kurang,” jawab Jenna santai namun suaranya terdengar lesu.   Gadis itu berjalan mendekati pintu, mengabaikan sang nenek. Sambil berdiri, ia melepas sepatunya yang langsung mendapat teguran dari Nenek Rah.   “Buka sepatu yang benar!”   Banyak sekali aturan yang diterapkan Nenek Rah. Salah satunya tidak boleh membuka sepatu dengan cara menginjak bagian belakangnya. ‘Cepat rusak’ begitu katanya.   Tanpa menanggapi ocehan neneknya, Jenna masuk ke dalam rumah sederhana yang sudah ia tempati sejak lahir sambil menenteng sepatu dan helm yang masih terpasang sempurna di kepala.   “Jenna,” panggil Nenek Rah dengan geram karena diabaikan cucu semata wayangnya.   Jenna tak menyahuti. Ia melanjutkan langkah menuju dapur, membuka kulkas lalu mengambil sebotol air putih.   “Yang sopan, Jen!” tegur Nenek Rah. “Nenek sudah berapa kali bilang, kalau minum itu duduk, pakai gelas. Jangan langsung dikokop di botolnya gitu.”   “Ck, iya … iya, Nek, iya.” Berkata iya, tetapi Jenna kembali minum dengan cara yang sama. Plak!   Gagang kemoceng mendarat mulus di b****g Jenna, membuat gadis itu meringis sambil menggosok-gosok bagian yang sakit.   “Sakit, Nek,” protes Jenna.   “Siapa suruh ndableg!”   Sambil menghentak kaki, Jenna berjalan menuju ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Ia istirahatkan tubuhnya pada kursi jati yang berbentuk leter L.   Nenek rah menyusul dan ikut duduk di samping Jenna. Rasa iba langsung menyusup ke dalam hati setiap kali menatap wajah Jenna yang sedang terlelap. Seringkali ia menangis meratapi nasib cucunya yang tidak seberuntung anak-anak lain.   “Jen,” panggilnya lembut sambil menyentuh tangan Jenna yang berada di atas perut.   “Hm.”   “Sudah, ya. Nggak usah nyanyi lagi.”   Satu detik, dua detik hingga detik ke lima Jenna tak menanggapi. Ini bukan pertama kalinya Nenek Rah meminta Jenna untuk keluar dari pekerjaannya. Bahkan, sejak awal wanita bertubuh mungil itu menentang keinginan Jenna untuk bekerja sebagai penyanyi.   “Jen.”   Jenna menurunkan tangannya yang digunakan untuk menutup mata. Menghela napas pendek lalu mengubah posisi duduknya menghadap sang nenek.   “Nek, kafe jaman sekarang nggak kaya jaman dulu. Lagian Mas Regas nggak menjual miras. Jadi, apa yang nenek takutkan?” jelas Jenna.   Melihat neneknya yang masih ragu, Jenna kembali bersuara. “Nenek tanya, deh sama, Mbak Ira, Mas Omen, atau Pak RT sekeluarga. Mereka sering malam mingguan di kafenya Mas Regas. Atau kalau masih nggak percaya, besok ikut aku kerja.”   “Di tempat kamu kerja memang nggak ada apa-apa. Tapi, di perjalanan siapa yang bisa jamin? Apalagi kamu pulangnya selalu malam.” Nenek Rah menanggapi. Dia percaya kalau tempat kerja Jenna aman karena sudah kenal dengan si pemilik usaha.   “Lagian untuk apa kamu kerja? Ibumu kan tiap bulan kirim uang untuk kebutuhan kamu.”   Jenna lekas memalingkan wajah dan membenarkan posisi duduknya. Entah mengapa ia merasa kurang nyaman setiap kali membahas wanita yang melahirkannya. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menyerang d**a.   “Ibu sudah banyak berkorban. Jadi, aku nggak mau merepotkan ibu lagi.”   “Tapi, Jen---”   “Aku istirahat dulu ya, Nek. Besok mau liat barang di tokonya Mbak Dini.” Jenna bangkit dan berlalu meninggalkan sang nenek.   “Jangan lupa cuci kaki dulu, Jen.” Nenek Rah mengingatkan sebelum pintu kamar yang berada tepat di hadapannya tertutup.   Tanpa mengganti pakaian, Jenna langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Melanggar peraturan Nenek Rah yang kesekian. Ia terlalu lelah untuk mengganti pakaian.   Sedang merenungi nasib, Jenna dikejutkan dengan suara dering ponsel yang ada di tasnya. Tangan kanannya bergerak mengambil tas hitam yang tergeletak di sampingnya. Ia bawa benda berwarna putih itu ke atas perut, lalu merogoh isinya. Mencari benda yang menjadi sumber bunyi.   Dua pesan dan satu panggilan tak terjawab dari nomor tak Bernama.   [Hai] [Boleh kenalan?]   Jenna berdecak sebal saat membaca dua pesan dari tampilan pop up saja.   Baru saja ia ingin melemparkan ponselnya ke sisi kanan kasur, benda canggih itu kembali bergetar.   [Aku Jeffrey] [Tolong balas]      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD