Sejak selesai sarapan hingga matahari berada tepat di atas cakrawala, Jenna belum juga keluar dari kamar. Ia terjebak dalam ruangan seluas sembilan meter persegi tersebut karena tidak ada kendaraan untuk pergi melarikan diri, menghindari ibu dan neneknya.
Sebenarnya ada banyak kerugian yang harus Jenna terima ketika sedang melakukan aksi diam seperti ini. Salah satunya ia tidak bisa menikmati aneka kue kering buatan sang nenek yang selalu tersedia di meja tamu dan es buah yang tidak pernah absen dari kulkas.
Untung saja ia terbiasa menyelundupkan makanan ringan dan minuman botol ke dalam kamar. Meskipun rasanya tidak sama, paling tidak ia punya sesuatu untuk dikunyah.
“Jenna!” Suara Nenek Rah menginterupsi kegiatan Jenna.
“Ayo makan! Nenek masak soto daging, loh.”
Spontan Jenna mengecap-ngecap. Bayangan rasa gurih dan segarnya kuah soto dengan perasan limau kasturi mulai mendobrak pertahanannya.
Astaga, air liur Jenna hampir menetes. Perutnya mendadak terasa sangat lapar. Padahal, sejak tadi ia tidak berhenti mengunyah camilan.
Hati dan logikanya mulai berperang memperebutkan kekuasaan. Hatinya mengatakan makan saja karena marah juga butuh tenaga, sementara logika meminta untuk menjunjung tinggi gengsi. Jangan luluh hanya dengan semangkuk sup.
“Duluan aja,” putus Jenna setelah berhasil membungkam kata hatinya. Lekas ia tenggak habis cairan oren dengan bulir-bulir jeruk yang tersisa seperempat botol.
Gadis itu berusaha fokus pada ponselnya---menonton siaran langsung salah satu akun supplier baju di jejaring sosial f*******:---agar pikirannya teralih dari bayang-bayang masakan sang nenek. Tak lupa ia memasukkan dua keping keripik kentang rasa barbeque ke dalam mulut. Berharap bisa menghapuskan jejak rasa soto yang entah mengapa tertinggal di lidahnya.
Kemudian, secara perlahan ia menggulung kemasan keripik itu agar tidak menimbulkan suara. Sebab, ia yakin Nenek Rah belum beranjak dari depan kamar. Setelah itu, ia buat simpul dan membuangnya ke tong sampah kecil di samping tempat tidur.
“Tapi nanti keluar makan, ya. Jangan sampai nggak!”
“HM!”
Asyik menonton, Jenna tiba-tiba panik ketika ingat jika semalam ia meninggalkan motornya dalam kondisi ban belakang yang bocor. Jenna gegas bangkit dari tempat tidur dan memakai jaket yang digantung di belakang pintu.
Namun, rautnya berubah lega saat teringat jika ada bengkel di dekat kafe. Ia bisa mengantarnya ke sana sore nanti saat turun kerja. Niat keluar kamar pun ia urungkan dan kembali bertelungkup di kasur.
Lebih baik ia tidur daripada pertahanannya runtuh dan berakhir duduk di meja makan bersama nenek dan ibunya.
Baru saja akan menyelami lautan mimpi, kelopak mata Jenna tiba-tiba terbuka lebar. Raut panik kembali tercetak di wajah polosnya.
“Astaga! Ini kan hari minggu,” serunya gelagapan.
Ia baru ingat jika bengkel tersebut hanya buka hingga pukul satu siang setiap hari minggu.
Ia pun langsung loncat dari tempat tidur dan menyambar tas yang tergantung di kursi belajar, lalu keluar kamar sambil menyisir rambutnya dengan jari dan mengucirnya.
“Mau ke mana, Jen?” tanya Nenek Rah dari meja makan
“Rumah Mbak Rani.” Jenna menjawab sambil berjalan cepat keluar rumah.
Lupa membawa masker, mau tidak mau Jenna harus berjalan dengan kepala sedikit menunduk agar wajahnya dapat dilindungi oleh tudung hoodie. Meskipun begitu ia tetap tidak menurunkan tempo ayunan kakinya.
“Jalan jangan nunduk!” bentak seorang yang hampir ditabrak Jenna.
“Maaf,” ucap gadis itu.
Ia tegakkan kepalanya lalu menarik ujung lengan jaketnya hingga telapak tangannya tertutup sempurna, lalu salah satu tangannya ia gunakan sebagai pengganti masker.
Jenna terus berjalan hingga ke jalan utama dan berhenti di sebuah toko kecil yang ada di sebelah kanan gang.
Langkahnya melambat saat melihat sosok yang sering menghina dirinya sedang berdiri di depan meja kasir bersama dua orang lainnya. Jenna terpaksa menunda niatnya untuk masuk.
Lebih baik menghindar daripada sakit hati.
Namun, belum sempat bersembunyi, ibu-ibu bertubuh gemuk itu sudah melihat dirinya.
“Eh, ada si anak sial.”
Jenna hanya menunduk sambil memejamkan matanya rapat. Berusaha meredam rasa nyeri di dadanya.
“Dari mana kamu semalam, Jen? Kok, tengah malam baru pulang, dianterin cowok lagi,” tanya ibu itu disertai tatapan hina.
“Nggak nyangka, ternyata kamu liar juga kalau di luar sana.”
“Biasalah, Bu. Namanya juga kerja di kafe,” timpal wanita di sebelahnya.
“Memangnya kenapa kalau kerja di kafe!” tangkas sosok yang duduk di balik meja kasir. “Anak saya juga kerja di kafe. Sama-sama Jenna.”
“Bedalah, Mbak. Kalau Rani kan kerjanya jelas jadi kasir. Kalau dia ...,” Wanita bertubuh gempal itu melirik remeh Jenna. “penyanyi. Siapa yang tahu kalau pas disawer sambil di emek-emek. Iya, kan, Bu?”
“Iya. Hati-hati loh, Jen. Jangan kebablasan. Jangan mengulang sejarah ibumu.”
“Ih, amit-amit jabang bayi. Jangan sampai. Nanti kita ikut ketiban sialnya.”
Jika yang dibahas adalah asal usul kehadirannya, Jenna hanya bisa menunduk tanpa suara. Bukan tidak mau, tetapi ia tidak punya kata-kata untuk membela diri.
Wajahnya terasa panas, nafasnya tercekat dan tubuhnya bergetar. Mati-matian ia menahan air mata yang sudah menggenangi pelupuk agar tidak luruh.
Melihat Jenna yang semakin terpojok, Ibu Rani berinisiatif untuk menghentikan pembahasan ini.
“Masuk saja, Jen. Rani ada di kamar,” ucapnya mempersilahkan. Ia tahu tujuan Jenna kemari bukan untuk membeli sesuatu, melainkan bertemu anaknya.
“Jenna permisi, Tante.” Masih dengan kepala menunduk, gadis itu berpamitan masuk ke dalam rumah yang menyatu dengan toko. Meninggalkan ibu-ibu yang masih sibuk menceritakan aib keluarganya.
“Hati-hati loh, Bu. Omongan jelek itu bisa balik ke diri kita sendiri.”
Sementara itu, Jenna tak langsung pergi ke kamar Rani. Dia berdiam diri di balik tembok pembatas toko dan rumah. Ia biarkan air matanya menetes untuk beberapa saat supaya rasa sakit di dadanya sedikit berkurang.
Si anak sial. Sepertinya gelar itu memang pantas untuknya. Sejak kehadirannya penderitaan ibu dan neneknya semakin bertambah. Ia seperti monumen hidup yang mengingatkan semua orang akan peristiwa kelam itu.
Andai dulu ia tidak hadir ke dunia orang-orang tidak akan tahu jika ibunya adalah korban pemerkosaan. Ibunya tidak akan depresi karena hinaan. Ibunya bisa hidup normal dan mungkin saat ini ibunya sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya.
**
“Berangkat naik apa, Jen?” Nenek Rah duduk di kursi rotan, berseberangan dengan Jenna yang sedang memasang sepatu.
“Ojek.”
“Berani?”
“Diberani-berani kan. Aku nggak bisa mengandalkan bantuan orang terus kan, Nek.”
Kalau saja hari ini tidak ada ulangan harian dan ujian praktik, Jenna akan lebih memilih untuk memperbaiki motornya daripada masuk sekolah.
Jenna sudah selesai memasang sepatu. Ia langsung berdiri menyalami Nenek Rah lalu pergi begitu saja. Mengabaikan Tyas yang sedari tadi menatap dari muara pintu utama.
Bukan ingin durhaka. Ia hanya belum siap menghadapi Tyas yang tiba-tiba menjadi lebih perhatian padanya.
Sampai di pinggir jalan raya, Jenna masih harus berjalan beberapa meter untuk sampai ke pangkalan ojek.
Tempo ayunan kakinya melambat saat jarak dengan motor yang berjejer di tepi jalan semakin dekat. Jenna mengeratkan genggaman pada tali ransel. Wajahnya menegang dan napasnya berembus pendek-pendek.
Jenna berhenti sejenak. Mengumpulkan keberanian dan menguatkan hati kalau-kalau para tukang ojek yang mayoritas warga sekitar melakukan kekerasan verbal.
Ia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan melalui mulut. Setalah itu menyugesti dirinya untuk berani menghadapi apapun.
“Mau ke mana, Jen?”
Pertanyaan itu membuat Jenna yang sibuk menyemangati dirinya berjingkat kaget.
“Sekolah, Pak.”
“Tumben jalan kaki.”
“Ah, paling juga nunggu jemputan,” tuduh pria yang usianya lebih muda. “Ya, kan, Jen? Kamu nungguin cowok yang anterin kamu pulang malam minggu kemarin, kan?”
Jenna tertegun. Ia tidak menyangka jika kabar itu sudah tersebar luas. Pantas saja, saat berjalan keluar gang tadi beberapa orang menatapnya sinis.
“Pacar atau pelanggan, Jen?”
Singkat. Namun, pertanyaan ini lebih menyakitkan dari pada yang ia terima kemarin.
“Pak, bisa antar saya ke sekolah?” Suara Jenna bergetar, jelas sekali jika ia sedang berusaha menahan tangis.
“Bisa-bisa.”
Jenna menerima uluran helm dari pria yang menanyainya pertama kali.
Tin! Tin! Tin!
“Ayo, aku antar!”