bc

Dipersimpangan Dilema Sekuel Dari Bukan Pernikahan Bahagia

book_age16+
268
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
family
independent
self-improved
others
drama
small town
spiritual
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

Setelah melepaskan Janu dari kehidupannya, Pingkan memilih pindah ke kota kecil bersama seorang bocah lelaki dan Rita sang sepupu.

Di sini ia dipertemukan kembali dengan Birendra yang ternyata anak pemilik perusahaan taksi. Pingkan bukan lagi wanita seperti dulu, pengalaman sepuluh tahun lalu memberinya pembelajaran yang hebat dan membuatnya memahami makna kehidupan.

Birendra menyukai Pingkan ketika pertama kali bertemu waktu di kafe dulu, Pingkan menyambut cinta Birendra. Namun ada rintangan yang menghalangi kisah cinta mereka, ibu Birendra tak menyetujui karena masa lalu Pingkan yang buruk apalagi ada seorang anak.

Lalu siapa anak yang dibawa Pingkan mengingat ia tak pernah bisa hamil selamanya? Dan mengapa Dave terbaring koma selama sepuluh tahun?

Dapatkah Pingkan menemukan kebahagiannya?

Ikuti kisah perjalanan Pingkan yang ingin berubah menjadi lebih baik.

Note :

Cerita ini akan berakhir dengan sad ending. Jadi kalau suka dengan cerita sedih, silakan mampir ke sini.

Cover by : NisNong Bong

chap-preview
Free preview
Part 1 Memulai Awal Baru
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sepuluh tahun sudah aku berada di kota kecil penuh ketenangan di sini bersama sepupuku yang bawel namun baik hati juga seorang putra yang manis. Mereka berdua adalah kekuatanku untuk hidup hingga sekarang. "Kenapa lagi? Ada masalah di salon atau kontrakkan?" Tiba-tiba suaranya muncul dari balik pintu. Wanita yang selalu ada untukku itu baru saja datang dari kantornya. Ia kini menjadi manajer di kantor asuransi. "Apa tidak bisa mengetuk pintu, Rita?" Kadang aku kesal dengan tingkahnya yang main masuk saja ke kamarku. "Cielah Ping. Buat apa juga mengetuk pintu kamarmu. La wong kita serumah." Aku menggelengkan kepala melihat sifatnya itu. Selama ini kami sudah tahu sifat masing-masing dan tak ada rahasia apapun di antara kami. Jujur aku katakan jika Rita bisa jadi kawan ataupun saudara yang siap sedia jika dibutuhkan. "Oh, ya pertanyaanku belum kamu jawab. Kamu memikirkan apa?" "Tidak ada." Aku menyahut singkat, percuma juga bicara dengannya dan yang ada pasti ia akan menasehatiku seperti rel kereta api tak ada habisnya. "Ping, kita itu kenal bukan kemarin. Kita sudah kenal sejak masih bayi. Aku yakin ada sesuatu yang membuat pikiranmu berat," tebak Rita dan ... memang itu benar. Ia tak bisa dibohongi. "Kemarin untuk pertama kalinya, aku melihat wanita itu, Rita. Mereka menjadi keluarga bahagia," sahutku pelan tak mau menoleh pada Rita. "Siapa yang kamu maksud? Aku sama sekali nggak paham," kata Rita yang kini duduk di sebelahku, tepatnya dudukmdi lantai. "Tunggu ... apa maksudmu wanita itu yang pernah---?" Aku mengangguk, Rita mengerti siapa orang yang aku maksud di sini. Ia tahu segala hal mengenai masalahku dulu. "Bagaimana bisa? Bukankah ia dalam keadaan koma lima tahun lalu?" Tentu aku maupun Rita terkejut. Lima tahun lalu wanita itu dinyatakan koma setelah melakukan operasi besar, aku tahu karena selalu mencari informasi mengenainya. Namun saat keluarganya tahu aku selalu datang ke rumah sakit, mereka langsung memindahkannya dan aku tak pernah tahu lagi kabarnya. "Ia tinggal di kota ini?" "Aku tidak tahu, Rita. Mungkin saja mereka berlibur di sini," ucapku tak yakin sepenuhnya. "Ya aku harap mereka tak tahu kalau kamu ada di kota ini. Biarkan saja mereka memiliki kehidupan yang bahagia, Ping. Kamu jangan lagi menganggu, cukup peristiwa sepuluh tahun menjadi pembelajaran untukmu." "Tenang saja, Rita. Aku bukan lagi seperti dulu, Tuhan memberiku hukuman yang hebat." "Syukur kamu sudah sadar. Kalau tidak sadar juga, bukan manusia lagi namanya." Dengar bukan? Mulutnya tak bisa di rem kalau bicara, jadi jangan tersinggung dengan ucapannya. Karena itulah ia tak disukai rekan kerjanya di kantor. "Mau aku bantu memakainya?" tanyanya saat aku memakai kaki palsu. Ya benar hukuman hebat dalam hidupku adalah aku harus kehilangan kaki kiri sebatas lutut, sepuluh tahun sudah aku memakainya dan terbiasa berjalan menggunakan kaki palsu ini. Aku membiasakan berjalan layaknya orang normal walau agak tertatih. "Kamu mau ke mana sesore ini, Ping? Salonmu sudah tutup, kan?" "Aku harus pergi menjenguknya, Rit." "Lagi? Kamu kan tahu keluarganya tak mengharapkan kehadiranmu bahkan akan mengusirmu. Masih saja kamu ke sana?" "Ping, aku tahu kamu merasa bersalah karena telah membuatnya seperti sekarang." "Itu karena aku, Rit. Ia tak akan seperti ini jika aku---" Rita tak bersuara lagi, saat ada pangeran kecilku datang dari tempat kursusnya. Bocah berusia sepuluh tahun dengan derap langkahnya yang berat telah mengubah kehidupanku seluruhnya, anak yang aku asuh sejak bayi. "Ibu ... ibu ada di mana?" "Tuh putra kesayanganmu udah datang. Aku mau ke kamar dulu." Aku hanya bisa tersenyum, sejak dulu Rita tak pernah menyukai kehadiran bocah gemuk itu. Alasannya hanya satu karena aku bodoh mau mengasuh anak tersebut. "Ibu ada di kamar, Janar." Aku menyahut dari dalam kamar bersiap untuk pergi. Sebelumnya aku sudah masak untuk putraku, satu porsi soto daging kesukaannya. Janardana Mahanta, adalah bocah kecil yang aku sayangi. Ia tidak pernah terlahir dari rahimku dan ia sudah mengetahuinya dua tahun lalu. Aku tak mau menutupi kebenaran mengenai kelahirannya jika ia bukan anak kandungku. "Loh ibu mau ke mana lagi? Kata bibi Rita, ibu sakit perut?" Aku mendengkus pelan, dasar Rita. Aku baik-baik saja dikatakan sakit. Janar begitu nama yang aku sematkan padanya, ia begitu perhatian padaku dan tak pernah membenciku yang bukan ibu kandungnya. "Ibu mau pergi ke rumah sakit, Janar. Kamu mau ikut, Nak?" Aku mengajaknya untuk bertemu seseorang yang selama ini tak mau ia temui. "Janar belum siap bertemu dengannya, Bu. Ibu tahu sendiri selama sepuluh tahun ini, Janar hanya bisa memandangnya dari luar di saat ia koma sedangkan sekarang pria itu terbangun." "Ayahmu pasti merindukanmu, Janar. Tapi kalau kamu belum siap, ibu tidak memaksa. Kamu boleh kapan saja menemuinya." Aku tak bisa memaksanya untuk bertemu dengan ayah kandungnya, ia sering menjenguk setelah aku memberitahu jika pria itu adalah ayahnya. Bicara mengenai ibu yang sesungguhnya, wanita manis dengan lesung pipit tersebut meninggal sewaktu melahirkan Janar. "Terima kasih, Bu. Janar mau makan soto buatan ibu dulu ah," kata Janar dengan riangnya. Ia akan kembali ceria kalau urusan makan. Aku sudah bersiap pergi saat Rita kembali datang. "Ayo aku antar kamu ke sana. Siapa tahu pria itu masih kenal denganku." Aku tersenyum, seketus apapun cara bicaranya. Rita siap sedia menolongku ketika aku membutuhkannya. Terkadang aku merasa tak pantas menjadi sepupunya, ia dan ayahnya begitu baik denganku meski ibunya tak seberapa menyukai kehadiranku namun bibi masih mau menampungku dulu. **** Berjalan menyusuri lorong rumah sakit kembali mengingatkan diriku dengan berbagai peristiwa sepuluh tahun, kejadian yang mengubah Pingkan yang serakah menjadi diriku yang sederhana sekarang. Jangan menertawaiku, ini adalah hukum Tuhan yang sudah aku terima dengan ikhlas. Aku melangkah perlahan mendekati kamar tempatnya dirawat selama ini, hatiku berdebar tak karuan. Lima hari lalu, aku dihubungi oleh adiknya meski diri ini yang menelepon terlebih dulu menanyakan kabarnya, hari itu adalah merupakan hari kebahagianku. Ia sadar dari koma dan ... mengenali aki. Aku menghembuskan napas pelan sebelum membuka pintu kamarnya, berdoa agar dimampukan menghadapi hujatan dari orang terdekatnya. Aku tahu ia sampai begini semua karena ulahku dulu. "Untuk apa kamu datang ke sini?" Belum sempat aku membuka pintu rawat inapnya, Nyonya Geni muncul dan membuatku hanya bisa terdiam "Saya hanya ingin mengunjunginya saja, Nyonya," jawabku pelan menatapnya, ibu dari pria yang terbaring di sana dengan senyumannya yang melihatku. "Kamu tahu, setiap kali melihatmu. Ingin sekali saya membunuhmu. Kamu membuat anak saya koma selama sepuluh tahun dan ia harus berlatih seperti bayi memulihkan kondisinya. Ini semua salahmu, Wanita sialan!" "Untung kamu itu tidak dipenjarakan oleh saya. Ini semua karena keluarga Janaya yang tak mau memenjarakanmu meski jelas-jelas kamu itu melakukan kesalahan besar. Kenapa sih kamu tidak mati saja?" Aku tersenyum getir, benar yang dikatakan Nyonya Geni. Kalau boleh memilih lebih baik ada yang membunuhku daripada aku tak menerima hukuman penjara. "Ibu ...." "Apa Vero? Benar kan yang ibu katakan?" "Jangan membuka suara terlalu keras, Bu. Malu dilihat orang," sahut Vero sambil menyuruh sang ibu masuk. Vero adiknya menghentikan perkataan kasar Nyonya Geni, Vero memang tak suka denganku tapi bukan berarti ia jahat dan sering mengingatkan kesalahanku. Ia datang dari luar dan melihat sejenak sebelum mengijinkan aku masuk. "Di mana Janar? Kamu tak membawa cucuku?" "Janar masih belum siap menemui ayahnya, Nyonya," jawabku pelan dan aku masih berdiri di depan pintu. Tatapan dari pria itu menyiratkan agar aku masuk, ia belum mampu bicara banyak. "Alasan kamu saja. Kamu yang tidak mau mempertemukannya dengan ayahnya sendiri," ucap Nyonya Geni tajam. "Ibu, sudah hentikan! Kasihan kakak kalau ibu terus berdebat dan mengomel." Aku bukannya tak mau mempertemukan Janar dengan keluarga aslinya melainkan Nyonya Geni yang tak mau mengasuh cucunya sendiri dan lebih menyerahkannya ke panti asuhan. Aku tak setuju biar bagaimanapun Janar adalah anak dari pria yang pernah mencintaiku sebelum ia kembali pada tunangannya. "Ayo masuk. Mau sampai kapan kamu berada di sana?" Vero menyahut dengan nada kasar dan menyuruhku masuk menemui kakaknya. Sementara itu, Nyonya Geni memilih pergi dari ruangan. "Kami keluar dulu. Ajak kakakku bicara, ia harus berlatih mengeluarkan suaranya pelan-pelan." Aku mengangguk dan tersenyum, Vero meninggalkan kami berdua di sini. Perlahan aku menghampiri pria yang sudah tak muda lagi namun masih menunjukkan ketampanannya, sepuluh tahun hanya mengubah usia dan penampilannya saja. Kini aku bisa melihat mata birunya lagi dan menyapa dalam keadaan sadar. "Halo .... Dave." =Bersambung= Note : Baca dulu cerita yang "Bukan Pernikahan Bahagia"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook