Baru saja Levo dan Dexa sampai di tempat eksekusi pertama, wajah Andrew sudah tampak masam. Meski Levo tidak menutup mulut Andrew, tapi Andrew cukup tenang dan cerdas karena percuma membuang tenaga untuk berteriak meminta tolong. Sebab, takkan ada yang bisa menolongnya.
Andrew sudah menebak jika dirinya berada di tempat yang jauh dari keramaian. Bahkan pusat kota. Sudah pasti para pembunuh itu cerdas. Apalagi sekelas Blackhole.
"Blackhole." Andrew menggumam dengan senyuman miringnya. Meski sudah dibawa ke ruang eksekusi pertama yang singup dan pengap, Andrew masih sempat menampakkan wajah menyebalkannya di depan Levo.
Levo hanya terdiam. Begitupun dengan Dexa. Mereka hanya ingin mendengar apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Andrew.
"Kalian itu buronan. Kalau kalian sampai tertangkap, kalian sudah pasti tau apa yang akan terjadi pada kalian kan?" Ucapan Andrew seolah mengandung kalimat bahwa dirinya akan segera selamat dan Blackhole akan segera tertangkap.
Levo tertawa hambar. Kemudian mendekati Andrew yang terikat di kursi dengan begitu kuat. Kecuali perut buncit yang sudah pasti akan sulit ditekan karena banyaknya lemak bersemayam di sana.
"Jadi, kau pikir mereka bisa menemukanmu di sini?" tanya Levo sembari menatap lurus ke dalam mata Andrew. Sontak Andrew melengos dan menatap ke arah lain.
Tatapan Levo begitu menusuk. Seperti elang yang siap menerkam mangsa setelah membidik mangsa itu dengan tatapannya. Meski Andrew mengalihkan pandangan, Levo tau jika Andrew mulai gemetaran berhadapan dengan mereka. Sehingga Levo mengendur. Ia tak mau menekan batin Andrew hingga Andrew akan menggila sebelum mengatakan apa rahasia yang ia terkam.
"Andrew Benedict." Levo memanggil nama itu dengan tegas. Membuat Andrew melirik dengan kesal.
"Kau seharusnya menghormatiku karena aku adalah anggota dewan!" kesal Andrew pada Levo karena tak dihargai sama sekali dengan mengimbuhkan embel-embel Tuan di depan namanya.
"Prinsipku, aku hanya menghormati orang tua, wanita hamil, dan orang suci."
"Aku salah satu dari yang kau sebut!"
Levo terkekeh. "Kau bukan orang tua, bukan wanita hamil, apalagi orang suci. Kau hanya makhluk rendahan yang tak pantas dihargai sepeser pun."
"Kau gila!" Andrew semakin tersulut emosi. Dianggap gila adalah hal biasa bagi Levo. Ia juga merasakan bahwa dirinya sendiri gila entah sejak kapan. Tapi ia yakin, kegilaannya tak merugikan siapapun. Tidak seperti pemerintah yang menggila karena harta dan tahta. Levo justru menggila membumihanguskan pada bandit negara yang merugikan masyarakat.
Levo yang masih berdiri di depan Andrew hanya mampu tersenyum penuh arti. Seolah akan mengatakan hal yang akan membuat Andrew muak mendengarnya. A
"Bagaimana kalau kita membuat perjanjian?" tawar Levo dengan suara yang sedikit misterius. Perjanjian yang Levo maksud pasti bukan perjanjian biasa. Tentu saja Andrew menolak. Akan tetapi, ia mau menolak atau menerima pun sudah pasti ia akan mati di tangan sosok yang sedang berdiri di depannya.
"Kau butuh uang? Berapa? Aku bisa membayar yang kau minta bahkan empat kali lipat sekalipun." Andrew tak mau kalah. Iya terus membakar emosi Levo. Akan tetapi caranya salah, justru hal itu semakin membuat Levo bersemangat untuk segera menghabisi nyawanya.
"Wah wah ... bendahara negara sekarang sudah menjadi mantan crazy rich. Bukan lagi si crazy rich yang bisa menghamburkan uang seenaknya. Kau seharusnya malu. Kami bukan hanya tau kebusukanmu tentang penggelapan uang negara, tapi juga pembunuhan Samantha. Anakmu sendiri."
Andrew terdiam sesaat. Pupil matanya bergerak gelisah. Seolah tak ingin mendapati manik matanya bertemu dengan Levo yang terus menatapnya penuh dengan semburat amarah.
"Samantha. Tak asing aku mendengar nemanya." Dexa mulai mengingat lagi. Sebenarnya, kematian Samantha yang sempat menggemparkan seluruh kota itu masih teringat jelas oleh Dexa.
Levo tersenyum tipis. Melihat Dexa yang mulai berpikir dan mengingat kejadian itu membuat Levo berharap. Bahwa sosok itu akan mengingat sesuatu yang penting.
"Ah, anak kecil berambut pirang dengan mata biru yang indah. Polos penuh keceriaan. Mendadak hilang dan ditemukan meninggal."
Andrew masih terdiam mendengar ucapan Dexa. Seolah apa yang dikatakan oleh Dexa adalah sebuah rekaan semata.
Melihat apa reaksi Andrew membuat Dexa semakin yakin. Kejadian waktu itu, adalah benar-benar nyata. Bukan hanya halusinasi atau efek alkohol yang ia telan. Meski sedikit mabuk, Dexa ingat betul. Ada sebuah kejadian mengerikan di depan matanya.
Tiba-tiba Dexa maju. Memukul wajah Andrew hingga sosok yang duduk di kursi dengan ikatan ketat itu tersungkur dan terbatuk.
"Hei, tenanglah. Apa yang terjadi padamu?" Levo menahan Dexa yang mulai tak terkontrol. Hal itu membuat Levo semakin yakin, Dexa mengetahui sesuatu tentang kematian Samantha.
Dexa tak peduli apa yang dilakukan oleh Levo. Semakin Levo menahan, Dexa semakin geram dan kesal. Ia menepis lengan Levo yang mencengkeram kedua bahunya. Lalu kembali melayangkan beberapa hantaman ke wajah Andrew. Tak puas dengan tonjokan, Dexa menginjak perut Andrew dan berteriak.
"KAU SIALAN! PEMBUNUH!"
Tak ingin Andrew mati sia-sia karena dihajar oleh Dexa, Levo langsung mengajak Dexa berpindah tempat. Menjauh dari tempat eksekusi pertama dan mulai menenangkan sosok itu. Sepertinya Dexa sedang memikirkan hal yang membuat amarahnya menggebu.
Apalagi saat Dexa menyebur Andrew sebagai pembunuh. Sebenarnya jika Dexa memiliki ingatan tentang keburukan Andrew, ia bisa dijadikan sebagai saksi dan membuat Andrew dijatuhi hukuman seberatnya. Akan tetapi, semua itu hanya akan membuat Dexa dalam bahaya. Ia bisa saja selalu di pantau oleh pihak kepolisian. Bahkan ia bisa dipantau juga oleh negara. Sebab, ia sudah membuka aib salah satu orang penting. Sudah pasti orang penting lainnya akan merasa terancam. Dan kemungkinan terburuk, Dexa akan terbunuh.
Setelah melihat Dexa berhasil meredam emosi, Dexa pun langsung menatao Levo dengan lesu. Meski tak ada yang Levo katakan atau tanyakan, Dexa mengetahui apa yang dipikirkan Levo.
"Levo, aku ingat. Tentang kematian Samantha."
***
"Dexa memukul wajah Andrew beberapa kali. Sepertinya Dexa marah besar. Aku tak tahu apa yang mereka katakan. Tapi sepertinya Andrew sudah melakukan hal yang luar biasa bodoh hingga Dexa yang tak lebih bodoh juga menghajarnya." Nezi memberi keterangan dari apa yang ia lihat. Setidaknya mereka bisa menyimpulkan bahwa Andrew memang melakukan kesalahan dan dua orang di sana sedang berusaha mengeksekusi sosok Andrew dengan cara mereka.
Tampak Zack dan Mea sedang asyik menonton televisi. Sedangkan Nezi dan Sena bercakap membahas Andrew, Levo, dan Dexa. Akan tetapi tiba-tiba Zack terbahak dan membuat Sena, Nezi, bahkan Mea yang duduk di sisinya itu terkejut bukan main.
Padahal Zack dan Mea sedang menonton sebuah acara berita yang menayangkan seorang perempuan paruh baya dijatuhi hukuman seumur hidup. Semua ocehan si pengacara yang membuat Zack tertawa begitu renyah. Seperti mengejek. Seolah pengacara itu hanya mengatakan omong kosong dan membuat para otak di sana terhipnotis seketika.
Pada pasalnya, Zack sudah tau jika pengacara itu akan berhasil menjebloskan siapapun ke dalam jeruji besi. Omongannya sangat lincah dan tangkas. Tak ada yang mampu menghentikan asumsinya. Semua yang ia lontarkan harus dianggap sebagai kebenaran yang hakiki. Ia serba tahu dan semua orang tau mengakui itu. Itulah mengapa, Zack berperang dengan pikirannya sendiri. Bertaruh dengan dirinya sendiri jika sosok pengacara itu akan berhasil memenjarakan wanita yang dituduh sebagai bandar narkoba. Padahal wanita itu hanya berprofesi sebagai penjual ikan di salah satu pelabuhan negeri ini.
"Apa yang lucu? Kau menertawakan ibu-ibu itu karena dipenjara seumur hidup?" kesal Mea pada Zack. Gadis itu mungkin tak tau betapa liciknya sang pengacara yang sedang mereka tonton. Akan tetapi Zack hanya diam tak menjawab. Mereka harus menuntaskan masalah Andrew terlebih dulu sebelum menjadikan si pengacara itu korban berikutnya.
Setelah acara televisi berita harian selesai, Zack kembali merebahkan diri ke ranjang. Tampak sangat bosan sekali karena tak ada yang harus ia kerjakan. Ingin sekali ia mengjahili Sena. Tapi Sena pasti akan mengamuk dan menyuntikkan Cairan Kendali pada dirinya lagi. Ah, itu merepotkan.
"Nezi, bagaimana dengan Levo dan Dexa?" tanya Mea penasaran. Gadis itu mematikan televisi dan mendekati Nezi yang berdiri bersandar di samping meja praktek Sena.
Nezi terdiam sejenak. Seolah memusatkan pandangannya pada keberadaan Levo dan Dexa. Terlihat mereka tengah menjauh dari tempat eksekusi setelah Dexa melakukan kekerasan pada Andrew tadi.
"Sepertinya Levo sedang menggali informasi dari Dexa."
Mea mengernyit. "Apa maksudmu? Kenapa Levo justu menginterogasi Dexa? Bukankah seharusnya mereka sedang menginterogasi Andrew?"
"Ya, tadinya. Tapi sepertinya Dexa punya alasan mengapa melayangkan tinjuan ke muka Andrew beberapa kali. Bahkan menginjak perut sosok itu dengan teramat keji."
Ucapan Nezi membuat Zack menyambar. "Aku tau, Dexa pasti mengetahui tentang kematian Samantha."
"Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" tanya Mea penasaran.
"Emh, mungkin karena seingatku, dikabarkan Samantha terlihat sendirian di daerah kos Dexa yang sepi. Setelah itu, Samantha dikabarkan meninggal dunia."
"Jadi, maksudmu kemungkinan Dexa mengetahui semuanya tentang keburukan Andrew?" Mea meyakinkan ucapan Zack.
"Kemungkinan." Zack mengangguk.
"Aku sepemikiran dengan Zack. Dexa memang misterius. Sosok itu penuh rahasia. Tapi masih sangat sulit mengutarakan rahasia itu dengan detail.
"Nezi, sepertinya kau mulai mengenal Dexa lebih dalam. Apa dia sudah tau tentang Moza?" celetuk Zack penasaran karena akhir-akhir itu Nezi sangat terlihat dengan Dexa. Akan tetapi, Nezi hanya merasa biasa dan mengucapkan selamat datang untuk Dexa yang bergabung tanpa ada rasa sopan darinya.
"Dia juga anggota Blackhole. Jadi, dia juga berhak tau tentangku. Lagipula, aku juga tau tentang kesialan keluarganya. Jadi, kami impas."
"Ah, kau benar-benar bisa manis dan pahit dalam satu waktu. Itu mengagumkan." Entah itu pujian atau hinaan, Nezi tak peduli. Zack terkekeh melihat ekspresi Nezi yang hanya diam datar dan tak marah sekalipun. Itulah mengapa Zack suka menggoda Nezi. Sebab, Nezi tak gampang tersulut emosi seperti dirinya. "Sepertinya aku harus pergi." Zack bangkit dari tempatnya kemudian beranjak pergi.
"Mau ke mana kau?" tanya Mea.
"Ke suatu tempat."
***
Flashback on ...
Hari ini penuh sial. Dexa harus dikejar lintah darat yang gila dengan harta. Padahal semua hutang pokok sudah terbayar. Tapi ada lagi yang harus ia bayar. Wajahnya kini bonyok dan babak belur.
Ia tak mampu menggunakan keunikannya. Sebab jika hal itu ia gunakan, ia pastikan para lintah darat itu akan menggunakannya untuk hal yang tidak menjadi kepentingannya. Mereka akan memeras dan terus memerasnya melakukan kejahatan hingga mendapatkan uang.
Jadi, ia pasrah saja saat dipukuli. Toh kalau dia mati semua akan baik-baik saja. Dunia takkan merasa kehilangan sosok seperti dirinya. Dunia takkan mengerti jika dirinya meminta tolong. Karena dirinya hanya sebutir butiran debu yang tak terlihat dan tak bermakna.
Setelah babak belur dipukuli oleh para preman lintah darat, Dexa berkelana sepanjang hari. Ia sudah seperti orang gila yang keluyuran tanpa arah.
Setiap hari ia selalu seperti itu. Tapi sejak akal liciknya untuk mencuri datang, ia sudah bisa mengurangi bonyok di mukanya. Dexa selalu berhasil mendapatkan uang dengan cara haram yang ia lakukan. Semua itu karena ia masih ingin menyelamatkan nyawanya. Ia ingin hidup tanpa tekanan meski sekejap saja.
Malam ini, Dexa tak mendapatkan uang sepeser pun. Makanya, ia harus menerima pukulan hukuman dari lintah darat karena tak sanggup membayar hutang secara harian.
Niat hati Dexa ingin pulang. Tapi di tengah jalan ia melihat ada preman yang tengah tak sadarkan diri setelah meminum berbotol-botol alkohol. Dexa mendekat. Kefrustasiannya membuat hati ingin mencicipi rasa alkohol yang menenangkan. Begitu kata orang. Awalnya Dexa menolak dirinya sendiri yang ingin mencoba minuman haram itu. Akan tetapi, rasa gilanya mendorong. Ia pun mengambil sebotol kemudian lari agar tak ketahuan oleh preman yang sudah mabuk minuman itu.
Sesampainya di gang sempit yang sepi. Dekat dengan jalanan kota yang juga telah sepi di malam hari, Dexa terduduk. Ia menangis. Meratapi nasib yang membuatnya ingin mengakhiri hidup. Namun, ia masih ingin membalaskan dendam orang tuanya. Meski ia tak tahu harus membalas kepada siapa.
Sebotol alkohol yang ada di genggaman membuatnya menatap nanar. Tanpa ragu lagi, ia meneguk minuman keras dan berbahaya itu. Baru saja satu teguk, Dexa sudah merasa mual dan pusing. Semua benda yang ada di sekitar terasa samar dan berbayang-bayang. Ia sudah tau, dirinya tak bakat menjadi seorang pemabuk.
Akan tetapi, seteguk minuman itu membuatnya tertidur karena pusing. Setidaknya ia bisa tidur dan melupakan masalah yang ada. Walau ia takkan mengulangi mendekat pada minuman keras itu.
Bruk
Dexa tertidur. Untuk beberapa saat, semua yang menjadi bebannya telah menghilang karena ia jatuh ke alam mimpi yang indah. Meski ia nanti harus bangun kembali untuk menjalani kenyataan yang pahit.
Satu setengah jam berlalu, meski masih sedikit pusing dan mabuk, Dexa bangkit dari tidurnya yang ternyata di sebuah gang kecil yang sepi. Untung saja para tikus jalanan tidak mengganggunya.
Dexa bangkit meski masih sempoyongan. Ia berjalan ingin pulang ke rumah yang sudah lumayan dekat. Ia sengaja tidak pulang ke rumah dengan membawa alkohol. Takut-takut ada lintah darat yang melihat dan mengiranya punya uang untuk membeli sebotol minuman keras.
Baru saja ia ingin berbelok, Dexa mendengar suara anak menangis sayup-sayup. Meski dalam keadaan mabuk, Dexa sadar jika ia melihat ada anak kecil yang menangis meringkuk di gang itu.
Prak
Suasana yang gelap membuat Dexa menyipitkan mata. Apalagi keadaan yang masing sempoyongan dan antara sadar atau tidak. Dexa mendengar ada suara pukulan di kepala hingga membuat tulang tengkorak itu retak bahkan mungkin berdarah menyakitkan.
Dexa mendorong dirinya untuk bersembunyi saat ada sebuah mobil datang.
"Sudah kau bereskan?" Suara itu terdengar asing. Namun, Dexa melihat ada seorang lelaki bertubuh tak terlalu tinggi dan perutnya yang tampak begitu besar membusung.
"Sudah, Tuan."
"Angkat dia ke bagasi. Setelah itu, jatuhkan dia dari lantai dua rumah lamaku."
Mendengar hal itu, Dexa berasumsi bahwa apa yang mereka rencanakan di tengah malam dan tempat sepi adalah sebuah kriminalitas. Pembunuhan berencana.
Tapi Dexa tak bisa menggunakan kemampuannya. Ia terlalu pusing dan hampir muntah lagi. Tapi dengan sekuat tenaga ia menahan agar tak menimbulkan kebisingan.
Setelah mobil itu pergi, Dexa akhirnya bisa bergerak maju dan kemudian melihat lokasi yang tak jauh dari rumahnya itu sudah sepi.
Sampai di rumah, Dexa tertidur hingga pagi. Malam yang panjang dan apa yang ia lihat semalam seperti mimpi. Dexa tak begitu yakin jika ada orang bodoh yang melakukan pembunuhan pada anak kecil jalanan. Apa salah anak jalanan hingga harus dibunuh dengan begitu tragis. Dexa tak peduli. Untuk apa ia peduli para orang lain sedangkan dirinya saja juga perlu dipedulikan. Itu adalah pikiran yang tertanam di benak Dexa.
Pagi yang cerah menyambut Dexa. Akan tetapi, Dexa juga terkejut saat melihat televisi di toko elektronik yang menyediakan televisi untuk ditonton secara gratis bagi orang-orang yang berlalu lalang.
Seperti biasa, Blackhole selalu muncul dalam berita. Entah itu tim invertigasi yang tengah berusaha menyelidiki Blackhole atau bahkan kasus yang Blackhole ciptakan. Akan tetapi, ada satu hal yang menarik. Berita setelah Blackhole, tentang kematian seorang anak dari Bendahara Negara, Andrew Benedict. Anaknya bernama Samantha Benedict.
Samantha dikabarkan meninggal dunia karena terjun dari lantai dua rumah Andrew yang lama. Akan tetapi, pihak kepolisian menganggap bahwa Samantha tidak semata-mata bunuh diri. Karena luka di kepala seperti luka bekas pukulan benda tumpul.
Berita itu menghebohkan para masyarakat. Hingga Andrew pun angkat bicara dan membuat pernyataan jika Andrew menolak untuk membiarkan jasad putri semata wayangnya di autopsi.
Melihat berita itu, Dexa teringat kembali dengan tadi malam. Seorang anak perempuan yang meringkuk dan suara pukulan di kepala. Hingga datang seorang lelaki bertubuh gembul dengan perut buncit.
"Apa itu Samantha?" gumamnya menebak. Tapi kembali lagi ke hati Dexa yang beku. Jika memang itu adalah Samantha dan pembunuhnya adalah Andrew, Dexa juga tak bisa berbuat apapun. Toh, Andrew memiliki kekuasaan di tangannya. Sudah pasti Andrew mampu melenggang pergi setelah membunuh putrinya sendiri. Ya, begitulah kerasnya dunia. Tapi itu masih asumsi Dexa. Karena ia dalam keadaan mabuk dan tak sadar begitupun ia juga tak terlalu yakin dengan wajah-wajah yang ia lihat semalam.
Lagipula, Dexa juga tak mengenal si Andrew Benedict yang sedang diberitakan. Ia tak pernah melihatnya juga. Di dalam televisi dan di kenyataan sudah pasti akan memiliki perbedaan. Itulah yang membuatnya berpikir takkan peduli apapun. Ia menganggap bahwa dirinya hanya mimpi semalam. Jika memang ia melihat pembunuhan, bukan Samantha korbannya. Mungkin ada anak gadis kecil lain yang bernasib sama tapi tidak harus terekspos di publik.
Alhasik, Dexa menarik tudung hoodienya ke atas dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Ia berjalan melewati pembangunan yang baru berjalan. Sepertinya akan dibuat sebuah restoran ayam. Membayangkan ayam goreng saja sudah membuat perutnya semakin keroncongan.
Saatnya sekarang ia beraksi. Mencari makan dan uang dengan jalan yang buruk. Semua itu ia lakukan karena tak ada yang mau menerima ia bekerja karena ia dikenal sebagai anak tukang korupsi.
"Haahh, untuk apa aku peduli? Aku hanya perlu bermimpi agar aku bisa membalaskan dendam kematian dua orang tuaku yang begitu tragis."
Memang benar adanya. Satu keburukan akan menghancurkan ribuan kebaikan. Meskipun keburukan itu sebenarnya bukan apa yang benar-benar terjadi. Bisa saja karena fitnah seseorang, tapi orang lain bisa dibuat menderita seumur hidup. Hanya balas dendam, yang menjadi cita-cita. Akan tetapi, Dexa tak tahu harus membalas dendam ke siapa. Semua orang begitu kejam. Hingga ia harus menemukan satu orang untuk dihancurkan karena telah membuat semua orang membenci keluarga dan dirinya.
Flashback off ...
***