Levo menaikkan satu alisnya. Senyuman terangkat dengan perlahan. Wajah gemetar Dexa membuat Levo paham satu hal. Pilihan adalah pilihan.
Suasana yang hening berlanjut lebih lama. Sebuah surat yang tergeletak di atas meja Levo itu mengganggur untuk sesaat. Kemudian, tangan Mea yang gatal penasaran pun menyambarnya.
Sekarang surat yang tertutup rapat di dalam amplop terbaca oleh Mea. Gadis itu terdiam. Memberi sebuah senyuman miring penuh arti. Kedua netra bermanik kebiruan tertuju pada Dexa yang masih terdiam.
"Kau yakin?" Mea melangkah mendekati Dexa. Sedangkan Nezi dengan cepat langsung menahan Mea dan menyambar kertas itu. Membacanya dengan seksama kemudian melirik Dexa sekilas.
Di lain sisi, Levo yang masih duduk di kursi kebesaran hanya tersenyum makin lebar. Tak lama, sosok itu tertawa. Ia bangkit sembari bertepuk tangan. Seperti hembusan napas, Levo berpindah sangat cepat dari tempatnya ke samping Dexa. Sosok itu merangkul Dexa sembari membisikkan sesuatu.
"Pilihan yang tepat, Dex."
Terdengar suara napas terhembus berat dari Dexa. Sejujurnya, masih ada perasaan takut dan was-was. Tapi pilihan yang ia ambil sekarang memang sudah seharusnya di jalani dengan yakin.
Levo menyingkir, ia mendekatkan diri ke Sena dan membisikkan sesuatu. Tak ada yang tau. Bahkan Mea maupun Nezi yang ada di sana.
Sena tersenyum dan mengacungkan jempol. "Oke, Bos!" Setelah mengatakan itu, Sena melirik ke arah Dexa. "Ikut aku."
Kedua mata Dexa membulat seketika. Napasnya tercekat hingga ia merasa sesak tiba-tiba. Sialnya, senyuman Nezi yang terkesan mengerikan itu membuat bulu kuduknua merinding.
Baru saja ia berjalan melewati Nezi yang bersandar di tembok dekat pintu masuk sebuah ruangan, terdengar sebuah bisikan. "Selamat menikmati."
Glup~
Dexa menelan ludah dengan susah payah.
***
Menunggu waktu yang tepat, Levo, Nezi, dan Sena sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Levo sibuk membaca berita dari sebuah wacana harian. Ia mencari hal ganjal dari sana. Meski tak hanya dari sana, Levo juga memiliki beberapa mata-mata yang tersebar untuk mencari seluk beluk kebusukan para petinggi yang tak berhati kepada masyarakat rendah.
Mea sibuk dengan ponselnya. Ia sedang tertarik untuk mengikuti ajang kecantikan yang sedang terlaksana. Namun, karena kuotanya sudah penuh dan dirinya sedang menjalani misi tertentu dengan Levo, ia belum bisa mengikutinya.
Sedangkan, Nezi sibuk membaca buku. Curi-curi pandang ke Mea membuat buku itu hanya sebagai alibi. Agar Mea tak menyadari jika sedari tadi Nezi selalu mencuri kesempatan menatap kecantikan Mea yang terpancar alami.
Dua puluh menit berlalu, terdengar hampa dari ruangan yang tadi dimasukin oleh Sena dan Dexa. Belum ada sebuah teriakan atau suara-suara aneh.
"Sebentar lagi." Levo melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ruangan yang hening itu membuat Sena dan Nezi saling menatap saat mendengar suara Levo.
Benar. Terdengar suara teriakan. Tak lain dan tak bukan adalah suara dari Dexa. Levo tertawa mendengar itu. Bukan hal yang menggelikan. Tapi ia memang bahagia saat ini.
Tak lama kemudian, Sena keluar dengan membenahkan jas lab yang selalu setia menempel di badan. Jas lab putih bersih tanpa noda meski Sena selalu bermain dengan cairan kimia yang meletup-letup.
Kacamata yang menggantung di hidung Sena terlepas. Sena duduk lemas di kursi kebanggannya dekat dengan beberapa cairan yang tertata rapi di lemari asam.
Nezi dan Mea menatap Sena datar. Sedangkan Levo mulai mendekat dan menepuk pundak sosok itu. "Kerja bagus. Thanks, Sen."
"Yeah. Ternyata kali ini lebih menyusahkan daripada saat aku mencoba—"
Ucapan Sena terbungkam saat melihat wajah kucel Dexa. Bahkan sosok itu berjalan keluar tanpa baju dan menutupi dadanya dengan tangan.
Melihat itu, Nezi langsung menarik Mea ke belakang tubuhnya. Mencoba menutupi Mea dari pandangan tak senonoh yang ditampilkan oleh Dexa.
Dengan tangkas, Levo langsung mengambilkan sebuah kaos hitam polos. Melemparkan kaos itu pada Dexa.
"Waw! Aku ketinggalan banyak hal. Apa yang dia tentukan?" Tiba-tiba Zack datang entah dari mana. Dexa tak peduli karena ia hanya mempedulikan tubuhnya yang telanjang d**a. Apalagi bagian dadanya masih terasa sakit karena perlakuan Sena.
Melihat Dexa memakai kaos hitam polos, Zack tersenyum lebar. Ia mendekatkan dirinya pada Dexa dan memutari sosok itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kau mengeluarkan aura kemalasan yang luar biasa."
Dexa mendelik. "Sialan."
Zack terbahak. Ia kemudian mendudukkan diri ke sofa dan menarik Mea jatuh ke sofa bersamanya. Sedangkan Nezi menatapnya ngeri.
"Dex, kemarilah."
Dexa mendekat. Jantungnya masih tak mampu berdetak normal. Kelima orang yang ada di dalam sebuah ruangan bersamanya itu memang tampak biasa. Akan tetapi, mereka terkadang menatap dengan cara yang berbeda. Seperti elang yang akan menyambar mangsanya dengan cepat. Seperti cheetah yang akan mengejar mangsanya hingga dapat. Seperti singa yang mencabik mangsanya tanpa ampun. Intinya, mereka diam tapi jika beraksi sudah pasti ia akan tenggelam dalam kematian.
Dexa mendekat ke arah Levo. Sosok itu mengulurkan tangannya. Tanpa ragu, Dexa menyalami uluran tangan Levo.
"Kau siap?"
Pertanyaan Levo membuat Dexa tercenung.
Sontak Levo langsung menariknya dan jatuh ke pelukan Levo. "Selamat bergabung, Dexa Azitro!"
***
Entah sejak kapan, Dexa sudah berada di kontrakannya. Ia sangat ingat, terakhir kali ia berada di pelukan Levo. Tapi setelah itu, semua gelap. Tak ada yang mampu ia dengar lagi. Seolah kesadarannya terhisap begitu saja.
Bukan mimpi, ia benar-benar berada dalam bahaya beberapa saat lalu. Ah, satu hari kemarin. Bersama dengan para pembunuh buronan yang bertampang manusia biasa tak berdosa.
Akan tetapi, apa ini? Ia berada di rumah. Seluruh tubuhnya lengkap. Kaki, tangan, organ lain pun rasanya masih lengkap. Hanya saja, ingatan itu seperti nyata.
"Oh, kau sudah bangun."
Matanya kembali membulat. Ternyata benar, ia tidak sedang bermimpi.
"Levo?"
"Ya, kau lupa? Padahal baru saja kita resmi menjadi partner."
Benar. Itu benar. Sekarang ia resmi menjadi anggota Blackhole. Ia akan menjadi salah satu dari pembunuh buronan polisi. Pembunuh keadilan yang tak berperikemanusiaan.
Oke, kembali ke ingatan beberapa saat lalu. Hari belum berganti. Karena itu, ia masih ingat apa saja yang ia lalui.
Sena, seorang farmasis yang merupakan anggota Blackhole sedang menjalankan perintah dari Levo selaku kepala organisasi gelap bernama Blackhole. Seperti biasa, setiap anggota yang bergabung akan dipastikan jika sosok itu tidak berbahaya untuk kelompok mereka.
Dexa diminta merebahkan diri di sebuah katil yang keras dan tak berbusa. Seperti seonggok daging yang tak bernyawa, Sena memperlakukan tubuh Dexa seenaknya. Gadis itu tanpa malu melucuti semua pakaian Dexa hingga tak tersisa sehelai benang pun. Jelas Dexa sempat memberontak, tapi percuma, dengan ancaman gas Sarin yang ada di tangan Sena, Dexa pasrah.
Tak tertinggal satu pun, Sena meneliti semua bagian tubuh Dexa. Detail dan mencatatnya di sebuah buku kecil.
Sena sudah terbiasa melakukannya. Jadi ia tak terlihat gugup atau memikirkan hal lain selain tugasnya. Begitu profesional. Tapi Dexa yang tak mampu menahan malu. Bahkan beberapa kali Sena memukul tangan Dexa yang berusaha bergerak menutupi bagian tertentu.
Bukan hanya diteliti dengan detail, Sena mulai meletakkan gas Sarin yang masih ada di dalam labu erlenmeyer. Kemudian gadis itu sibuk mengobrak-abrik sesuatu. Dexa tak tahu menahu apa yang akan dilakukan Sena sekarang. Tapi yang pasti, ada sebuah suntikan dengan berisi cairan bening.
Gugup jika itu adalah suntuk mati, Dexa terus mengatakan jika isi surat itu adalah surat untuk penagih hutang bahwa dirinya akan melunasi hutang-hutang itu dengan hasilnya bergabung di organisasi Blackhole. Intinya, Dexa terpaksa menerima tawaran menjadi anggota dengan alasan uang. Bukan alasan pribadi. Bukan alasan ingin ikut menjadi keji sebagai pembunuh. Akan tetapi, alasan lain, Dexa juga masih ingin menyambung hidup. Ia harus menemukan seseorang dan ingin menghabisinya dengan tangannya sendiri.
Semua ocehan Dexa tak direspon oleh Sena. Gadis itu menatapnya datar dan menyiratkan perintah untuk tetap diam. Jika sekali melawan, gas Sarin akan bertindak dan mencekam paru-paru Dexa hingga ajal menjemput.
Tak ragu-ragu, Sena langsung menyuntikkan cairan itu di d**a Dexa. Erangan Dexa yang kesakitan pun terdengar melengking. Wajar saja, Sena menyuntikkan sebuah cairan yang akan membuat Dexa mampu mengontrol kekuatannya. Dengan cairan itu pula, Dexa akan merasakan sensasi luar biasa menyakitkan yang meremas jantung hingga menyesakkan d**a. Akan tetapi, itu wujud dari antibody untuk Dexa yang membuat Dexa akan bertahan lama saat merasuki tubuh seseorang dengan kekuatannya. Jika Dexa awalnya hanya mampu merasuki kurang lebih dua menit. Maka dengan cairan itu, Dexa akan mampu mengontrol kekuatannya hingga empat atau lima menit.
Ingatan itu membuat Dexa merinding. Ia menyentuh dadanya dan cukup sekali ia merasakan sensasi menyakitkan itu lagi. Sena, ia akan mencatat nama gadis itu dalam ingatan. Satu-satunya gadis yang menelanjanginya tanpa rasa ragu sedikitpun. Memalukan.
"Ternyata kau memang pemalas."
Mendengar sindiran itu membuat Dexa mendelik kesal.
"Kenapa aku bisa sampai di sini?" Dexa terheran memang. Sebab, ia sempat tak sadarkan diri dan tiba-tiba sampai di kontrakan kumuhnya lagi.
"Aku mengembalikanmu ke kontrakan. Apa salahnya?"
"Salahnya, kau tidak memberiku tahu di mana letak markas kita."
"Ssst," desis Levo. Ia mendekatkan dirinya pada Dexa. "Jangan sebut kata atau nama kita di tempat umum atau di luar tempat kita. Paham?"
Dexa paham. Ia tak boleh menyebut nama Blackhole atau hanya sekadar kata 'markas' di luar Markas Blackhole. Sudah pasti karena mereka harus merahasiakan tentang jati diri mereka dari masyarakat. Jika ketahuan, sudah pasti eksekusi publik akan menimpa mereka.
"Lalu, kau tetap tak mau aku mengetahui keberadaan tempat kita?"
Levo tersenyum penuh arti. "Kau sangat ingin tau?"
"Tentu."
"Tanya saja pada Nezi. Akan rumit bila aku yang menjelaskannya."
Dexa mendengkus. "Aku malas berurusan dengan wajah datar menyeramkan itu."
Levo terbahak. "Jangan katakan itu pada Nezi. Dia akan menghajarmu habis-habisan."
"Aku akan mengambil alih tubuhnya lalu menenggelamkan diri."
"Kau tak bisa." Senyuman Levo menyurut.
"Apa maksudmu?"
Levo yang awalnya berdiri di sisi ranjang Dexa akhirnya mendaratkan pantatnya di sebelah Dexa. "Kau tak bisa merasuki salah satu anggota Blackhole. Cairan yang dimasukkan ke dalam jantungmu adalah gabungan serum dengan cairan tertentu. Setiap sel dari serum kami, menyatu dengan selmu. Hingga kita, takkan bisa menyakiti satu sama lain. Karena kita ... telah menjadi satu kesatuan."
***
"Dia terlalu bertele-tele."
"Bagaimana tubuhnya? Apa seindah milikku, Sen?" Zack menaik-turunkan alisnya menatap Sena yang masih sibuk meracik sesuatu. Gadis itu selalu suka bereksperimen. Cairan serum yang disuntikkan ke jantung Dexa dan semua anggota Blackhole adalah racikannya yang berhasil. Beberapa cairan lain juga berhasil ia buat. Seperti cairan yang mampu menstimulasi otak agar tetap berkata sesuai kenyataan. Cairan yang mampu membuat orang kehilangan kemampuan untuk berbohong.
"Dia lebih baik darimu."
Sontak Mea terbahak mendengar jawaban Sena. Sedangkan Zack mendengkus kesal. Nezi? Tetap di wajah datarnya. Ia cukup bersyukur bukan Mea yang melakukan tugas brutal itu.
"Tapi kau memang ada benarnya, Sen. Dia memang terlalu bertele-tele. Aku takut, dia hanya akan jadi beban." Nezi menyetujui ucapan Mea. Intinya, apapun yang dikatakan Mea, Nezi akan selalu setuju. Jika itu tidak membuat Mea dalam bahaya.
Sena melepas perhatiannya dari cairan yang sedang ia racik. Meletakkannya di lemari asam kemudian memutar kursi putarnya menatap Mea.
"Kurasa dia punya potensi yang bisa diandalkan. Benar kata Levo, dia akan berguna suatu saat nanti." Seperti biasa, Sena tampak sangat bijak dalam waktu tertentu. Meski biasanya ia yang paling tampak gila karena frustasi eksperimennya gagal.
"Kita lihat saja. Atau ... Zack, kau bisa mengujinya?" Mea memberi saran.
"Wah, wah, kalian ingin menguji anak baru kita?" Seperti biasa, Levo selalu datang tanpa aba-aba. Kini ia datang dan langsung merangkul pundak Mea.
"Lev, kita harus mengujinya kan?" Mea bersikeras meminta Levo menguji Dexa sebagai anggota baru. Namun, Levo menggeleng dan menolak dengan tegas.
"Jangan membuang waktu, Mea. Kau akan tahu potensi Dexa di misi kita kali ini."
Mea, Sena, dan Zack menatap Levo penuh tanya. Misi apa yang akan mereka lakukan kali ini. Sebab, banyak kriminalitas yang terjadi. Tapi mereka hanya mengutamakan kriminal yang merugikan banyak masyarakat.
"Nezi, kau bisa ikut denganku sebentar? Setelah itu, aku akan menjelaskan misi baru kita." Senyuman Levo selalu tampak misterius. Selalu berhasil membuat anggota Blackhole dirundung rasa penasaran.
Nezi hanya mengangguk pelan. "Singkirkan dulu tanganmu dari Mea."
"Wow, oke." Levo langsung mengangkat tangannya dari Mea. Kecemburuan Nezi membuat Levo gemas sendiri dan selalu ingin menjahilinya.
Mea hanya terkekeh dan menggeleng pelan. Sikap Nezi yang cuek sekaligus begitu dingin itu terkadang lucu. Zack dan Sena sampai hapal. Tapi Nezi tak pernah lebih dari sekadar cemburu diam. Sebab, Nezi tau bahwa Levo tak ada perasaan apapun pada gadis favoritnya—Mea Selena.
"Kita mau ke mana?"
Pertanyaan Nezi hanya berbuah senyuman dari Levo. Sekejap kemudian, Levo membawanya menyusuri lorong waktu tak kasat mata dan sampailah di sebuah bangunan kecil dan kumuh.
Nezi mengedarkan pandangan. Ia seperti berada di sebuah rumah kecil. Tak bersekat banyak dan hanya berlantai sesuatu yang tak bisa disebut dengan keramik. Tapi juga tak bisa disebut hanya tanah. Membingungkan.
Ia mengekori Levo ke sebuah ruangan. Seperti ruangan kamar. Di sana, ia melihat seseorang sedang asyik merebahkan diri sembari menatap langit-langit kamar yang penuh dengan sarang laba-laba. Sungguh terlihat seperti pemalas yang sejati.
"Hai, Dexa. Aku membawakan Nezi untukmu."
***