"Ketenangan."
Tatapan mata Nezi tertuju pada salah satu lukisan. Dexa mengikuti arah pandang Nezi pada sebuah lukisan yang dominan dengan warna biru. Hampir menjadi lukisan abstrak. Namun, Dexa masih mengerti jika lukisan itu menggambarkan alam dengan pemandangan lika-liku gunung, hamparan laut, makhluk hidup, dan terik mentari yang tak terlalu terang.
Jiwanya terpanggil. Ia seolah masuk ke alam yang asri nan sejuk. Tenang. Damai. Lukisan Nezi berhasil membuat kekacauan pikiran dan hatinya menjadi lebih tenang. Nezi berhasil sebagai pelukis. Jiwanya menyatu dan mampu membuat penikmat seni terbawa suasana.
"Kau hebat."
Mendengar pujian itu, Nezi hanya diam. Ia kembali sibuk dengan bacaan yang ada di tangannya. Seolah tak peduli dengan pujian yang baru saja terlontar.
"Kalau yang ini, apa maknanya?"
Jika lukisan yang bermakna ketenangan itu penuh dengan nuansa sejuk dan indah, lukisan yang ada di sebelahnya dominan dengan warna oranye dan kemerahan.
Nezi tak menjawab pertanyaan Dexa lagi. Sosok itu sibuk membaca buku. Entah tak mendengar atau memang sengaja diam. Dexa tak tau. Tapi Dexa yang penasaran dan ingin mengetahui, mendesakkan pertanyaan yang sama lagi.
"Nezi? Apa makna lukisan ini?"
Merasa terganggu, Nezi pun melirik Dexa. "Kenapa kau sangat ingin tau?"
"Emh, karena aku penasaran."
"Hanya itu?"
Dexa menggaruk tengkuknya. "Memangnya apa lagi?"
"Apa yang kau rasakan?" tanya Nezi berharap lebih atas jawaban Dexa.
Dexa terdiam sesaat. Sedangkan Sena yang duduk di kursi kerjanya menatap keduanya saling bergantian. Seolah sedang menonton pertunjukan debat yang memanas.
"Apa yang kau rasakan saat melihat lukisan itu?" tanya Nezi lagi. Seolah sangat ingin Drxa memahaminya.
Alhasil, Dexa kembali menatap Nezi dengan heran. Ia beralih menatap dan menulusuri pesan tersirat dari lukisan Nezi yang sepertinya bermakna sangat berbeda dengan lukisan satunya.
Ia tak merasakan apapun. Hanya saja, ada hal ganjal di lukisan itu. Seperti melukiskan kebakaran karena warna merah seperti ayam jago yang melahap kedamaian.
"Kau tak mengerti?" Nezi menutup buku kemudian bangkit. Ia berjalan mendekati Dexa yang masih ada di depan lukisan yang baru aja ia tanyakan.
Dexa menggeleng. "Tidak."
"Aku tau kau mengerti apa maksud lukisan ini. Tapi kau ragu. Iya, kan?" Sena menyambar. Seolah tau apa yang dipikirkan oleh Dexa.
Dexa terdiam. Memang benar adanya. Tapi ia takut jika salah menafsirkan dan membuat Nezi tersinggung. Lebih baik biar sang pemilik lukisan yang menjelaskan.
Nezi sampai di sisi Dexa. Ia berdiri dengan melipat kedua tangannya di d**a. Netra itu tertuju lurus.
"Makna dari lukisan ini adalah kebalikan dari lukisan tadi."
Ternyata benar, apa yang dirasakan Dexa. Kehancuran, kemalangan, dan kepedihan. Seolah Nezi melukiskan rasa patah semangat hidup hingga dapat dirasakan oleh mata yang menikmati. Sontak Dexa langsung mengalihkan perhatiannya pada Nezi. Sosok itu tercenung melihat lukisannya sendiri.
"Apa yang kau rasakan saat melukis ini?"
Nezi menarik sebuah senyuman simpul. Tanpa menatap Dexa, Nezi menjawab, "Keputusasaan."
***
"Blackhole?"
Keempat pria bermassa tubuh besar itu dibuat berpikir. Setidaknya mereka menganalisis ucapan Mea dan menghubungkannya dengan realita.
Blackhole, organisasi gelap yang sedang menggemparkan masyarakat. Pembunuh berdarah dingin yang tak ada siapapun tau akan identitas mereka. Tapi kini, ada seorang gadis cantik dan seksi datang mengecam menggunakan nama organisasi itu. Sedikit agak meragukan. Hanya saja, kemampuan unik Mea membuat salah seorang di antaranya seperti percaya.
"Habisi dia." Perintah salah seorang pria.
Mea rasa, pria itu pimpinan komplotan lintah darat. Melihat tiga preman penagih hutan itu maju untuk menerkamnya, Mea menghilang.
Kemampuan uniknya memang mampu menyelamatkannya. Sebab, bukan hanya menghilang dan tak kasat mata, Mea juga tak bisa disentuh ketika sedang menghilang. Meski kemampuannya tak begitu tahan lama saat menghilang, setidaknya setiap dua menit, Mea bisa menghilangkan diri.
Saat Mea menghilang, Mea muncul di dalam ruangan dan mengundang mereka untuk masuk. Meski yang masuk hanya ketiga preman suruhan salah seorang pria di antara mereka, Mea tetap menjalankan rencananya.
Mea tersenyum miring melihat ketiga preman yang sudah menghadangnya. Ia memberitahu bahwa di tangannya sudah ada sebuah bola kecil seperti bom. Ketiga pria itu sempat tak paham. Hingga akhirnya Mea menghilang dan pintu tiba-tiba tertutup rapat.
Alhasil, hanya tinggal satu orang di luar ruangan. Tak mampu pergi, karena Levo sudah berhasil menangkapnya.
"Kerja bagus, Mea."
"Mau kita apakan dia?" tanya Mea sembari menatap tajam seorang pria yang sok-sokan menjadi bos ketiga preman tadi.
"Biasa. Kita ajak dia berdiskusi." Levo mengangkat alisnya sekilas dengan senyuman penuh arti.
"Hei, kau! Kau apakah tiga orangku!" Pertanyaan itu hanya ditertawakan oleh Mea.
"Santai saja. Polisi akan segera menemukan jasad mereka."
Sontak kedua mata pria itu membulat total. "Kaliann..."
"Lev, kita pergi sekarang."
Levo setuju. Pada akhirnya, Levo mengajak pria itu dan Mea menyusuri lorong waktu hingga sampai di sebuah tempat. Lebih tepatnya di tengah hutan yang dekat dengan sebuah pantai sepi pengunjung.
"Kau bisa menikmati pemandangan indah untuk terakhir kali." Levo melepas genggaman pada pria itu. Membiarkannya lari menjauh. Namun, tetap saja hal itu sia-sia. Karena Levo akan dengan mudah menangkapnya kembali seperti sekarang.
Pria itu memberontak. Ia tak mau mati. Namun, semua pertanyaan Levo juga tak ada yang ia beri jawaban. Menyebalkan memang. Dasar lintan darat tak tau diri. Begitulah yang Mea pikirkan.
Terkadang para pesuruh atau algojo seperti mereka itu terlalu setia dengan bos mereka. Mereka salah meletakkan kesetiaan mereka. Karena mereka hanya akan membuat diri mereka dalam bahaya jika tetap berpihak pada yang salah.
"Katakan padaku, siapa yang membayarmu melakukan hal ini? Menjadi lintah darat itu menjijikkan. Kau seharusnya sadar itu. Meminum darah saudaramu sendiri, emh ... sepertinya kau lebih menjijikkan dari binatang paling menjijikkan." Mulut pedas Mea tak tanggung-tanggung melontarkan kalimat itu.
Sedangkan Levo hanya diam menatap sosok pria yang masih teguh merahasiakan bosnya. Ia yakin, ada tangan besar yang menangkup mereka. Hingga mereka begitu kolot.
"Kau salah karena sudah setia pada mereka." Setelah mengucapkan kalimat itu, Levo mendorongnya masuk ke sebuah lubang yang cukup dalam dengan kedalaman lima meter dari permukaan.
"Toloooong!"
Levo tersenyum simpul. "Saat kau berada di ujung kematian, kau masih bisa meminta tolong. Tapi saat kau membuat seseorang berada di ujung keputusasaan karena lilitan hutang, kau tertawa melihat mereka mati."
Levo dan Mea pun menghilang. Namun, dalam sekejap, ketiga teman pria itu terlempar ke dalam lubang juga.
"Selamat tinggal. Semoga kau dan kawan-kawanmu berkumpul di neraka."
Pada akhirnya, Levo dan Mea menutup lubang itu dengan kain hitam. Lintah darat seperti mereka, berakhir di perut bumi yang bahkan jijik untuk menelan mereka.
"Kami tunggu kau di Neraka, Blackhole!"
Sebelum gas Sarin menyiksa mereka, sederet kalimat terngiang mengerikan. Mereka tak salah, karena pembunuhan tetaplah pembunuhan. Meski pembunuh ketidakadilan sekalipun.
***
"Ingat ya." Zack mengerlingkan sebelah matanya. Tanda bahwa ada ancaman yang terlontar.
Fany hanya mengangguk. Gadis itu tampak tertekan dan takut namun sebisa mungkin dibuat biasa. Sebab, Zack adalah orang yang telah membantunya merintis usaha. Ia yakin, jika Zack takkan tega menghancurkan usahanya. Tapi, sebisa mungkin ia juga ingin membantu Zack.
Zack hanya meminta bantuan Fany untuk mengorek informasi tentang Andrew dari pengawal setia Andrew yang merupakan kekasih Fany. Jika Fany tak mau menjalankan apa yang diinginkan Zack, Zack memang mengancam akan membakar kafe kecil milik Fany. Zack memang hanya sekadar menggertak meski Zack juga akan selalu mengawasi Fany.
Setelah mendapatkan pesanannya, Zack langsung kembali ke markas. Ia memang sengaja mengambil alih untuk membeli makanan. Sebab, saat pulang kuliah tadi, Zack melihat salah satu pengawal setia Andrew ada di kedai kafe milik Fany. Fany tampak akrab dengan sosok itu. Jadi, Zack memastikan jika Fany bisa menjadi alatnya untuk mengorek informasi tentang Andrew. Meski Fany tau akan kemampuan spesialnya, tapi Fany belum tahu jika dirinya adalah salah satu anggota organisasi gelap pembunuh bertangan dingin.
"Hm, seharusnya kau memilihku, Fan. Tapi kau lebih memilih algojo itu. Ya, tak apa. Itu juga berguna buatku."
Zack bermonolog sepanjang jalan. Tak peduli ada orang yang mendengarnya atau tidak. Ia hanya bahagia di saat hatinya patah mengetahui jika Fany sudah memiliki kekasih. Padahal ia sudah berharap sejak dulu. Tapi tak apa, Zack juga mendapatkan keuntungan dadi Fany sekarang.
Langkahnya terangkat ringan menuju ke pintu masuk markas. Tak ada yang mencurigainya selama ini. Sampai pada akhirnya, Zack sampai di markas Blackhole dan melihat Dexa dengan Nezi akrab berbincang. Sena sibuk dengan rasa lapar sambil berbaring di sofa. Sedangkan Levo dan Mea belum kelihatan.
"Makanaannn!" Sena langsung bangkit dan menyerbu Zack. Makanan yang Zack bawa tak pernah irit. Zack tau jika makanan adalah energi utama untuk Sena. Bahkan untuk para anggota Blackhole. Meski mereka rakus akan membunuh ketidakadilan di negeri ini, tapi mereka juga tak kalah rakus dalam menghabiskan makanan.
"Kalian sepertinya sudah akrab. Itu berarti, kau siap untuk dijadikan tumbal?" goda Zack pada Dexa.
Dexa mendelik. Tak menjawab godaan Zack. Ia fokus melihat ayam goreng yang menggoda. Perutnya sudah tak mampu lagi dikendalikan.
Nezi menyenggol. "Makanlah. Jangan sungkan." Entah sejak kapan, Nezi menjadi ramah.
Sedangkan Sena sudah melahap dua potong ayam sekaligus. Tak heran, karena Sena yang tubuhnya paling kecil tapi makannya paling banyak. Zack duduk di sofa. Melihat Sena makan sudah membuatnya kenyang. Tapi ia juga harus mencicipi. Jika tidak, ayam goreng akan habis terlahap oleh Sena.
"Makanlah. Sebelum aku memakanmu dengan apiku." Cara Zack menawarkan makanan untuk Dexa terdengar jahat. Tapi Dexa mengabaikan itu. Ia sudah mulai terbiasa dengan kepribadian masing-masing dari anggota Blackhole.
Zack dengan sikap menyebalkan. Karena dirinya seorang pyrokinesis, semangatnya juga sangat berapi-api. Inti tubuhnya seolah terbuat dari kerak api yang sangat membara. Tak mudah padam, emosinya labil, dan terlalu bersemangat hingga kadang lelas kendali. Meski begitu, Zack juga penuh dengan kehangatan untuk para anggota Blackhole.
"Nezi, apa kau bisa memantau seseorang untukku?"
Nezi yang sibuk merapikan buku di rak pun menoleh pada Zack. "Siapa?"
"Fany."
"Itu gadis yang menolak perasaanmu lima belas kali kan?"
Zack merengut. "Jangan kau katakan dengan sejelas-jelasnya juga dong, Nezi!"
Sena terbahak. "Tapi Nezi benar. Kau tak tau malu, Zack!"
"Jangan makan ayamku lagi." Zack menarik sepaket ayam goreng yang disantap oleh Sena.
Gadis itu merengek. "Aaahhh, jangan, Zack. Aku masih lapar."
Zack pun memberikan kembali sepaket ayam goreng itu lagi pada Sena. Setelah itu kembali menatap Nezi.
"Nezi," panggil Zack penuh harap.
Sedangkan Dexa hanya melahap sepotong ayam bagian paha bawah sembari menatap ketiga orang yang asyik membahas tentang Fany.
Sebenarnya Dexa mengenal siapa Fany yang dimaksud. Pasti seorang gadis kedai yang cantik dan penuh aura positif.
"Apa yang kalian maksud itu Fany si kedai?" Sambil mengunyah makanan, Dexa memastikan tebakannya.
Zack, Nezi, dan Sena langsung menatapnya secara bersamaan.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" Dexa bingung mengartikan tatapan ketiga orang itu.
"Hello!"
Pada akhirnya, semua perhatian langsung tertuju pada Levo dan Mea yang baru saja datang.
"Dari mana kalian?" tanya Zack.
"Biasa."
Zack membulatkan matanya lebar. "Siapa?"
"Lintah darat yang mengganggu Dexa."
Dexa kembali menatap Levo dan Mea bergantian. "Maksud kalian para penagih hutang itu?"
"Tentu." Mea berjalan ke sofa dan menyambar sepotong ayam. "Tenang saja. Hutangmu lunas dunia dan akhirat."
Dexa menelan ludahnya susah. "Kupikir kalian hanya membunuh para tikus berdasi yang merugikan masyarakat banyak."
"Kau pikir lintah darat itu tidak merugikan banyak masyarakat?" Levo duduk di kursi kebesarannya.
Dexa hanya diam.
"Banyak anggota keluarga menderita. Ibunya meninggal karena bunuh diri tak mampu bayar hutang. Kepala keluarga meninggal kelelahan karena bekerja terlalu keras untuk membayar hutang yang tak kunjung lunas. Anak menderita karena tak mendapatkan hak seorang anak untuk mendapat hidup layak tanpa hutang. Bukan hanya satu atau dua orang. Bukan hanya kau yang merupakan korban para lintah darat itu. Tapi banyak. Hampir ada seratus tiga kepala keluarga. Kau pikir itu kejahatan biasa?"
Levo benar. Dexa yang tak tahu apa-apa.
"Sekarang lintah darat itu pergi. Untuk selamanya. Para kepala keluarga yang masih terikat hutang, bebas dari jeratan lintah darat itu. Kau tau apa yang mereka rasakan saat tau lintah darat itu tiada? Bukan kepedihan. Tapi sorak sorai kegembiraan."
Dexa terdiam sesaat. Akhirnya ia tau, orang-orang ini—Blackhole bukan orang-orang tak berhati nurani. Mereka adalah orang berhati lembut yang tak tega melihat penderitaan masyarakat kecil yang hidup di atas ketidakadilan.
Pikirannya kembali ricuh. Setelah ia tau apa yang sedang dicari oleh para anggota Blackhole, Dexa menjadi berubah pikiran kembali. Meski ia masih harus memahami tujuan mereka secara pribadi. Lambat laun, Dexa pasti bisa mengetahuinya. Sekarang yang perlu Dexa lakukan hanya percaya. Bahwa Levo dan para anggota Blackhole tetaplah manusia yang berperikemanusiaan.
"Apa yang kau pikirkan, Dex?" Levo tau sesuatu. Mungkin Dexa terlalu mencolok setiap kali memikirkan sesuatu.
Dexa langsung menghabiskan ayam yang masih ada di genggaman. Kemudian ia mengambil satu cup minuman dan menghabiskannya.
Setelah itu, dengan lantang Dexa berdiri.
"Levo, aku mau mencari informasi tentang Andrew."
***