8

2052 Words
Selepas pulang dari kontrakan Dexa, Levo langsung kembali ke apartemen. Ia bergegas tidur untuk melupakan penat hari ini. Sebuah pujian singkat ia lantunkan untuk dirinya. Sebab, ia berhasil membebaskan beberapa rakyat kecil dari jeratan lintah darat. Setidaknya, mereka bisa hidup tanpa tekanan. Hutang memang wajib di bayar. Namun, bunga dari hutang yang tak masuk akal akan membunuh secara perlahan. Levo merebahkan diri ke ranjang. Ia menatap langit kamar sembari berusaha tak teringat dengan masa lalu. Akan tetapi, semua ingatan itu masih ada. Ingatan yang begitu menyakitkan. Tak jatuh ke ingatan kelam itu, Levo terjatuh ke alam mimpi. Menikmati otak yang bekerja santai, seluruh anggota tubuh yang rileks, dan sel-sel yang mengalir damai. Tak ada yang lebih indah dari mimpi bertemu dengan keluarga lengkap. Ayah, ibu, dan dirinya. Bagi Levo, mimpi bertemu mereka seperti petaka. Ia akan larut kembali dalam kesedihan. Seperti sekarang, Levo terbangun tepat di tengah malam. Napasnya terburu. Keringat dingin bercucuran meski AC ruangan sudah dinyalakan dengan suhu paling rendah. Sosok itu terduduk sambil memegangi dadanya. "Aman. Masih aman." Levo meraba semua tubuhnya. Seolah ia takut jika tubuhnya ada yang terluka. Levo pun bangkit dari ranjang. Ia menoleh ke gelas yang ada di meja lampu tidur. Kosong. Ia berniat mengambil air di kulkas. Untuk sekadar merilekskan pikiran. Apa yang menjadi mimpi indah bagi orang lain, menjadi mimpi buruk untuknya. Glup~ "Ah!" Levo sudah merasa lega setelah meneguk segelas air putih dingin. Ia pun duduk di kursi meja makan dengan pencahayaan yang kurang. Sekilas bayangan masa lalu kembali hadir. Ia menepisnya. Mengalihkan konsentrasi ke hal lain. Terutama di hal misi. Besok Nezi dan Dexa akan langsung meluncur. Mencari informasi tentang Andrew. Karena keberadaan sosok itu yang tak bisa diprediksi dengan cepat, pasti misi akan berjalan sedikit lama. Tapi dengan menerjunkan Mea ke dalam misi, kemungkinan akan mempersingkat waktu. Sedangkan dirinya juga tak tinggal diam, ia akan mengunjungi satu persatu anak buahnya yang tersebar di pelosok negeri. Pasti mereka mendapatkan info tentang Andrew. Meski hanya secuil, pasti mereka ada yang tau. "Lebih baik aku kembali tidur." Levo pun kembali bergegas ke kamar. Ia berusaha untuk tenang agar mimpi buruk tak hadir kembali. Pada akhirnya, ia terlelap. Waktu terus berjalan. Dan titik pagi kembali hadir. Mentari muncul di ufuk timur. Bersamaan dengan embun-embun yang menyejukkan, mentari membawa kehangatan. Levo membuka jendelanya. Setidaknya ia bisa tidur nyenyak setelah terbangun karena mimpi buruk. Levo bangkit dari ranjang. Ia menuju ke kamar mandi untuk bergegas membereskan diri. Menyegarkan diri di saat semua selnya terlelap sementara. Sebenarnya ia malas mandi pagi karena tubuhnya yang sedikit sensitif dengan dingin. Tapi ia harus mandi. Hanya lima menit, Levo selesai membasuh tubuhnya. Hanya berlilit handuk di bagian pusar ke bawah dan di atas lutut. Levo membiarkan perut sixpack dan d**a bidangnya terekspos indah. Tak ada yang melihat. Hanya dirinya seorang. Setelan kemeja dan jas rapi dengan dasi berwarna biru dongker itu siap terpakai di tubuhnya. Ia akan bekerja seperti biasa. Meski perusahaan yang ia jadikan lapangan kerja itu adalah miliknya. Tapi ia memilih menjadi karyawan biasa. Sebab, hal itu akan membebaskannya pergi ke manapun tanpa memikirkan pertemuan relasi atau meeting yang membosankan. Seisi perusahaan memang sudah tau jika Levo sebenarnya adalah pimpinan mereka. Jadi, mereka tak peduli dan tak berani menegur Levo jika Levo sering datang dan pergi begitu saja. Kalau bukan Levo yang menjadi atasan di perusahaannya sendiri, lalu siapa yang memegang? Jawabannya adalah Levo sendiri. Tapi semua tugas sebagai pemimpin Levo berikan ke salah seorang kepercayaannya. Kakak laki-laki dari Sena. Orang yang jenius, cerdas, tanggap, dan bertanggung jawab. Levo sebagai atas nama pemimpin, tapi yang menjalankan tugas Levo adalah Zegav. Dengan perjanjian kontrak, semua berjalan mulus. Senyuman di bibir Levo tertarik sempurna. Ia sudah siap berangkat ke kantor. Akan tetapi, sebelum berangkat ke kantor, ada satu tempat yang ingin ia kunjungi. *** "Hei, Nezi. Bangun." Tampang dingin, tak pernah berekspresi, dan datar itu sangat berbeda ketika Nezi terlelap. Dexa sudah siap dengan pakaian bersihnya. Tapi Nezi masih tidur dengan wajah imut dan menggemaskan. Baru kali ini Dexa melihat ada lelaki dewasa yang tidur sambil tersenyum dan sesekali menyesap ibu jari seperti anak bayi. Nezi benar-benar berbanding terbalik saat tidur dan beraktifitas. Dexa pikir, Nezi bertampang datar dan bermulut pedas karena masa lalu yang menekan. "Hoiii, Nezi!" Beberapa kali Dexa menggoyangkan tubuh Nezi, tapi sosok itu masih asyik terlelap. Sepertinya akan membutuhkan waktu lama. Dexa pun terpaksa menggunakan cara nakal. Ia mencabut bulu kaki Nezi dan ... "Awh!" Berhasil. Dexa menahan tawanya. Wajah Nezi memerah. Ia ingin marah tapi gagal saat kebingungan karena dirinya tak ada di markas. Melainkan ada di ruangan sempit bernama kamar tidur milik Dexa. "Kau menculikku?" Nezi menuduh. Sedangkan Dexa menghela napas pelan. "Tak ada gunanya aku menculikmu. Apalagi membiarkanmu tidur nyenyak di kasur peyot ini sedangkan aku tidur di lantai keras dan dingin di luar." Nezi terdiam. Ia tau pasti semua ini ulah pimpinan organisasi gelap mereka. Levodesta. "Levo." Dexa mengangguk. "Kupikir kau sudah tau. Ternyata kau diculik." "Dia tidak mengatakan apapun padaku." Dexa tertawa. "Tapi tidurmu sangat, menggemaskan." "Lupakan saja." Nezi bangkit dari ranjang dan langsung bangkit. "Mana kamar mandinya?" "Hoho, Nezi si imut mau mandi?" "Diam kau." "Hoho, Baby Nezi mandi sendiri atau mau kumandikan? Eum?" Dexa menaik-turunkan alisnya. Menyebalkan memang. Nezi hanya menatap datar. "Tidak lucu, Dex." Dexa terkekeh. "Kamar mandinya ada di sebelah dapur. Kau butuh handuk?" "Handuk bersih, kan?" "Handukku. Kan aku tinggal sendiri." "Tapi tidak mungkin kau hanya punya satu handuk, Bodoh." "Nyatanya aku hanya punya satu handuk, Bodoh." Nezi mendelik. "Kalau begitu, tidak usah." "Apa aku semenjijikkan itu, hah?" "Iya." Dexa mendengkus. "Kurang ajar." Setelah beberapa saat, Dexa yang duduk lesehan di ruang tamu sambil melamun itu mengakhiri masa menunggunya. Ternyata bukan hanya lima atau sepuluh menit Nezi membersihkan diri. Tapi sudah lebih dari tiga puluh menit, Nezi baru keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sama. "Kau tidak mengganti bajumu?" Dexa terheran. Karena mereka akan bergegas mencari informasi di kota. Jika Nezi dengan label buronan keluar tanpa penyamaran, pasti akan langsung dikejar keamanan. "Lalu apa yang harus kulakukan?" "Gantilah dengan baju ini." Dexa terkejut dengan kehadiran Levo yang secara tiba-tiba. Sedangkan Nezi yang sudah terbiasa hanya terdiam. Ia melihat Levo membawa sebuah tas yang entah berisi apa. "Apa itu?" tanya Nezi heran. Levo menyodorkan tasnya pada Nezi. Kemudian Nezi membuka dan menemukan jaket kulit abu-abu dengan topi. Di bawah sendiri ada kumis palsu dan softlens. "Untukku?" Nezi menunjuk hidungnya. "Tentu. Bukankah hari ini kau dan Dexa akan pergi keluar? Kota ramai di hari kerja seperti sekarang. Jadi, lebih baik kau menyamar." Nezi mengangguk paham. Ia pun bergegas memakai jaket kulit itu dan memakai kumis palsu serta softlens. Mengapa harus pakai softlens? Karena Nezi adalah buronan dengan ciri khas marah hitam legam yang sangat jarang ditemui di negeri itu. Mereka rerata berwarna mata biru kehijauan. Seperti manik mata Dexa. Selama Nezi memakai softlens yang cukup menyulitkannya, Levo memberi arahan untuk Dexa. "Tugasmu sangat mudah, Dex. Kau cukup kumpulkan informasi apapun yang berkaitan dengan Andrew." "Di mana aku bisa menemukan informasi itu? Apa aku harus mencari Andrew berada?" "Jangan bahayakan dirimu. Kau bisa pergi ke perpustakaan atau ke catatan kependudukan. Cari semua informasi tentang dia. Mulai dari dasar. Keluarga hingga anak istrinya." Dexa mengangguk paham. "Oke. Ada gunanya juga aku bersama Nezi. Karena aku bisa mengetahui letak tempat-tempat itu. Kau tau sendiri, aku sangat buta arah." Levo terkekeh. Bahkan Nazi juga hampir terbahak mendengarnya. "Tapi untung saja kau tak lupa dengan kontrakanmu. Kau akan jadi gelandangan yang menyusahkan." Dexa berdecak. "Kau berlebihan." Levi terkekeh. Sedangkan Nezi mendesah pelan karena selalu gagal memasang softlens. "Kau harus mengambil Mea. Biar Mea bisa memasangkan softlens untuk Nezi." Ide Dexa membuat Nezi langsung memerah. Bukan karena marah, tapi karena malu. "Ja—jangan!" "Kenapa?" Dexa terheran. Sedangkan Levo yang mengetahui perasaan Nezi hanya menahan tawa. "Memalukan kau tau!" "Tapi ini demi keberhasilan misi." Nezi mendengkus. "Terserah." "Baiklah. Tunggu sebentar." Levo tersenyum dan menjentikkan jemarinya. Terbukalah lorong waktu dan dalam sekejap Levo menghilang. *** Baru saja Mea selesai mencuci piring, ia sudah disenggol oleh seseorang. Ia menoleh dan tak kaget dengan siapa yang baru saja datang dengan tiba-tiba. "Kau lagi. Ada apa? Pagi-pagi sudah menggangguku." Bukan Mea namanya jika tak cuek dan jutek. Mea melepas celemek yang menjaga bajunya dari cipratan air cucian. Kemudian ia berjalan menuju meja untuk mengelap tangannya yang masih basah. Setelah itu kembali menatap Levo dengan datar. "Ada apa lagi?" Levo terkekeh. "Kau tau saja jika aku butuh bantuanmu." "Tentu saja. Kau datang padaku jika butuh. Tapi kau membuangku saat menemukan Dexa. Itu menyebalkan, Lev." "Tapi aku membutuhkanmu untuk membantu Dexa. Apa kau menolak?" "Tentu saja. Tidak." Mea tak mampu menolak permintaan Levo jika hal itu tidak merugikan siapapun. Setelah mengatakan bahwa dirinya setuju, Levo langsung mengajaknya ke sebuah kontrakan kecil. Wajah Mea tampak sangat tak percaya jika Dexa bisa betah tidur di kontrakan sempit seperti itu selama belasan tahun. Mea menatap iba pada Dexa. Meski tak terlontar bentuk kalimat, tapi Dexa tau lewat pancaran mata Mea. "Tak usah khawatir, Mea. Aku akan segera pindah dari kontrakan kecil dan Sempit ini." Mea mengalihkan pandangannya ke Levo. "Kau sudah memberinya uang kan?" "Tentu saja. Hari ini dia akan pindah." Dexa melotot kaget. "Hari ini juga." "Ya, kenapa? Aku sudah membayar apartemen untukmu. Kita tetangga sekarang." Alis Levo naik turun menatap Dexa. "Kita semua lebih tepatnya. Kecuali Nezi." Mea menyela dan melihat Nezi kesulitan memasang softlens. Mea pun mengambil alih kotak softlens yang ada di tangan Nezi. Meski sempat bingung, tapi Nezi pasrah dengan apa yang dilakukan Mea. "Duduk." Mea menitah Nezi untuk duduk. Nezi pun duduk di kursi yang diambilkan oleh Dexa. Kemudian, Mea meminta Nezi untuk tetap membuka mata. Tak lama kemudian, satu demi satu softlens terpasang sempurna. Nezi mengubah penampilan matanya menjadi hijau kebiruan. Warna mata yang juga umum untuk para masyarakat di sana. Jika hitam legam, ia akan berada dalam bahaya. "Kau tampak berbeda." Mea terkekeh melihat Nezi memakai softlens itu. Kemudian, Mea juga memasang kumis palsu di wajah Nezi. "Sudahlah, aku tidak mengenalmu." "Heii," Nezi tak terima. Mea hanya tertawa. "Ah, Lev, aku heran. Mengapa tak sejak dulu kau membuat Nezi seperti ini agar Nezi bisa keluar dari markas?" Levo menatap Mea kemudian menatap Nezi. Seolah semua jawaban ada pada Nezi. Sedangkan Dexa menatap ketiganya bergantian. "Aku malu berpenampilan seperti ini. Jadi, lebih baik aku pergi ke tempat terpencik sebagai diriku." Mea membulatkan mulutnya. "Oh." Hanya itu jawabannya. Tapi memang benar, jika Mea jadi Nezi, ia juga tak kan mau berpura-pura menjadi orang lain untuk hidup bebas. "Lev, ayo antar aku kembali ke apartemen. Aku harus ke kampus." Levo mengangguk. Setelah beroamitan dengan Dexa dan Nezi tak lupa memberi mereka wanti-wanti untuk berhati-hati, Levo langsung membawa Mea kembali ke apartemen. "Kau sudah memberi arahan pada DexaDexa? Aku tak yakin dia bisa." Mea terlihat sangat meragukan Dexa. "Yakin saja. Dexa itu juga anak yang cerdas." Dengan santai, Levo menjawab dengan yakin. "Tapi kan—" "Kau tau mengapa hanya secuil yang memiliki kemampuan unik seperti kita?" Mea menggeleng. Ia tak sampai berpikir bahwa yang memiliki keunikan hanya secuil di antara ratusan milyar manusia di dunia. Ia juga tak pernah peduli dengan hal itu. "Karena mereka orang terpilih. Mereka diberi kepercayaan untuk mengubah dunia." "Tapi bagaimana jika ada tangan jahat yang juga termasuk orang terpilih?" "Seperti barang yang kau titipkan ke orang yang salah. Barang itu akan mudah rusak dan pecah. Begitupun dengan kemampuan unik ini." "Jadi, kau pikir cara kita menggunakan kemampuan ini untuk membunuh bukan salah tempat?" Mea menyunggingkan senyuman miring. "Kau harus tau makaud dengan barang dan tangan yang salah." "Maksudmu barang adalah keunikan kita kan? Tangan adalah yang memiliki keunikan ini." "Benar. Tapi kurang satu kata." "Apa?" "Salah. Yang kumaksud ini adalah orang yang berada di tempat salah. Bukan orang yang berbuat salah." "Aku masih tak mengerti." Levo mendaratkan pantatnya ke sofa. "Saat kau memiliki kekuatan unik ini, kau takkan luput dari perbuatan salah. Hanya saja, jika kau berada dalam niat dan tempat yang benar, kau tidak akan merugikan banyak orang. Nah, salah yang kumaksud adalah ketika kau berada di niat buruk dan tempat yang mendukungmu berbuat buruk lalu merugikan banyak orang." Mea membenarkan ucapan Levo. Ya, memang benar. Tapi hanya satu hal yang sangat ingin ia tau. "Lev, apa ada orang lain yang memiliki keunikan lagi?" Levo terdiam sesaat. "Aku sempat merasakan ada aura unik lagi. Tapi ... Aku masih tak yakin." "Di mana?" "Di eksekusi mati salah satu orang tua Dexa." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD