Nezi terdiam setelah mendengarkan cerita dari Levo tentang Moza. Sesuatu yang baru saja ia tau tentang Moza membuat hatinya terasa sakit. Ia merasa bersalah karena telah tak mengerti. Akan tetapi, semua telah berlalu. Itu juga hak Moza untuk menyembunyikan semuanya dari siapapun. Termasuk Nezi.
Sekilas ia teringat tentang sang mama. Keadaan mamanya sekarang telah mencerminkan bahwa dunia ini adil pada saatnya. Sekarang mamanya tengah berada di bawah hukum. Sosok itu sedang menderita karena hukuman pidana yang di dapatkan. Jika sang mama benar-benar melakukan, hukuman yang didapatkan berarti memang sebuah keadilan untuk sang mama begitupun untuk Moza. Akan tetapi, jika sang mama tak melakukan hal keji itu, bagi sang mama memang tindakan ketidakadilan. Tapi bagi Moza, hukuman sang mama tetaplah hukuman yang adil karena memenuhi hukuman atas kematian Moza.
Tak ada yang berani menyentuh atau mengajak Nezi bercakap sekarang. Pasti sosok itu tengah merasakan luka yang dalam. Nezi terdiam beberapa saat dan kemudian menghela napas berat.
"Jadi, Moza hanya memintamu untuk mencari Dexa?" tanya Nezi tiba-tiba. Matanya teralih pada Dexa yang duduk di sisinya.
"Ya, begitu. Sekarang Dexa sudah kutemukan dan juga sudah kupertemukan dengan Moza."
Mea mengernyit. "Lalu apa yang akan Dexa lakukan? Dia juga tak bisa kita andalkan sendirian."
Meski terdengar menyakitkan, tapi Dexa rasa Mea benar adanya. Dexa tak bisa bergerak sendiri. Lagipula, satu lidi akan mudah patah dibandingkan dengan seikat lidi. Intinya, bersama-sama jauh lebih kuat.
"Mungkin yang dimaksud Moza adalah kita harus melengkapi anggota kita. Dan pelengkap itu adalah Dexa."
"Ah, aku tau. Jangan-jangan Dexa ada untuk tumbal!" Zack dengan begitu mudah menyambar. Membuat Mea terbahak hingga memukul kepala Zack yang duduk di bahu sofa.
"Bodoh! Tapi benar juga."
Levo hanya terkekeh melihat ekspresi Dexa yang tercengang. "Haruskah aku jadi tumbal?"
"Astaga." Sena menahan tawa sembari menggeleng pelan melihat wajah polos Dexa yang ketakutan tapi juga terkejut bukan main.
"Kalau iya bagaimana?" tanya Mea yang semakin membuat Dexa gelagapan. Melihat kelakuan Dexa yang makin tampak takut, Mea tertawa dan langsung menoyot"Tentu saja tidak, Bodoh!"
Terdengar suara helaan napas lega dari Dexa. Ia takut jika pengelihatan Moza akan berdampak akhir buruk untuknya. Tapi Levo tak tahu apakah Moza melihat masa depannya atau tidak. Karena Moza sudah terlanjur direnggut dari dunia.
"Sudah, sudah, kalian jangan menganggu Dexa terus. Bagaimana kalau sekarang kita makan bersama?" tawar Levo meluluhkan suasana yang menegang.
Terkadang mereka suka makan bersama setelah melaksanakan misi. Menyelesaikan misi terutama. Sebab, hal itu Levo lakukan juga sebagai tanda perjuangan mereka karena berhasil melenyapkan satu dari ratusan ribu penyebab ketidakadilan. Bukan berarti mereka bangga karena telah membunuh seseorang. Tapi karena mereka lega telah berhasil maju membuat para orang terpuruk akan segera bangkit.
"Kita makan di mana?" tanya Sena. Sontak Mea dan Zack langsung angkat tangan.
"Aku saja yang mencarikan tempat!" Zack langsung menawarkan diri. Levo terkekeh mendengar itu.
Mea melengos. "Tidak! Aku saja! Pilihan Zack itu sangat norak!"
"Hei! Apa katamu? Pilihanku luar biasa enaknya!" Zack tak terima. Membuat Mea semakin semangat untuk membalas. Akan tetapi, Levo yang tiba-tiba di samping Zack langsung menurunkan tangannya.
"Kalian sama-sama norak. Jadi, biar kali ini aku saja yang mencarikan tempat."
"Apa?!" Mea dan Zack melotot bersamaan.
"Kau memilih tempat yang lebih norak, Levo!"
Pada akhirnya, perseteruan antara Zack dan Mea harus berakhir. Levo yang akan memilih tempat mereka makan bersama. Sebab, mereka tak bisa makan bersama di sembarang tempat. Takut jika ada yang melihat atau mengenali Nezi sebagai buronan. Karena itu, Levo sudah mendapatkan sebuah tempat untuk mereka makan bersama kali ini. Tempatnya cukup jauh dari ibukota. Namun, menu-menu yang tersedia cukup banyak dan memuaskan. Levo pernah membeli sebuah makanan di sana dan Levo merasa bahwa cita rasa tak terkalahkan di restoran ibu kota.
Di siang hari yang menuju senja, Levo harus menguras tenaga dengan membawa kelima anak anggotanya secara bergantian. Awalnya Levo membawa Dexa dan Sena terlebih dulu agar mereka bisa memesan makanan yang normal. Karena di antara mereka yang normal tetap saja Dexa. Tapi Sena setidaknya masih mending untuk memilih makanan.
Kemudian, Levo harus mengurus Nezi dengan segala macam penyamarannya. Mea juga harus menangani Nezi terlebih dulu untuk memakai softlens lagi. Berjaga-jaga jika ada awak negara yang datang dengan menyamar.
Setelah Nezi siap, Levo langsung mengajak Nezi dan Mea ke tempat Dexa dan Sena berada. Mereka tampak sibuk memilih makanan di menu yang ada.
"Pastikan kalian memilih makanan yang enak dan jangan hiraukan jumlahnya. Pesan sebanyak apapun agar kita bisa makan bebas."
Dexa dan Sena tersenyum lalu mengacungkan jempol mereka.
"Aku akan membawa Zack ke sebuah tempat. Jadi, kalian bersenang-senanglah tapi jangan lupakan kami ya."
"Siap, Levo!" Dexa langsung mengacungkan dua jempol dengan senyuman lebar. Baru pertama kali selama menjadi anggota Blackhole, Dexa tampak bersemangat.
"Aku pergi!" Levo langsung kembali menghilang dan kembali ke markas untuk menemui Zack.
Sesuai dengan janjinya, ia akan membawa Zack bertemu dengan Fany. Ia tak akan memakan waktu banyak lagi. Langsung saja ia membawa Levo ke tempat Fany.
Levo mendarat di tempat yang kemarin ia membawa Fany mendarat. Tempatnya sepi namun dekat dengan rumah tujuan.
Zack menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia melihat keadaan apakah aman atau tidak sekaligus melihat rumah mana yang ada Fany di sana.
"Itu rumahnya. Kau bisa ke sana sendiri. Aku akan menunggu di sini."
"Kau tidak ikut denganku?"
Levo mengernyit. "Kenapa harus ikut? Itu urusanmu dan Fany. Lagipula kalau aku tak ikut, apa kau takut akan dihajar habis-habisan oleh Fany?"
Zack mendelik. "Fany takkan melakukannya."
"Ya sudah, sana."
Alhasil, Zack pun langsung pergi ke rumah yang ditunjuk oleh Levo. Ia menyakinkan diri bahwa Fany takkan melakukan hal bodoh padanya. Meski ia tau, Fany berhak membunuhnya karena Zack yang membuat Fany berada di titik sulit.
"Setelah sampai di rumah itu, ia melihat ada seorang gadis baru saja keluar dari sana."
Kakinya terdiam sejenak. Seolah Zack terpaku di tempat karena tatapan gadis itu yang tampak kaget dan tak suka.
"Untuk apa kau ke sini?" Dengan sinis, Fany menanyakan sebuah kalimat. Membuat Zack harus bersiap, karena merasa nyawanya ada di ujung tanduk.
***
"Jadi, menurutmu lebih enak ikan ini daripada ayam ini?"
Sudah sekitar sepuluh menit, pelayan yang sedari tadi berdiri di antara Dexa dan Sena sampai pegal linu karena harus menunggu pesanan mereka berakhir.
"Pesanannya sudah selesai?" tanya sang pelayan untuk memastikan.
"Sebentar, belum selesai." Dexa mencegah lagi. Ia masih fokus membaca daftar menu sambil berdiskusi dengan Sena.
Mea dan Nezi hanya memandang dua orang itu dengan geli. Mereka tak sadar jika sudah hampir lima belas menit, pelayan itu berdiri dan geram menunggu mereka selesai.
"Dexa, Sena, sepertinya sudah cukup."
Mendengar suara itu, Dexa dan Sena langsung menoleh. Ternyata Levo datang dari pintu masuk. Tapi tak ada Zack bersamanya.
"Terima kasih, tolong segera diurus pesanannya ya, Kak."
Pelayan itu mengangguk ramah pada Levo karena tau jika Levo adalah pengunjung setia di sana.
Setelah pelayan itu pergi, Levo duduk di sebelah Dexa. "Di mana Zack?" tanya Nezi. "Dia tak kembali bersamamu?"
"Pasti akan sangat membosankan menunggu Zack menuntaskan masalahnya dengan Fany. Jadi, kupikir aku akan memberinya waktu tiga puluh menit. Semoga saja Zack bisa menyelamatkan diri."
Dexa terkekeh. "Sepertinya Fany takkan melakukan hal kejam pada Zack."
"Apa yang membuatmu yakin?" tanya Sena. "Kalau aku jadi Fany, sudah jelas aku akan mencincang Zack hingga kapok. Karena Zack, Fany jadi kepo dengan segala macam tentang Andrew, kemudian Fany dalam bahaya karena itu."
"Tidak sepenuhnya salah Zack. Fany juga salah karena mau melakukannya demi Zack." Levo membela Zack di saat mereka menjatuhkan Zack. Meski Zack memang salah, tapi Levo tetap harus mempertahankan kepercayaan antar sesama.
Untung saja mereka berada di ruang privat. Jadi mereka bebas bercerita tentang apapun.
"Karena hari ini kita akan makan-makan, urusan misi kita sisihkan dulu. Kita juga manusia, butuh ketenangan jiwa."
Dexa, Mea, Sena, dan Nezi mengangguk setuju. Kini mereka berbincang soal hal lain. Entah itu tentang kesenangan atau hobby. Bahkan tak segan, Sena juga menanyakan soal perjodohan yang akan Mea lakoni. Akan tetapi, hal itu justru mengubah suasana menjadi sendu.
"Haaa, itu yang ingin kutanyakan pada kalian. Aku tak tahu harus bagaimana." Mea mendadak muram.
Semua langsung melihat pada Sena. "Ah, aku hanya ingin tau perkembangannya. Kalau kita tau, kita jadi bisa membantu Mea."
Levo menghela napas pelan. "Mea, apa kau sudah mengatakan penolakan pada orang tuamu?"
"Aku sudah mengatakannya. Tapi kau tau sendiri, orang tuaku sangat keras kepala. Hanya uang yang ada di pikiran mereka."
"Tapi kau bukan barang yang bisa dijual." Nezi tak terima. Ia memang menyukai Mea. Akan tetapi bukan hanya paras semata. Mea adalah salah satu anggota yang tak pernah peduli meski ia dianggap buronan. Berbeda dengan kesan Sena dan Zack pertama kali yang melihatnya. Tanpa tau sebab, mereka terlihat kaget karena Levo merekrut buronan ke organisasi mereka. Tapi Mea berbeda, Mea hanya menyapa Nezi dengan begitu santai meski Mea juga tau bahwa Nezi sudah dikabarkan menjadi buronan saat itu.
Itulah mengapa, Nezi bisa melihat ketuluaan dan kecantikan hati Mea. Bukan hanya parasnya saja, tapi jiwa Mea juga sangat bersih.
Menjadi anak gadis yang dijodohkan dianggap sebagai penjualan anak bagi Nezi. Jika si gadis mau, itu takkan masalah. Tapi masalah Mea adalah Mea tak menerima perjodohan itu. Apalagi Mea tak tau akan dijodohkan dengan siapa. Beruntunglah Mea jika dijodohkan dengan pengusaha muda yang sukses dan tampan dengan hati yang baik. Tapi jika kebalikannya? Pengusaha tua kaya raya dengan dua istri dan Mea dijadikan istri ketiga? Haha, itu yang menjadi ketakutan Mea saat ini. Sebab, orang tuanya pernah mengatakan jika rupa dan umur tidak berpengaruh asal bisnis tetap bisa berjalan dengan baik dan uang mengalir tanpa sekat.
Mea menghela napas panjang. Ia melirik ke arah Nezi. "Tapi lahir di keluarga ini membuatku dijadikan sebagai barang."
Andai Nezi bisa mempersunting Mea, ia akan melakukannya sekarang juga. Tetapi ia sadar, kehadirannya di hati Mea tak lebih dari sekedar rekan. Apalagi siapa Nezi? Nezi hanya seorang buronan yang kasusnya hanya sebuah kasus salah sasaran.
"Kami akan membantumu melarikan diri kalau kau mau."
"Aku sudah melakukannya selama ini. Tapi mereka tetap menyuruhku pulang dan ibuku terus mengancam akan bunuh diri jika aku tak pulang."
Levo melirik ke arah Nezi. "Bagaimana kalau kau pulang dengan membawa Nezi bersamamu?"
Usul Levo hanya mengundang protes dari Nezi. "Ide yang buruk."
"Tidak. Aku punya ide bagus. Kau akan kujadikan sebagai salah satu anggota perusahaanku dengan jabatan tinggi. Tapi kau harus mengubah namamu saat melamar Mea di depan orang tuanya."
Mea terdiam sejenak. Bukan hal tabu lagi saat Mea tau tentang perasaan Nezi. Tapi entah mengapa ia tak bisa menerima itu. Seolah Levo membuat Nezi kehilangan jati diri hanya untuk menyelamatkan dirinya. Ia tak mau mengorbankan orang lain.
"Aku menolak." Akhirnya Mea angkat bicara.
"Kenapa?"
"Kau membuat Nezi harus kehilangan jati diri demi aku? Aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin Nezi. Tapi bukan begini caranya."
Kalimat 'aku ingin Nezi' sontak membuat Nezi terdiam sesaat. Ia merasakan desiran aneh yang membuat hormon kebahagiaan mencuat meledak-ledak.
"Tapi ini cara satu-satunya." Levo menatap Mea dengan datar.
"Aku hanya harus mati agar orang tuaku berhenti. Lagipula, dengan membawa orang lain yang diakui sebagai kekasihku, itu takkan berpengaruh besar. Justru kedua orang tuaku akan semakin mengejarku agar mau menerima pilihan mereka."
"Kau tak bisa menyimpulkan seperti itu. Pasti ada jalan lain. Kau hanya perlu tenang dan abaikan saja. Memang tak mudah, tapi itulah jalannya."
Mea hanya menatap Levo sendu. "Aku hanya ingin bebas."
"Permisi," potong seorang pelayan yang datang membawa trolley food. Banyaknya makanan yang dipesan mengharuskan dua orang pelayan membawanya. Bahkan tidak hanya ada satu trolley food. Melainkan ada dua.
"Waahhh, makanan!"
Salah satu daya tarik Mea bagi Nezi, meski gadis itu tampak sendu dan sedih hati, tapi setiap kali melihat makanan dan hal yang gadis itu sukai, pasti Mea akan langsung bersemangat kembali. Mea mudah larut dalam duka. Tapi Mea juga selalu bisa bersemangat kembali tanpa menunggu lama.
"Mari makan!" Mea langsung mengambil piring setelah semua makanan ada di atas meja makan yang panjang.
"Aku akan menjemput Zack terlebih dulu." Levo pun bangkit dari kursinya.
"Ah, aku sampai lupa kalau Zack tak ada. Pantas saja tak ada yang cerewet." Mea terkekeh. Diikuti Sena yang juga terkekeh.
"Kalian nikmati saja. Aku akan kembali dalam waktu cepat."
Tanpa menunggu apapun lagi, Levo langsung kembali menghilang dan muncul di tempat yang sama dengan saat ia mengantar Zack tadi.
Di sana sudah ada Zack yang duduk termenung. Seolah banyak hal yang ia pikirkan. Namun, melihat kehadiran Levo. Zack menghapus air muka itu dan kembali merengut kesal.
"Kenapa kau meninggalkanku, hah?" kesal Zack.
"Tenang saja. Aku meninggalkanmu hanya untuk sesaat kan? Kau juga tak terluka."
Zack mendengkus kesal. "Aku terluka. Di sini." Zack menyentuh d**a kirinya. Sontam membuat Levo terbahak bukan main.
Pemain wanita yang ada di depannya kini mengaku patah hati. Padahal sudah membuat banyak wanita patah hati beberapa tahun terakhir. Tapi kali ini Zack mengaku patah hati karena seorang wanita.
Memang Zack sangat mencintai Fany hingga ditolak belasan kali tapi masih tetap menahan perasaan. Namun, Zack juga tak ingin terus terjebak dalam perasaannya sendiri. Ia terus mencari tempat lain untuk mendaratkan hati. Tapi ternyata tak cocok dan kemudian pergi. Itulah mengapa sikap Zack terkesan menyakiti banyak hati dan menjadi pemain hati.
"Apa ada masalah dengan Fany?"
"Banyak."
"Ceritakan saja."
Zack menatap Levo datar. "Aku lapar. Bisakah kita bahas ini lain waktu?"
"Baiklah."
Levo pun mengajak Zack untuk ke restoran. Di mana saat mereka berdua sampai di sana, semua tengah makan dengan lahap. Membuat Zack makin geram karena tak ditunggu kehadirannya. "Heiii! Kalian curang!" Zack langsung duduk dan mengambil makanan dengan rakus. Kemudian Levo juga duduk di sebelah Dexa. Akan tetapi, ada satu hal yang kurang.
"Di mana Sena?"
Dexa menelan makanan yang ada di mulutnya sebelum menjawab pertanyaan Levo. "Tadi dia keluar sebentar. Katanya mau ke toilet."
Levo mengangguk paham. Akan tetapi, tiba-tiba Sena datang dengan napas terengah-engah.
Sontak semua mata melihat ke arah Sena dengan heran. "Ada apa, Sena?" tanya Levo.
Sena mengatur napasnya terlebih dulu. "A—ada mayat di toilet wanita."