Kediaman Anton.
Pukul 05.25 WIB.
Ting...
Begitu lift terbuka, Sean melangkah keluar dari dalam lift, lalu pergi menuju ruang keluarga.
Sean sudah bisa mendengar suara sapu lidi berbunyi, dan juga suara yang tentu saja berasal dari dapur. Pasti itu suara dari para pelayan yang sedang sibuk membuat sarapan.
Sepertinya Anna belum bangun, karena kalau Anna sudah terbangun, pasti rumah akan ramai oleh teriakan adiknya itu.
Sean tersenyum saat melihat Anton yang ternyata sudah bangun. Padahal ini hari libur, dan tidak biasanya Anton bangun sepagi ini.
"Selamat pagi Dad."
Anton mendongak, mengulas senyum manis saat melihat Sean melangkah mendekat. "Selamat pagi Kak."
Sean duduk di samping Anton yang tengah membaca berita di koran, mungkin koran kemarin karena koran pagi ini jelas belum sampai.
Anton membaca di temani dengan secangkir kopi dan juga beraneka ragam kue tradisonal yang sudah terhidang di meja.
Sean menggaruk tengkuknya, merasa canggung untuk memulai obrolan bersama Anton. Lebih tepatnya Sean merasa malu untuk memulai pembicaraan. Masalahnya adalah, topik yang akan ia bahas kali ini sangat sensitif, karena itulah Sean merasa canggung sekaligus malu.
"Dad." Akhirnya Sean bersuara, setelah kurang lebih 5 menit terdiam dan mengamati Anton yang sedang fokus membaca koran.
Sean selalu suka saat melihat dan mengamati wajah Anton yang sedang fokus bekerja atau membaca. Menurut Sean, Anton sangat berwibawa, apalagi jika sedang bekerja di kantor dengan setumpuk dokumen-dokumen di hadapannya.
Anton menoleh, menatap Sean dengan alis terangkat. "Kenapa Kak? apa ada masalah?"
"Nanti siang atau agak sorean, Kakak mau ke Bandung, sahabat Kakak ngadain acara di sana."
"Acara apa?" Kini kedua alis Anton bertaut, menatap Sean dengan tatapan menyelidik.
Tidak biasanya Sean meminta ijin pergi keluar kota.
Sean mengerang, merasa kesal karena Anton malah mengajukan pertanyaan. Padahal Sean tidak berharap kalau Anton akan balik bertanya.
"Ya acara Dad." Sean enggan menjawab pertanyaan Anton secara detail.
Anton melipat koran yang sejak tadi ia baca, lalu menaruh koran tersebut di meja. Setelah itu, atensi Anton sudah sepenuhnya tertuju pada Sean, menatap sang putra dengan mata memicing penuh curiga. "Iya, tapi dalam rangka apa?"
"Pokoknya acara." Sean benar-benar enggan untuk menjawab pertanyaan Anton.
"Iya, acara apa? Tunangan atau sunatan? Atau acara lainnya?" Anton terus melancarkan aksi bertanyany. Anton akan tetus bertanya sampai Sean mau menjawab pertanyaannya.
Sean berpaling, seraya bergumam tak jelas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Anton dengan nada ketus. "Acara nikahan."
Anton tertawa, lalu mengacak rambut Sean dengan gemas. "Oh, acara nikahan."
Sean tentu saja kesal, kesal karena Anton baru saja merusak tatanan rambutnya. Padahal butuh waktu 10 menit untuk Sean menata rambutnya, dan Anton merusaknya hanya dalam hitungan detik.
Oh astaga! Kaca mana kaca?
"Dad, rambut Kakak acak-acakan lagi!" Protes Sean seraya menata kembali rambutnya.
"Enggak apa-apa Kak, gantengnya enggak bakalan hilang atau berkurang kok," sahut Anton santai seraya terkekeh.
Sean hanya mengerang, enggan untuk menanggapi ucapan Anton, dan lebih memilih untuk kembali menata rambutnya agar kembali rapi.
"Jadi, Kakak mau hadir?" tanya Anton memastikan.
"Iya Dad, Dianakan sahabat Kakak. Masa iya Kakak enggak hadir?" Ya, Diana adalah teman sekaligus sahabatnya sejak jaman ia SMA sampai sekarang kuliah.
"Bukannya acara nikahannya masih dua minggu lagi ya?" Tentu saja Anton mengenal dekat kedua orang tua Diana, mengingat ayah Diana adalah salah rekan bisnisnya dan ia juga mendapat undangan dari ayah Diana. Seingatnya, acara pernikahan Diana baru akan di gelar minggu depan.
"Iya Dad, resepsinya 2 minggu lagi. Kalau acara di Bandung itu khusus buat teman-teman kuliahnya."
Anton mengangguk, paham dengan apa yang baru saja Sean katakan.
"Bolehkan, Dad?" tanya Sean tidak sabaran.
Padahal Sean selalu berharap kalau ia adalah orang yang akan menikah terlebih dulu dibandingkan para sahabatnya yang lain. Tapi ternyata Sean kalah cepat, karena kini Dianalah yang menikah terlebih dulu dan mendahuluinya.
"Emang acaranya kapan?" Anton memberikan 1 dadar gulung, yang dengan senang hati Sean terima. Salah satu kue tradisonal kesukaan Sean adalah dadar gulung.
"Acaranya malam minggu Dad." Sean menikmati dadar gulung kesukaannya hanya dalam dua kali suapan. Ukurannya terlalu kecil, jadi tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya.
Anton mengangguk, lalu kembali mengajukan pertanyaan. "Kakak pergi sama sahabat Kakak atau mau pergi sendirian?"
"Kalau Kakak bawa Anna, boleh atau enggak?" Bukannya menjawab pertanyaan Anton, Sean malah balik bertanya.
"Enggak boleh, Kakak tahu sendiri gimana pecicilannya Anna. Lagian, Anna enggak terlalu suka acara-acara seperti itu."
Sean mengangguk, membenarkan apa yang baru saja Anton jabarkan. Anna memang tidak menyukai acara pesta, bahkan setiap hari ulang tahunnya tiba, Anna selalu menolak jika keluarga besar mereka mau merayakannya. Tapi, keluarga besar mereka sudah sepakat dan setuju, jika usia Anna menginjak 17 tahun, maka akan di adakan acara perayaan sekaligus acara ulang tahun perusahaan yang bertepatan dengan hari kelahiran Anna.
"Ya sudah, berarti Kakak pergi sendirian." Mau bagaimana lagi, Sean kan masih single alias jomblo. Hiks, Sean gak laku.
"Kenapa enggak pergi sama sahabat-sahabat Kakak yang lain?" Anton mencoba memberi solusi.
Anton tahu, Sean memang tidak memiliki banyak sahabat atau teman, karena Sean termasuk anak yang pendiam jika berada di lingkungan sekolah atau pun kampus.
Tapi, Sean akan bersikap royal terhadap orang yang benar-benar menyukai diri Sean apa adanya dan tulus bersahabat dengannya.
Anton sengaja tidak menyematkan nama besar keluarganya di akhir nama Sean dan Anna. Anton sengaja melakukan hal itu, karena Anton mau, orang melihat diri Sean dan Anna tanpa melihat nama besar keluarganya.
Hanya ada beberapa orang yang tahu tentang siapa Sean dan Anna sebenarnya, dan tentu saja itu pihak sekolah dan kampus. Mungkin itu tidak akan bertahan lama, karena cepat atau lambat semua orang akan mengenal dan tahu siapa Sean dan Anna sebenarnya.
Tapi setidaknya Sean dan Anna sudah bisa membedakan, membedakan mana orang yang benar-benar tulus berteman dan bersahabat dengan mereka, dan mana orang yang hanya melihat mereka dengan nama besar keluarganya.
"Enggak enak Dad, mereka perginya sama pacar masing-masing. Masa iya Kakak ikut, jadi nyamuk dong," gerutu Sean yang sontak saja membuat tawa Anton berderai.
"Makanya cari pacar, sudah mau lulus kuliah masih aja jomblo. Katanya mau nikah muda, tapi sampai sekarang masih belum punya calonnya." Anton sengaja meledek Sean.
Inilah salah satu alasan kenapa Sean enggan menjawab pertanyaan Anton tadi, Anton selalu saja menggoda dan juga meledeknya. Meledek statusnya yang sampai sekarang masih jomblo.
"Nanti pas acara nikahan Diana, siapa tahu ada yang nyantol sama Kakak," ujar Sean percaya diri.
"Anak Daddy bisa aja ngelesnya." Anton kembali mengacak rambut Sean, membuat mata Sean membola dan manatap Anton horor.
"Lagi?" Anton mengabaikan tatapan Sean dan malah kembali menawarkan Sean dadar gulung.
Sean menggeleng, lalu menunjuk cemilan lain. "Kakak mau risol aja Dad."
Anton mengangguk, dan memberikan Sean risol kesukaannya. Risol yang berisi mayonnaise dan juga telur.
Suasana kembali hening, Anton dan Sean sedang asik menikmati cemilan mereka masing-masing.
"Kakak sudah minta ijin sama Mommy?" tanya Anton penasaran.
Sean lantas menggeleng, hampir saja dia melupakan untuk meminta ijin pada Sein. "Belum Dad."
"Sebelum pergi, sebaiknya minta ijin dulu sama Mommy, nanti Mommy marah kalau Kakak pergi tanpa ijin."
"Nanti kalau Mommy mau ikut bagaimana?" Sekarang Sean khawatir kalau Sein akan merengek minta ikut.
"Ya enggak mungkinlah Kak, adek kamu sudah mau brojol, gimana kalau nanti kalau brojol di tol?" jawab dan tanya Anton dengan nada geli.
Sean tertawa begitu mendengar penuturan Anton. Iya juga ya, enggak mungkin Sein ikut. "Nanti kalau Mommy sudah bangun, Kakak minta ijin sama Mommy."
"Kakak ke Bandung mau pakai mobil atau pesawat?"
"Kalau pakai motor boleh, Dad?" Lagi-lagi Sean mengajukan pertanyaan, membuat Anton berdecak kesal karenanya.
"Boleh, bawa aja motornya. Tapi, nanti Daddy jual mobil baru Kakak ya."
Mata Sean sontak membola begitu mendengar jawaban Anton. "Ya jangan Dad, belum juga Kakak pakai, masa iya mau di jual," keluh Sean tidak terima.
Mobil yang Anton maksud adalah mobil hadiah dari Ahmad dan Ani. Ahmad dan Ani memberikan mobil tersebut pada Sean sebagai hadiah ulanh tahun Sean. Sampai saat ini, Sean belum memakai mobil tersebut.
"Makanya jangan naik motor." Anton tidak pernah setuju kalau Sean pergi jauh dengan mangendarai motor.
"Iya-iya. Kakak enggak akan naik motor, Kakak naik pesawat aja." Sean memilih mengalah, dari pada mobilnya hangus.
"Bagus." Anton meraih tab, untuk memeriksa beberapa pekerjaannya. Siapa tahu ada yang salah atau terlupakan.
"Dad."
"Hm." Anton hanya bergumam, dengan mata yang masih fokus menatap layar tab di hadapannya. Anton sedang memeriksa beberapa pekerjaan yang kemarin tertunda.
"Daddy beneran kasih Kakak ijin kalau Kakak mau menikah muda?" Jantung Sean berdetak dengan sangat cepat begitu pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.
Anton sontak menoleh, menatap Sean dengan alis bertaut. "Kakak jelas tahu apa resikonya kalau Kakak nikah muda."
"Iya Dad, Kakak tahu." Sejak usianya menginjak 17 tahun, Sean sudah sering kali bertanya, baik itu pada Ahmad, Ani, ataupun Anton tentang pernikahan.
"Daddy dukung apapun keputusan Kakak, selama itu baik." Anton menepuk bahu Sean, memberi Sean suport.
"Terima kasih Dad." Inilah alasan kenapa Sean merasa yakin untuk menikah dalam usia muda, karena baik Ahmad, Ani, Anton, ataupun keluarganya yang lain selalu mendukung apapun keputusan yang akan ia ambil.
"Daddy mau ke kamar dulu ya, takutnya Mommy sudah bangun." pamit Anton.
"Ok Dad," ujar Sean seraya mengangguk.
Anton kembali menepuk ringan bahu Sean, lalu berdiri dan mulai melangkah menuju kamarnya.
"Dad!"
Panggilan dari Sean membuat langkah Anton terhenti. Anton menoleh, menatap Sean dengan alis bertaut. "Kenapa Kak?"
"Sini deh Dad." Dengan gerakan tangan, Sean meminta agar Anton kembali mendekatinya.
Anton mendekat, tapi kalimat selanjutnya yang Sean ucapkan membuat Anton benar-benar menyesal karena mengikuti ucapan Sean.
"Munduran dikit dong, gantengnya kelewatan. Ea!" Teriak Sean sambil tertawa terbahak-bahak..
"Sean!" teriak Anton menggelegar. "Sini kamu Kak!" Anton mencoba mengejar Sean yang sudah berlari menjauhinya. Anak itu, benar-benar.
Sean mengabaikan teriakan Anton dan terus berlari menaiki tangga, menuju kamar adiknya.
Sepanjang jalan tak henti-hentinya Sean tertawa, merasa puas kerena telah menjahili Anton.
"Kak, tolong bangunkan Anna ya!" Sekesal apapun Anton pada Sean, tapi Anton tidak akan bisa marah lama-lama pada Sean, ataupun Anna.
"Iya Dad, ini Kakak mau bangunin Anna!" jawab Sean tanpa menoleh pada Anton.
Anton menghela nafas, lalu kembali melangkah menuju kamarnya.
Sean menempelkan telinganya di pintu kamar Anna, saat mendengar suara bising dari dalam. Sepertinya Anna sedang mendengarkan lagu. Secara perlahan Sean membuka pintu sedikit demi-sedikit, bibirnya berkedut menahan tawa saat melihat apa yang sedang terjadi pada Anna.
Well, Anna sedang bernyanyi dengan pinggul bergoyang, tak lupa di barengi dengan senandung lagu yang sedang hits belakangan ini.
"Entah apa yang merasukimu, hingga kau tega mengkhianatiku, yang tulus mencintaimu." Anna terus bersenandung riang, tidak sadar kalau sejak 10 menit yang lalu Sean merekam aksinya.
Astaga! Sean sudah tidak tahan lagi untuk menahan tawanya agar tidak keluar.
"Gak mau pulang, maunya di goyang!" Sean berseru, membuat Anna yang sejak tadi asik bernyanyi dan bergoyang sontak menoleh pada asal suara.
"Abang!" Anna menjerit, merasa terkejut dengan kehadiran tiba-tiba Sean di kamarnya.
Anna loncat dari tempat tidur, dan mengejar Sean yang sudah lebih berlari menuruni tangga. Anna sadar kalau tadi Sean merekam aksinya.
"Abang jangan lari!" Anna terus berlari, mengejar Sean yang terus menghindarinya.
Anna dan Sean terus berlari di ruang keluarga. Anna yang mengejar Sean, dan Sean yang terus menghindari Anna dengan tawa renyahnya.
"Abang jelek, siniin hpnya!" Anna mencoba merebut ponsel Sean, tapi gagal karena kalah tinggi.
"Tumbuh tuh ke atas, bukan ke samping," ledek Sean.
"Anna masih dalam masa pertumbuhan." Anna mencoba membela diri, dengan tangan yang terus mencoba menggapai ponsel Sean.
Astaga! Kenapa Sean tinggi sekal? Membuat Anna merasa sangat pendek.
"Ih Abang! Hapus videonya," ucap Anna memelas.
"Enggak mau dihapus, maunya di upload." Sean berbicara dengan nada bernyanyi.
"Awas ya kalau Abang upload video Anna, Anna bilangin Daddy loh!" Anna mencoba mengancam Sean, berharap Sean takut dan tidak akan berani melakukan hal yang akan membuat dirinya merasa malu.
"Kakak enggak takut." Sean memeletkan lidah, sengaja meledek Anna dan kembali berlari begitu Anna lengah.
"Sean! Anna!"
Panggilan dari Anton membuat Sean dan Anna sontak menoleh pada asal suara.
"Daddy, Abangnya usil," adu Anna seraya menunjuk Sean yang sedang mengutak-atik ponselnya, membuat Anna sedikit was-was di buatnya. Anna takut, Sean sedang menyebarkan video saat tadi dirinya sedang bernyanyi.
"Kak, jangan usil!" Peringat Anton tegas, tak lupa memberi tatapan tajam pada Sean yang hanya Sean tanggapi dengan kekehan.
"Enggak kok Dad." Sean mencoba meyakinkan Anton.
Anton menuntun Sein agar berbaring di sofa, menghela nafas pelan saat mendengar Sean dan Anna kembali bertengkar, Anna yang berteriak meminta Sean berhenti berlari dan Sean yang terus tertawa terpingkal-pingkal.
Sean dan Anna sudah mau punyak adik, tapi kelakuannya keduanya selalu saja membuat Anton pusing.
"Kak, mending pijitin kaki Mommy." Dengan gerakan tangan, Sein meminta agar Sean mendekat.
Sean lantas memasukan ponselnya ke dalam saku celana, lalu melangkah mendekati Sein yang kini sudah berbaring di sofa.
Sean duduk di ujung kaki Sein, lalu menepuk membawa kaki Sein ke atas pangkuannya.
"Jangan terlalu kuat ya Kak."
"Ok Mommy," ujar Sean. Sean mulai memijit kaki Sein, mengabaikan rengekan Anna yang masih terus meminta ponselnya. Tidak semudah itu Ferguso.
"Abang ih, mana hpnya." Anna terus mengguncang bahu Sean, tak lupa mengeluarkan rengekan agar Sean mau memberikan ponselnya.
Anna tidak akan tenang sebelum Sean menghapus videonya.
"Sini Sayang, baring samping Mommy." Sein menepuk tempat kosong di sampingnya.
"Enggak mau!" Anna menggeleng dan terus merengek pada Sean. "Abang Ih! Mana hpnya." Anna terus merengek, dan Sean hanya diam, tidak menanggapi rengekan Anna.
"Nanti kalau Kakak macam-macam sama Anna, Daddy pasti akan menghukum Kakak." Salah satu cara agar Anna berhenti merengek adalah dengan cara memberi kepastian.
Anna menoleh, menatap Anton dengan mata berbinar. "Bener ya, Daddy bakalan hukum Abang kalau Abang nyebarin video Anna?" tanyanya memastikan.
Anton mengangguk, membuat Anna bersorak kegirangan. "Dengerin tuh, Abang bakalan Daddy hukum kalau berani nyebarin video Anna," ujar Anna seraya menepuk kuat bahu Sean, sedikit membuat sang empunya meringis.
Sean menoleh, menatap Anna dengan mata melotot. "Sakit Anna," geram Sean. Sean mencoba meraih tangan Anna, tapi kalah cepat karena Anna sudah lebih dulu menghindar.
Anna memeletkan lidah, balas meledek Sean. "Syukurin."
Anna mengibaskan rambutnya, lalu menghampiri Sein dan berbaring di samping kanan Sein, mulai mengelus perut Sein yang membuncit. Anna sudah tidak sabar untuk bertemu dengan adik-adiknya. Mereka laki-laki atau perempuan ya?
Anna menoleh pada Anton yang baru saja kembali dari dapur, entah mengambil apa. "Daddy udah punya nama buat adik-adik Anna?"
"Coba Kakak tanya sama Mommy," sahut Anton.
Anna mendongak, menatap Sein dengan alis bertaut. "Mommy sudah siapin nama buat adik-adik Anna?" tanyanya antusias.
Sein mengangguk, mengusap puncuk kepala Anna dengan penuh kasih sayang. "Sudah dong Sayang."
"Siapa namanya Mom? Anna penasaran," ucap Anna antusias.
"Rahasia Sayang, nanti akan Mommy kasih tahu kalau adik kamu sudah lahir ya."
"Anna udah enggak sabar, pengen lihat mereka lahir."
"Sama, Daddy dan Mommy juga udah enggak sabar untuk melihat adik kalian berdua," ucap Anton seraya mengusap kepala Anna.