"I miss you Dad." Anna semakin mengeratkan pelukannya, membuat Anton tertawa karena sifat manja sang putri.
Inilah Anna, meskipun sudah besar masih saja manja terutama padanya.
"Miss you too Princess, Princess apa kabar?" Anton mengecup puncuk kepala Anna, membalas pelukan putri semata wayangnya dengan erat.
"Baik, kok Daddy pulang cept? katanya mau pergi 3 minggu?" Anna tentu saja terkejut mendapati kehadiran Anton di rumah. Padahal, sebelumnya Anton sudah ijin pergi selama 3 minggu untuk kunjungan kerja ke Abu Dhabi. Sekarang belum juga juga ada 2 Minggu tapi Anton sudah kembali pulang.
"Daddy hanya mengerjakan bagian pentingnya saja, sisanya di urus sama Om Ilham." Alasan sebenarnya Anton pulang lebih cepat dari jadwal yang seharusnya adalah karena Anton merasa bersalah pada Sein.
Saat dirinya pergi ke Abu Dhabi delapan hari yang lalu, Anton sama sekali tidak meminta ijin atau berpamitan pada sang istri, dan hanya pamit pada kedua orang tuanya, Sean, dan juga Anna.
Alasan Anton tidak memberi tahu Sein perihal keberangkatannya ke Abu Dhabi adalah, karena bisa Anton pastikan, kalau dirinya meminta ijin pada Sein, dengan tegas Sein pasti akan menolak atau malah merengek meminta ikut.
Tentu saja Anton tidak mungkin membawa Sein ikut, mengingat dirinya di sana untuk bekerja dan Anton tidak akan bisa fokus bekerja kalau Sein ikut bersamanya.
Bahkan selama 8 hari ini Anton sengaja tidak menghubungi Sein, karena Anton tidak akan bisa fokus bekerja saat mendengar rengekan Sein yang memintanya untuk pulang, atau malah mendengar Sein yang menangisi kepergiannya. Padahal Anton belum mati, bagaimana kalau Anton benar-benar pergi selamanya?
"Jadi Om Ilham masih di Abu Dhabi?" Kini Sean yang bertanya.
"Iya Kak, Om Ilham masih di sana."
Anton melepaskan pelukannya dari Anna, tapi Anna masih enggan melepaskan pelukannya dan malah bergelayut manja di lengan Anton.
"Kakak sehat?" tanya Anton ambigu, mulai meneliti penampilan Sean, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Sean terkekeh begitu mendengar pertanyaan Anton. Sean tahu apa maksud dari pertanyaan Daddynya itu. "Tentu saja Kakak sehat Dad," jawabnya mantap.
Anton tertawa, lalu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, mencari di mana keberadaan sang istri. "Mommynya Kak?" tanyanya penasaran.
"Di kamar Dad, Mommy lagi istirahat." Sean lagilah yang menjawab pertanyaan Anton.
"Mommy sakit?" tanya Anton khawatir, menatap Sean meminta penjelasan.
"Iya, Mommy muntah-muntah. Kemarin pas Daddy pergi, Mommy seharian nangis loh. Mommy sedih karena Daddy pergi enggak bilang-bilang dulu," ucap Anna.
Kejadian beberapa hari yang lalu kembali terngiang dalam benak Anna. Pagi itu benar-benar yang sangat heboh. Bayangkan saja, Sein datang mengetuk pintu kamarnya dengan air mata yang membasahi wajahnya, bahkan matanya sembab karena terlalu lama menangis.
Sein sudah mencari Anton ke segala penjuru ruangan, tapi tetap saja Anton tidak ada. Bahkan ponsel Anton mati dan Sein semakin menangis sesegukan saat sadar kalau ada 1 koper yang hilang dari dalam lemari beserta beberapa setel jas yang juga ikut hilang.
Dari sana Sein berkesimpulan, kalau Anton pergi meninggalkannya.
"Kenapa tertawa Princess?" tanya Anton seraya menjawil hidung mancung Anna.
"Mommy nangis sesegukan pas tahu kalau Daddy pergi, lama lagi nangisnya," jelas Anna seraya tertawa. Anna merasa kasihan tapi juga merasa gemas di saat yang sama, ia ingin tertawa saat melihat bagaimana Sein menangis.
Helaan nafas berat keluar dari mulut Anton begitu mendengar pejelasan Anna. Sekarang semakin besarlah, rasa bersalah Anton pada Sein.
"Anna enggak usilkan sama Mommy?" Anton menatap Anna dengan alis yang saling bertaut.
"Isenglah Dad, Daddy kayak enggak tahu aja gimana usilnya Anna." Kali ini giliran Sean yang bersuara dengan nada ketus yang menyertainya.
"Habisnya Mommy lucu kalau lagi merajuk." Anna mencoba membela dirinya sendiri.
"Iya, tapi jangan sering di usilin juga, Princess." Anton menjawil hidung mancung Anna membuat Anna meringis karenanya.
"Iya, iya. Anna enggak lagi usilin Mommy." Janji Anna sungguh-sungguh.
"Turun Anna, malu. Sudah besar masih aja manja," gerutu Sean seraya memutar bola matanya.
Terkadang Sean berpikir, apakah akan ada pria yang mau mendekati Anna atau meminang Anna, saat tahu bagaimana sifat Anna yang sebenernya? Tapi, sepertinya ada dan Sean tahu siapa pria itu.
Anna menoleh, menatap Sean dengan bibir mencebik. "Bilang aja Kakak iri." Anna memeletkan lidah, sengaja meledek Sean.
Sean mendengus begitu mendengar penuturan Anna yang sama sekali tidak benar. Mana ada dirinya iri pada Anna.
"Sudah-sudah jangan berantem." Anton mencoba melerai sebelum keduanya benar-bener bertengkar.
Anna melepas pelukannya dari Anton, lalu menatap Anton dengan mata berbinar. "Jadi Daddy enggak pergi lagi ke Abu Dhabi kan?" tanyanya memastikan yang langsung Anton jawab dengan gelengan kepala.
"Enggak Kak, tapi Daddy harus tetap masuk kantor seperti biasanya," jelas Anton.
"Enggak apa-apa lah Dad, masih mending. Dari pada Daddy di Abu Dhabi," ungkap Sean yang langsung di angguki oleh Anton dan Anna.
Setidaknya Anton dan Sein masih bisa bertemu.
Anton menunduk, meraih sesuatu yang sejak tadi ia letakan di samping kaki kanannya. Untung saja tidak terinjak oleh Anna. "Nih oleh-olehnya." Anton menyerahkan paper bag berwarna hitam pada Sean, dan paper bag berwarna putih pada Anna.
Sesuai permintaan Sean dan Anna, Anton membelikan oleh-oleh untuk keduanya. Sebagai bentuk terima kasih, karena pasti keduanya cukup mengalami kesulitan saat dirinya pergi. Terutama Sean, Anton yakin kalau Sean pasti cukup kewalahan dalam menangani sifat manja Sein, karena Anton tahu kalau Anna akan lebih banyak mengusili Mommynya.
Anna dan Sean menerima hadiah pemberian Anton dengan antusias, padahal mereka sudah berpikir kalau Anton pasti melupakan pesananan mereka, tapi ternyata tidak sama sekali.
Anton emang Daddy terbaik.
"Terima kasih banyak Daddy." Anna mengecup pipi Anton sebagai bentuk terima kasih.
"Sama-sama Princess." Anton mengusap lembut kepala Anna.
"Thanks Daddy." Sean memeluk Anton, merasa senang sekaligus bahagia karena ternyata Anton tidak melupakan pesanannya.
"Sama-sama. Masing-masing Daddy beliin 2, takut kalau kalian mau memberikannya pada seseorang yang mungkin spesial." Anton menatap Sean seraya mengedipkan mata, sengaja menggoda Sean.
"Dad!" Sean tentu saja protes karena Sean tahu Anton sengaja menggoda dirinya.
Anton hanya tertawa, lalu mengusap lembut puncuk kepala Sean yang sekarang sudah hampir sama tinggi dengannya. Ck! Kenapa waktu cepat sekali berlalu?
"Daddy mau ke kamar dulu, kalian berdua jangan berantem ya." Peringat Anton, mengelus puncuk kepala Sean dan Anna dengan penuh kasih sayang.
"Iya Dad." Sean dan Anna menjawab secara bersamaan. Keduanya mulai asik membuka isi paper bag pemberian Anton. Tidak sabar melihat barang yang sudah sejak lama mereka inginkan.
Anton berlalu dari ruang keluarga, melangkah menuju kamarnya untuk melihat bagaimana kondisi sang istrinya. Dari percakapan Sean dan Anna sebelumnya, Anton hanya menangkap percakapan tentang Sean yang akan mencari Daddy baru. Ada-ada saja.
Secara perlahan Anton membuka pintu kamar, berusaha agar pergerakannya tidak menimbulkan bunyi yang mungkin bisa membuat istrinya terbangun.
Mengingat sudah beberapa bulan ini Sein mudah sekali sensitive saat mendengar suara, bahkan akan mudah terbangun saat mendengar suara sepelan apapun. Tapi sepertinya sekarang tidak lagi.
Anton menghela nafas, merasa bersalah saat melihat wajah Sein yang tampak pucat pasi dengan mata membengkak.
Apa Sein terus menangisi kepergiannya? Padahal dirinya tidak pergi untuk selama-lamanya, lalu bagaimana saat nanti dirinya nanti mati? Apa Sein akan menyusulnya? Lalu bagaimana dengan anak-anak mereka?
"Sadar Anton, sadar." Anton menepuk keningnya saat otaknya berpikir tentang hal yang tidak-tidak.
Anton memilih untuk membersikan tubuhnya terlebih dahulu, mengingat tubuhnya terasa lengket karena keringat setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Kurang lebih 15 menit Anton membersihkan diri, kini Anton sudah mengenakan kaos putih polos dan juga celana boxernya selutut kesukaannya. Kesukaan Sein tepatnya. Tadinya Anton pikir kalau Sein akan terbangun begitu mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi, tapi ternyata tidak.
Anton berbaring di samping sebelah kanan Sein, ikut menyusup masuk ke dalam selimut yang menutupi sebagian tubuh sang istri.
Anton menyibak daster yang Sein kenakan sebatas, menampilkan perut buncit Sein.
"Sayangnya Daddy apa kabar?" Dengan gerakan lembut, Anton mengusap perut Sein yang sudah membuncit, mengingat kehamilan Sein sudah memasuki usia 8 bulan.
Anton terus mengecupi perut Sein, meninggalkan banyak jejak basa di sana. Mata Anton membola di iringi derai tawa yang keluar, begitu mendapat tendangan yang cukup kuat dari buah hatinya yang menyambut kehadirannya dengan penuh semangat, mengingat sudah lama 1 minggu lebih mereka tidak bertemu. Biasanya setiap malam sebelum tidur, Sein akan meminta dirinya untuk mengelus perutnya dan mengajak buah hati mereka untuk berbicara.
"Sayang, Daddy pulang, kangen ya sama Daddy?" Anton kembali mengecupi perut Sein, dan terus mengajak buah hatinya berbicara di barengi dengan tendangan yang terus di lakukan buah hatinya.
Tendangan yang semakin lama semakin kuat, sampai membuat Sein meringis kesakitan karenanya.
"Sshh, bobo lagi ya sayang, Daddy temani." Seolah mengerti dengan apa yang Anton katakan, bayi dalam perut Sein akhirnya berhenti menendang.
"I Love You Mommy." Anton mengecup kening Sein, mata Sein, dan berakhir di bibir ranum Sein, hanya kecupan tidak lebih, karena Anton tidak mau membuat Sein terbangun dari tidurnya.
Anton merubah posisi tidur Sein agar Sein merasa lebih nyaman, lalu menjadikan tangan kirinya sebagai bantalan kepala Sein. Tanpa sadar, Sein langsung menyerukan wajahnya di ceruk leher Anton, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Anton.
Beberapa jam kemudian.
Anton sontak membuka kelopak matanya saat tidak menemukan keberadaan Sein di sampingnya. Astaga! Ke mana Sein pergi?
"Mom." Anton menyibak selimut dan bergegas menuruni tempat tidur untuk mencari di mana keberadaan Sein. Anton terus memanggiln Sein, tapi tak kunjung ada jawaban dari istrinya itu.
"Sein!" Anton akhirnya berteriak saat tidak mendapati kehadiran Sein di kamar mandi dan juga walk in closet.
Anton bergegas keluar kamar, dirinya takut kalau kejadian beberapa minggu yang lalu kembali terulang, kejadian di mana Sein memilih kabur karena kesalahpahaman.
Tanpa sadar Anton menghela nafas, merasa lega saat melihat sang istri ada di meja makan.
Sein sedang menikmati makan siangnya, di temani Sean dan juga Anna yang kini saling melempar ejekan satu sama lain.
Anton memilih bersandar di tembok pemisah antara ruang makan dan ruang keluarga. Mulai memperhatikan Sein yang hanya mengaduk-ngaduk makanannya tanpa berminat untuk memakannya.
"Apa makanannya tidak enak? Itulah sebabnya Sein tidak berminat untuk memakannya? Atau Sein marah padanya?" Berbagai macam pertanyaan kini bercokol dalam benak Anton.
Jika memang Sein marah padanya, maka Anton harus mulai memikirkan bagaimana cara untuk membujuk Sein agar mau memaafkannya.
"Dad!" Panggilan dari Sean membuat semua lamunan Anton buyar.
Anton tersenyum lalu melangkah mendekati meja makan. Sean dan Anna sudah duduk kursinya masing-masing, kecuali Sein yang memilih duduk di kursi yang tidak seharusnya diduduki. Jauh sekali dari kursi yang biasa Sein duduki.
Seperti biasa, hal yang sering Anton lakukan adalah mengecup kepala Sein dengan penuh kasih sayang dan juga menggigit pipi chubby Sein dengan gemas.
"Jangan cium-cium!" Sein mengelap pipinya yang baru saja Anton kecup dan gigit dengan telapak tangannya.
Sean dan Anna membekap mulut mereka, mencoba menahan tawa yang ingin keluar.
Mommynya itu sangat lucu dan juga menggemaskan jika sedang merajuk, seperti sekarang ini. Lihatlah raut wajahnya yang menggemaskan di barengi dengan bibir yang kini maju beberapa cm. Itulah kenapa Anna sangat suka untuk menggoda bumil satu ini.
Anton menaikan alisnya, menatap Sein dengan lembut. "Kenapa enggak mau? biasanya juga nyosor duluan?" tanyanya penuh percaya diri.
Sein mendongak, menatap Anton dengan mata melotot. "Siapa yang suka nyosor? Sembarang kalau ngomong!" Sanggahnya cepat, tidak terima dengan apa yang Anton ucapkan.
"Sana ih jauh-jauh." Sein menggeser kursinya, menjauhi Anton yang kini duduk berdekatan dengannya. "Sana." Sein kembali mendorong kursi Anton agar menjauh darinya.
"Iya, iya. Daddy pindah nih." Akhirnya Anton memilih untuk mengalah, dari pada Sein tambah marah, lebih baik ia pindah saja.
"Di makan Mom, jangan di aduk-aduk terus." Sudah 15 menit berlalu, tapi Sein seperti enggan untuk memakan makanannya.
Sein menoleh, menatap Anna dengan mata berbinar. "Suapin sama Kakak." Sein mendorong piringnya, dan kini duduk menghadap Anna.
Semua orang kompak terkekeh begitu mendengar permintaan Sein pada Anna.
"Iya, sini Kakak suapin." Dengan senang hati Anna menyuapi bumil manja satu ini.
Anton dan Sean mulai menikmati makan siang mereka dengan hening tanpa suara. Anton yang sejak tadi merasa di perhatikan sontak menoleh, mengulas senyum manis saat melihat ternyata Seinlah yang sejak tadi terus memperhatikannya.
Ugh, kenapa Sein begitu sangat menggemaskan? Membuat Anton ingin sekali menggigit pipinya yang chuby seperti bakpau.
Sein berpaling begitu obyek yang sedari tadi ia tatap balik menatapnya. Ingat! Sein masih kesal, dan marah pada Anton.
Anton menghela nafas, merasa serba salah. Kehamilan Sein yang ketiga ini benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan juga emosinya.
Sein menjadi 2 kali lebih manja, sensitive, dan juga labil dari 2 kehamilan sebelumnya.