01. Kecelakaan
Di atas motor yang melaju kencang, sudut bibir Ayub tertarik mengenang saat berpamitan pada Umi dan Abi tadi. Umi sibuk mempersiapkan sarapan untuknya, Abi berpesan dengan sederet kalimat supaya ia berhati-hati di jalan dan tidak ngebut-ngebut. Dan Harun, teman kuliahnya yang nge-kos di rumahnya itu sibuk merapikan baju koko yang Ayub kenakan supaya lebih rapi.
Ayub bersyukur hidup diantara orang-orang yang menyayanginya. Ia membelokkan motornya ke jalan sepi supaya perjalanannya aman.
Tiba-tiba….
Brak…!
Tubuh Ayub terlempar dari motor dan membentur aspal setelah sesuatu menabrak dari arah depan. Motor terpisah di jarak empat meter dari tubuhnya yang tersungkur. Helm terantuk sisi trotoar. Seketika kepalanya nyeri. Sesuatu yang cair meleleh di pelipis. Berkali-kali ia mengucapkan istighfar ditengah rintihan pelan.
Ternyata memilih jalan sepi tidak membuat perjalanannya menjadi aman, malah celaka.
Seorang gadis berseragam putih abu-abu yang juga jatuh tersungkur dari motor metik, bangkit berdiri. Ia membenahi motornya yang terjungkang lalu menyetandarkannya ke tepi.
Di jalan luas dan sepi, gadis itu mengendarai motor dengan kecepatan tinggi hingga akhirnya tidak bisa mengendalikan rem saat sadar di depannya ada lawan. Gadis itu tidak terluka, hanya lecet sedikit di siku. Bercak darah mencuat keluar dari lukanya.
Sinar matahari yang menyilaukan mata membuat pandangan Ayub silau hingga ia tidak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas, ditambah lagi rasa sakit di kapala yang membuat pandangan mata menjadi kabur dan berkunang-kunang.
Ayub merasa lega melihat gadis itu mendekatinya. Ia sedang membutuhkan pertolongan untuk membantu tubuhnya bangun. Kakinya seakan tidak sanggup lagi berdiri. Sakit sekali.
“Hei, punya mata nggak?”
Ayub terkejut dan mendongak, namun detik berikutnya menunduk lagi menghindari silaunya matahari. Ia tidak menyangka gadis itu justru membentak.
“Aku buru-buru. Kau malah bikin perjalananku lambat. Waktuku jadi terbuang. Lihat motor metik yang kupakai, rusak gara-gara kamu. Itu motor pinjaman, tauk! Pakai apa aku memperbaikinya? Apa kau punya uang untuk mengganti kerugianku? Setelah ini, apa yang harus kukatakan sama orang yang punya motor saat kukembaliin nanti?” Kedua tangan gadis itu memegangi kepalanya sambil geleng-geleng kepala.
Ayub membuka kaca helm. Berusaha bangun meski kesulitan dan nafasnya tersengal.
“Heh, denger nggak apa yang kukatakan?” gertak gadis itu dengan mata memicing.
Meski terseok-seok, akhirnya tubuh Ayub berhasil tegak setelah berjuang dengan susah payah. Sesekali tubuhnya itu terhuyung-huyung hampir tumbang. Berasa naik kapal laut.
“Apa kau tuli? Nggak punya kuping? Atau bisu? Sial banget aku ketemu orang yang hidupnya sialan kayak kamu.” Gadis itu semakin emosi dengan mata membulat dan gigi gemeletukan, sementara tangan menunjuk-nunjuk ke muka Ayub. “Minggir dong kalo ada orang mau lewat, jangan meleng. Badan aja gede, isi kepala kosong. Dasar manusia nggak guna, bisanya nyusahin orang doang. Mana uangmu?” gadis itu menyambar dompet di saku celana Ayub.
Ayub membiarkannya tanpa perlawanan. Gadis itu mengambil uang di dalam dompet tanpa menyisakan sepeser pun, lalu melempar dompet ke jalan dan menginjak-injak dengan sepatu hitamnya.
“Duit segini nggak bakalan bisa ngembaliin waktuku yang terbuang, nggak bisa ngeganti kerusakan motor pinjamanku, juga ngobatin luka-luka di badanku.” Ia menunjuk-nunjuk uang di tangannya dengan wajah memerah.
“Motorku udah di tepi, justru kamu yang nabrak dari belakang, kenapa malah kamu yang marah-marah?” balas Ayub masih dengan pandangan mengarah ke luka-luka di tangannya. Lengan bajunya robek dan dikotori bercak darah.
“Terserah. Kau udah bikin perjalananku sial. Kau juga bikin badanku luka-luka. Kalau kau nggak ada di depanku, semua ini nggak akan terjadi. Pokoknya kau yang bikin aku jadi celaka begini. Kau yang bikin hari ini rusak. s**t! Terkutuk! b******k!”
Belum sempat Ayub menjawab, gadis berseragam putih abu-abu itu sudah membalikkan badan dan berjalan menjauhi. Kemudian menendang ban motor Ayub yang masih tergeletak di tepi jalan berkali-kali sambil meneriakkan umpatan. Setelah itu, ia menaiki motor metik dan berlalu pergi.