Bastian

2016 Words
"Ah iya. Lu kan pulang sama Asha yak!" Ia menepok jidat. "Gue juga kagak nawarin lu kali, Din!" "Asem emang lu, Dit!" Adit terbahak. Ia sudah duduk di atas motornya. Mereka sedang berada di parkiran motor sekolah. Yeah memang sudah jam pulang. Kalau Andra sih masih di ruang OSIS bersama yang lain. Biar begini, ia kan menjabat sebagai bendahara OSIS. Ganteng-ganteng begini jadi pengurus OSIS juga loh. Tapi masa jabatan mereka memang akan segera berakhir. Harus berganti dengan angkatan di bawah mereka. Apalagi mereka sudah berada di tahun terakhir. "Terus lo mau nungguin?" "Ya mau gimana? Males gue naik angkot jam segini. Panas tauk!" Adit terkekeh. "Atau kalo enggak, gue anter lo dulu deh. Baru abis itu gue balik lagi ke sekolah." "Gak usah deh. Ngapain sih ngabisin bensin?" Ia sibuk menelepon Ardan. Ardan juga masih ada di sekolah. Tapi belum terlihat. Katanya sih dipanggil guru kewarganegaraan. Bukan karena kentut. Tak tahu juga kenapa dipanggil. Biar pun slengekan, Ardan bukan anak berandal. Lalu kenapa dipanggil? Itu juga yang menjadi pertanyaan bagi mereka. Andra keluar begitu rapat beres. Ia sih tak seperti Pras yang masih sibuk mengurus hal detil. Ia langsung keluar sendiri. Sekolah tentu saja sudah sepi. Ketika ia melintasi koridor, hampir tak ada orang. Tapi setahunya ada yang ikut kegiatan ekstrakulikuler hari ini. Ia sudah tak ikut apa-apa lagi. Ya memang tak ada yang diikuti kecuali band sekolah sih. Mendekati parkiran, ia melihat dua orang sedang nongkrong. Siapa? Adit dan Dina. Yang satu pasti menunggu Fasha. Yang satu lagi pasti menunggu Pras? "Tuh si Andra udah keluar." Adit menunjuk ke arahnya. Kebetulan sekali motornya diparkir di sebelah Adit pagi tadi. "Pras mana?" "Ya lo tahu lah Pras gimana, Din." Dina menghela nafas. Memang tak bisa dipercaya. "Jadi cowok ribet amaaaat." Dina mengeluh. Dua laki-laki di dekatnya terbahak. Sudah tak heran dengan kelakuan Pras dan keluhan Dina. "Lo kasih tau dong, Dra. Sebagai sahabat terbaik, dia tuh harusnya sadar kalo ada ceweknya yang nungguin. Masa tiap gue nungguin dia nih ya? Udah berjam-jam, ujung-ujungnya disuruh naik angkot. Kan asem!" Andra dan Adit terbahak. "Kalo gitu caranya, mending bilang gitu dari awal. Dari pada gue udah nungguin berjam-jam." Dina masih dongkol. Akhirnya ya dengan setia, dua cowok ini ikut menemaninya menunggu Pras. Meski Andra menawarkan diri. Ya kalo mau diantar pulang, ia kan bisa memutar ke sana dulu. Meski agak jauh. Ya rumahnya memang lumayan jauh. Sejauh ini, papanya sering pindah rumah karena banyak membuka kantor cabang. "Lo udah tahu si Pras kayak gitu, masih aja percaya." "Namanya juga cewek, Dra," sahut Adit. Lalu ia ditoyor Dina. Adit terbahak. Ya namanya juga buta cinta ya? Hahaha. "Kalian berdua sih belum ada yang jadi." "Apa nih maksudnya nih?" Adit enggan membahas urusan itu. Hahaha. Dina langsung terbahak. Ya tahu lah mereka seperti apa. Andra geleng-geleng kepala. "Satu angkatan juga tahu kali, Dit. Gak usah ngeles lah." Ya maksudnya Adit yang naksir Fasha kan? Tapi mereka tak tahu sama sekali dengan perasaan Fasha kan? Dina dan Andra kompak mengoloknya. Adit menghela nafas. Ya pasrah sih kalau sudah diledek seperti ini. Mereka kompak sekali. Tak lama, yang muncul ya Ardan. Cowok itu mengusap wajahnya. "Ngapa dah lo?" "Tau tuh si pak Kemas. Banyak banget yang diminta bantu. Angkat ini lah itu lah. Harus berjiwa nasionalis katanya gak boleh nolak." Mereka terbahak. Ya sudah pasti Ardan dikerjai oleh guru yang satu itu. "Gue pulang sama lo aja deh." Dina memutuskan untuk pulang bersama Ardan. Ya kalau menunggu Pras nih ya yang ada ia tak pulang-pulang. "Giliran dibuang sama Pras, lu datengin gue!" keluh Ardan. Andra geleng-geleng kepala. Ia juga bersiap hendak pulang. Hanya Adit yang masih betah berada di posisinya. Andra memakai helm. Ia berpamitan lebih dulu dan tak tahu kerusuhan apa yang terjadi di parkiran kala itu. Motornya sudah melaju melalui jalan seperti biasa. Tiba di lampu merah, matanya menyipit. Ya jauh di depan sana ada halte. Ia sepertinya melihat gadis yang tak asing duduk di sana. Tapi belum begitu yakin juga. Begitu lampu berganti hijau, ia melajukan motornya dengan pelan. Ya sengaja biar bisa melihat gadis berseragam SMA duduk di halte. Lalu apakah itu benar Farras? Bukan. Hahahaha. Ia sepertinya berhalusinasi. Tapi baru saja tertawa sendiri, tak lama ia benar-benar melihat Farras. Gadis itu keluar dari toko buku bersama beberapa temannya. Andra yang kaget, spontan mengerem. Alhasil? Ya ditabrak lah sama pengendara di belakangnya gara-gara mengerem mendadak. Ia jatuh. Suasana jadi kacau. Farras? Tak tahu karena gadis itu baru saja masuk ke dalam angkutan umum. Perhatiannya dan teman-temannya juga teralihkan ke depan. Padahal di belakang sana, Ardan dan Dina juga baru berhenti. Kaget karena melihat motor Andra yang dipapah dan tak lama, ada ambulans yang datang. Gara-gara melihat cewek, ia jadi celaka begini. Hahaha. Setidaknya lukanya tak parah. Meski harus dilarikan ke rumah sakit dan membuat satu keluarganya panik karenanya. Ardan dan Dina menunggui motornya yang hendak dibawa ke kantor polisi. Urusan bisa panjang tapi si penabrak yang di belakangnya tadi tak terima. Jadi tetap ingin dibawa ke kantor polisi. Hasilnya? Membingungkan. Bahkan polisi pun dibuat bingung. Karena apa? Dalam peraturan itu kan memang ada jaga jarak antar kendaraan. Jarak kendaraan Andra itu memang agak jauh dari kendaraan yang ada di depannya. Lajunya juga pelan. Yang menabraknya pun hanya satu motor yang ada di belakangnya. Begitu polisi hendak memeriksa motor yang ada di belakangnya itu, untuk memeriksa kecepatan terakhirnya, ia mengotot tak mau. Padahal ia yang mengotot agar permasalahan ini dibawa ke kantor polisi. Papanya Andra yang pusing karena harus bolak-balik rumah sakit, kantor, rumah, dan kantor polisi. "Dra.....Dra....gue kira sampai patah kaki gitu." "Asem lu!" Pras terbahak. Ia baru menjenguknya satu hari setelah Andra dirawat. Kabar Andra kecelakaan tentu saja langsung menyebar. Bahkan sampai juga ke telinga Farras yang pantas saja sejak pagi tak melihat motornya yang biasanya selalu terparkir di parkiran. @@ "Jadi kamu nganterin si Kiya, Dra?" "Jadi, ma. Kepagian sih. Tapi gak masalah. Andra ntar malem juga mau futsal. Jadi bisa pulang dari kantor siangan lah." Mamanya mengangguk-angguk. Ya urusan anaknya lah mau melakukan apa saja. Andra melirik jam di dinding. Ini masih sangat pagi sebetulnya. "Kiyaaaaaa buruaaaan! Abaaaang mau ngantoor tauk! Jangan kelamaaaan!" Ia sudah berteriak dari lantai bawah. Zakiya menggerutu. Ia juga sedang buru-buru bersiap agar tak ketinggalan pesawat. Kan tak enak hati kalau terlambat. Bisa kacau semua jadwalnya dan Rangga selama di sana. "BAWEEEEEEEL DEEEEH!" Ia mendengus. Buru-buru menutup risleting tasnya lalu memakai tasnya. Ia segera berjalan keluar dari kamar lalu menuruni tangga. "Udah nih." Ia malas diteriaki lagi. Andra beranjak dari kursi. Keduanya berpamitan pada kedua orangtuanya. "Berapa lama di sana, Kiya?" tanya mamanya. "Besok juga udah pulang kok, ma. Bentar doang karena ada kerjaan. Biasa lah." Mamanya mengangguk. Ya paham pekerjaan anaknya. Sudah biasa juga sebetulnya dengan kepergian Zakiya yang sering mendadak dan lupa memberitahu. Tahu-tahu sudah di negara atau kota mana. Namanya juga Zakiya. "Buruuaaaan!" Andra masih saja berteriak. Cowok itu sudah membuka pintu mobil. "Iish. Masih pagi begini, kantornya pasti belum buka deh." Ia dongkol. Hahaha. Meski tak urung berjalan juga menghampiri Andra. Lalu membuka pintu mobil dan duduk di sebelahnya. "Kek cewek deh!" sungutnya. "Makanya nikah sana. Cari cowok lah jangan sibuk kejar berita doang! Berita gak akan lari juga." "Yang ngomong juga kali! Cari cewek sana! Mainnya gender banget. Bukan berarti jadi cewek harus nikah muda tauk!" Andra mendengus. Padahal ia baru saja mau mengatakan kalau seharusnya cewek dulu yang menikah karena cowok itu santai. Hahaha. Tak ada patokan umur. Tapi akhirnya ia malah mengatupkan mulutnya karena Zakiya mengatakan itu. Ya tak ada maksud sih. Meski realitanya, dunia memang suka sekali memojokkan para perempuan bukan? Kalau ada perempuan yang dianggap telat menikah, dianggap terlalu pemilih. Padahal kalau cowok tak pernah dibegitukan kok. Kalau ada perempuan yang belum hamil, mereka yang disudutkan mandul lah atau apa lah. Perkataan yang sesungguhnya sangat menyakitkan. "Kiya tuh gak suka tahu, bang. Ngomong-ngomong yang kayak gitu." "Sorry deh." Ia terkadang masih keceplosan. Mungkin karena berkaca dari mama mereka yang menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. "Gak semua perempuan bakal mau jadi ibu rumah tangga kayak mama loh, bang. Mereka punya alasan masing-masing kenapa memilih jalan lain." Ya. Andra tahu. Tapi kalau dutanya, ia memang punya keinginan agar memiliki istri yang bersedia di rumah secara penuh. Untuk urusan nafkah, ia akan bekerja keras kok. Zakiya juga mengakui kerja kerasnya bukan? Lalu obrolan mereka menjadi panjang hingga menyerempet ke persoalan kehidupan. Mereka jauh lebih beruntung karena terlahir kaya. Karena masih banyak di dunia ini mereka yang hidupnya tidak seberuntung mereka. Keluarga mereka memang kaya. Tapi baik ia maupun Zakiya enggan menggunakan privelege itu untuk mempermudah segala urusan mereka. Papa mereka mengajarkan kalau kejujuran itu amat mahal nilainya. Ya Andra juga tahu. Kejujuran adalah hal yang paling dulit dilakukan setidaknya nagi dirinya. "Ada yang dengan mudahnya jadi influencer dan pengusaha muda karena orangtuanya kaya. Bisa kasih perusahaan." "Nyindir gue sama yang lain nih?" Zakiya tertawa. Ia juga menikmati kemudahan itu kok. "Ada yang punya orangtua yang jadi pejabat tinggi. Terlahir dalam keluarga yang sangat berkecukupan. Mereka bisa meraih cita-citanya dengan mudah dengan dukungan orangtua. Gak ada yang salah sih. Hanya mereka yang terlahir di keluarga miskin mungkin akan bertanya-tanya kenapa Tuhan seakan gak adil untuk kehidupan mereka." Andra tersenyum kecil. "Lo lagi ngomongin anak DPR yang dapat beasiswa pemerintah untuk kuliah di luar negeri? Atau ngomongin gue yang dibiayai S2 sama papa nih?" Zakiya tertawa. "Banyak kali, bang, yang kayak gitu. Kalo dibiayain S2 sama orangtua itu menurut Kiya ya wajar. Orangtua pasti mau mengusahakan yang terbaik. Tapi kalo mampunya sampai biayai ke luar negeri ya kenapa gak dibayarin aja dari pada menikmati beasiswa yang notabene-nya uang negara. Kiya tahu mereka juga punya hak. Tapi Kiya sendiri gak pernah berpikir untuk melakukan itu karena banyak loh yang kepengen dapetin itu dan mereka kurang mampu. Kalo Kiya kan masih bisa tuh minta papa. Mereka yang kurang mampu itu gak bisa minta orangtua mereka. Gak salah kan?" "Enggak lah. Gak ada yang salah. Temen gue yang jadi anggota DPR itu cantik loh." Zakiya tergelak. Ia tahu karena memang dulu waktu sarjana ya satu kampus dengan abangnya. Keluarga mereka juga saling kenal. Usai mengobrol, ia malah menguap. Ya saking ngantuknya. Abangnya berbicara sendiri sembari fokus menyetir. Tak sadar kalau diabaikan. Hahaha. Tahu-tahu sudah terdengar dengkuran halus. Satu jam kemudian, Kiya terbangun. Ia tak sadar lagi kalau pulas. Andra menegurnya begitu ia membuka mata. Ia tertawa. Andra kembali fokus denhan jalanan. Ini sudah masuk ke tol menuju bandara. Jadi seharusnya, kurang dari setengah jam ya harusnya mereka sudah sampai. Zakiya mengajaknya kembali berbicara soal privelege. Andra justru ingin lepas dari itu. Ia paling malas mendengar ada orang yang menyebut... "Iya lah, Dra. Bokap lu kaya. Gak ada yang perlu dikhawatirin." Kesuksesannya juga selalu dikaitkan karena keluarganya kaya. Seolah-olah usahanya tak ada untuk mencapai kesuksesan itu sendiri. Padahal kan tak begitu. Tak lama, mobil yang dikemudikan Andra akhirnya memasuki kawasan bandara. Zakiya segera mengambil tasnya. Ia mengecek barang-barangnya. Takut ada yang tertinggal. Begitu mobil Andra berhenti, ia segera keluar. "Hati-hati lo, bang." Ia mengangguk. Ia melihat Zakiya berjalan sendirian. Ia tersenyum kecil. Mereka memang sama-sama sudah dewasa sekarang. Ia menghela nafas dan segera kembali mengemudikan mobilnya menuju kantor. Akhir-akhir ini, ia tertarik dengan mobil terbang. Tapi harganya mahal sekali. Gaji sebagai manajer di kantornya tentu saja tak cukup membeli mobil yang harganya puluhan miliar rupiah itu. Jadi ya ia menikmati segala kemacetan begitu keluar dari bandara. Satu jam kemudian baru tiba di kantornya. Ia melihat Bastian muncul. Cowok itu juga baru saja sampai. "Lama gak lihat lo, bro." Bastian terkekeh. "Abis dari US gue." "Kerjaan?" "Enggak. Cuti aja biar sekalian." Andra mengangguk-angguk. Lalu cowok itu bersiul-siul. Kenapa? "Wooi, Naad!" Ia sengaja memanggik cewek itu. Nadine yang muncul dari lobi hendak berjalan menuju lift. Gadis itu tersenyum kecil. Andra justru menyenggol-nyenggol lengan Bastian. Apa maksudnya? "Udah jomblo tuh. Sama yang sebelumnya kan gagal tuh. Siapa tuh? Jessica yak? Naaah mending sama yang ini aja." "Semua orang lo comblangin, Dra." Andra tertawa. Ya kerjaannya memang sibuk mencari jodoh orang sampai lupa mencari jodoh sendiri. Pintu lift tertutup. Kalau Bastian? Belum berniat untuk mencari pengganti seseorang yang sudah menikah. Ia hanya ingin menikmati waktu untuk diri sendiri. Ya hanya ingin itu. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD