Part 6. Jadi Pendiam

1833 Words
"Aya... yuk makan dulu, Sayang. Ibu udah masakin mie kesukaan kamu tuh. Katanya waktu itu kangen mie bikinan ibu? Aya..." "Kalo gak mau udah jangan dipaksa, Bu. Mending tak makan saja mie nya dari pada mubadzir, ya," "Ih, Ayah. Aya dulu yang dipikirin. Ibu cubit juga perut Ayah yang buncin ini nanti, ya," "Geli, Bu. Ahahahaha... ampun..." Sementara kedua orang tuanya bercanda di depan kamarnya, Aliyah sendiri sekarang tengah murung di dalam kamarnya sambil mencoret-coret buku dengan posisinya yang saat ini tengah tengkurap di atas tempat tidur. Sudah 3 hari sejak kejadian 'itu' namun Aliyah masih tidak bisa bersikap seperti biasa. Dia menjadi lebih pendiam, sekarang. Saat diajak mengobrol pun, wanita cantik itu terkesan cuek dan entah mengapa sekarang Aliyah juga sulit sekali saat disuruh untuk makan. Aliyah mengubah posisinya menjadi berbaring telentang. Dia menatap langit-langit kamarnya merasa hampa. Ibu dan Ayahnya hanya tahu jika dia dan Adit bertengkar karena sesuatu hal. Karenanya Aliyah menjadi pemurung seperti ini. Rasanya di dalam hati kecil Aliyah, dia ingin sekali menceritakan segalanya kepada ibunya itu, agar dia bisa menangis di dalam pelukan wanita yang selalu mengerti segala isi hatinya. Dan soal pekerjaan, Aliyah memang tetap bekerja seperti biasa tapi wanita itu tidak terlihat bersemangat seperti dulu. 'Sudah tiga hari dan aku belum bisa memutuskan apa yang sebaiknya kulakukan,' batin Aliyah dalam hati. Ya. Sudah tiga hari ini Aliyah merasa dilema. Pekerjaannya sendiri juga menjadi berantakan karena hal itu. Desain pesanan klien tak kunjung dikerjakannya sampai sekarang dan hal itu membuat partner kerja Aliyah menjadi uring-uringan dengan terus menelepon dan mendesak Aliyah agar segera menyelesaikan pekerjaannya. "Astaga, dia lagi," ucap Aliyah saat melihat layar ponselnya menyala dan nama penelepon tertera di sana. Karena merasa lelah terus diganggu, akhirnya Aliyah memutuskan untuk mengangkat panggilan itu kali ini. "Apa, sih? Kan aku udah ngomong kalo butuh waktu buat ngerjain revisiannya. Lagian kan____" "Ada berita bagus nih buat lo. Klien nya udah setuju dan fix sama desain yang kemarin. Karena waktunya mepet dia mau kita langsung kerja dan siapin bahannya buat besok. Nah, kan lo penanggung jawab event ini, jadi lo tahu harus gimana, 'kan? Ayok lah. Masa Aliyah yang biasanya tepat waktu dan kerjanya cepet jadi males-malesan sama lelet sih. Ini kalo lo gak mau gue kasih ke anak-anak lain nih proyeknya," "Yaudah deh iya. Besok pagi aku ke kantor. Puas?" ucap Aliyah yang sebenarnya juga mengatakannya dengan setengah kesal membuat teman sekaligus bosnya di seberang sana terdengar tertawa. "Nah gitu, dong. Katanya mau pergi ke Perancis sebagai desainer terkenal suatu hari nanti? Ke mana perginya ambisi Aliyah itu? Lo udah ga pengen ke Perancis lagi? Udah nyerah gitu aja sampe di sini? Ah payah," "Bukannya nyerah, Na. Tapi____" "Udah kita lanjutin ngobrol besok aja. Inget jam 8 pagi lo udah harus ada di sini. Bye bye..." Tut tut tut.. Aliyah meletakkan ponselnya sedikit kasar dan juga asal di sana. Ya. Teman kuliah yang sekarang menjadi bos juga partner kerjanya itu memang selalu menggunakan impiannya untuk membuat Aliyah kembali mau bekerja dan tentu saja itu berhasil. Ya. Aliyah memang memiliki cita-cita setinggi itu. Dia ingin menginjakkan kakinya di negeri yang terkenal dengan keseniannya itu sebagai seorang desainer yang hebat. Sebenarnya Aliyah bekerja dalam bidang desainer tata ruang dan juga dekorasi. Dia sangat handal dalam bidang itu. Dulu dia bertemu dengan Lina, saat keduanya kuliah dalam jurusan yang sama. Desain interior. Sebenarnya dulu Aliyah iseng saja mengambil jurusan itu, tapi juga ada setitik kecil keinginan di dalam hatinya yang memang menginginkan jurusan itu begitu dia lulus SMA. Dan ternyata jurusan itu sangatlah fleksibel. Setelah lulus, kau bisa bekerja di berbagai macam bidang. Banyak sekali hal yang bisa kau lakukan dengan ijazah itu. Intinya, semua yang kau pelajari di dalam jurusan itu, tidak akan menjadi sia-sia. "Dia selalu berhasil membuatku menjadi kesal. Aku menjadi lapar, sekarang," ucap Aliyah kemudian bangun bari posisi berbaringnya dan akhirnya memutuskan untuk keluar kamar setelah seharian ini menghindari Ibu dan Ayahnya. Ya. Itu cara teraman agar Aliyah tidak salah ataupun keceplosan bicara. Semuanya akan menjadi rumit begitu orang tuanya tahu semua yang terjadi. Cklek.. "Akhirnya keluar juga anaknya, Yah," ucap Ibu terlihat tengah asik bermain kartu dengan Ayah yang sekarang duduk di hadapannya. Aliyah berusaha menahan untuk tidak tersenyum melihat tingkah kedua orang tuanya itu. Ya. Bagaimana tidak? Ayah dan Ibunya terlihat sengaja menata bangku dan meja kecil tepat di depan pintu kamarnya seolah memang sengaja ingin menunggunya sampai keluar dari kamar. Dan mungkin karena bosan, akhirnya keduanya bermain kartu bersama seperti itu. "Kurang minuman sama cemilannya nih. Pas udah kayak pos ronda di depan gang," ucap Aliyah akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. "Iya juga, Yah. Yaudah ambilin sekalian di dapur. Mau ke dapur, 'kan? Laper, 'kan?" ucap sang Ibu dengan masih tetap fokus pada permainannya membuat Aliyah tertawa kecil. "Aliyah gak laper kok. Cuma pengen makan aja. Soalnya biar kuat menghadapi baginda Lina besok. Ibu tahu sendiri dia cerewet banget. Permisi ya, Ayahku sayang. Aya mau lewat," ucap Aliyah kemudian terlihat berjalan melewati celah kecil antara dinding dan Ayahnya di sana untuk pergi ke dapur. "Rencananya berhasil, Yah," "Siapa dulu dong? Ayah gituloh," Aliyah yang masih bisa mendengar percakapan kedua orang tuanya di belakangnya itu lagi-lagi akhirnya dibuat tersenyum karena merasa betapa beruntungnya dia lahir dan tumbuh di dalam keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang itu. Sejak kecil kedua orang tuanya memang menyayanginya tanpa batas. Mereka tidak pernah menuntut Aliyah untuk menjadi juara. Setiap Aliyah mengikuti lomba pun, bentuk semangat yang diberikan kedua orang tuanya adalah bukan untuk agar berusaha menjadi juara satu tapi, berusaha melakukannya sebaik mungkin dan ambil pengalaman dari sana. Rasanya, Aliyah harus berterima kasih kepada Tuhan karena mendapat nikmat sebanyak itu di kehidupan ini tapi, apakah Tuhan masih mau mendengarkannya setelah dia melakukan dosa besar 'itu' ? "Fokus Aliyah. Jangan mikir aneh-aneh," ucap Aliyah pada dirinya sendiri kemudian terlihat mencari makanan yang bisa di makannya di dapur dan ternyata, sudah ada spaghetti di sana. Pasti Ibunya sudah membuatkan itu khusus untuknya. "Wah.. masih hangat," ucap Aliyah kemudian duduk di meja makan dan mulai memakan spaghetti itu. Seolah belum makan selama 1 minggu, Aliyah terlihat lahap sekali. Sebenarnya dia tidak begitu lapar, hanya saja dia merindukan momen dimana dia makan dan menikmati masakan ibunya itu dengan sepenuh hati. Tanpa harus memiliki beban pikiran saat makan dan hanya menikmati waktu yang ada saat itu. 'Perasaan stres ini, aku harus segera menghilangkannya,' batin Aliyah dalam hati. "Kok bengong sih? Spaghetti nya ga enak, ya?" Aliyah mendongak menatap Ibunya yang entah kapan sudah berada di sana. Aliyah terlihat berusaha tersenyum untuk menutupi luka hatinya dan juga berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis saat itu juga. "Enak kok, Bu. Enak banget," ucap Aliyah kemudian kembali menunduk dan melanjutkan makannya. Ibu Aliyah terlihat langsung ikut duduk di dekat Aliyah di sana dan seperti sengaja ingin menunggui putrinya itu makan. "Aya..." Aliyah merasa tidak bisa menahan dirinya lagi saat Ibunya di sana meraih tangannya yang berada di atas meja dan menggenggam tangannya erat di sana. Dan benar saja, air mata itu keluar tanpa bisa dicegahnya. "Ibu tau kamu sedang ngalamin sebuah masalah, 'kan? Ibu ga akan maksa kamu buat cerita sekarang. Ibu cuma ingin Aya kembali ceria doang. Itu aja. Aya ga tahu kalo Ayah dua hari ini juga ikut murung terus suka ngelamun juga sambil liat tanaman di samping rumah karena khawatir liat Aya yang kayaknya lagi sedih banget. Dengerin Ibu, apapun masalah Aya, apapun yang terjadi sama Aya, inget Aya punya orang tua. Aya ga sendirian. Ayah sama Ibu ga akan ninggalin Aya meski apapun yang terjadi. Kami sayang sama Aya. Sayang banget," ucap Ibunya membuat Aliyah langsung berhamburan memeluk Ibunya itu dengan erat dan menangis di pelukan wanita yang selalu menyayanginya tanpa syarat itu. "Maafin Aya, Bu. Maaf. Maaf udah bikin Ibu sama Ayah cemas. Maafin Aya. Maaf," ucap Aliyah kemudian memeluk Ibunya itu lebih erat lagi membuat Ibunya menepuk dan mengelus pelan punggung putrinya itu sayang. "Selagi Ibu sama Ayah masih sehat dan kuat, Aya ga perlu takut apapun. Ayah sana Ibu pasti bakalan lindungin dan jagain Aya sekuat tenaga, jiwa dan raga," ucap Ibu Aliyah di sana membuat Aliyah yang tadinya sesenggukan menangis langsung terkikik geli saat mendengar bagaimana cara Ibunya berbicara tadi. "Pantes Ayah sayang banget sama Ibu, orang berjiwa tentara tangguh begini," ucap Aliyah pelan dengan tetap memeluk erat Ibunya itu. "Ga ada hubungannya, tau. Ayah sayang sama Ibu, karena Ibu tuh dari pas waktu muda dulu udah manis, lucu, cantik, gemesin, baik, terus_____" "Stop ah. Aya mau kenyang karena makan, bukan karena dengerin kehaluan Ibu yang semakin ekstrim setiap harinya," ucap Aliyah setelah melepaskan pelukannya dan kemudian terlihat melanjutkan acara makannya lagi setelah beberapa kali tadi dia mengusap air matanya terlebih dahulu. Melihat putrinya yang sedikit lebih membaik, Ibu Aliyah merasa lega. Apalagi yang diinginkan seorang Ibu selain melihat anaknya bahagia. Meski tidak dapat dipungkiri jika sebenarnya kekhawatiran itu masih tersimpan di dalam hati sang Ibu karena masih belum mengetahui apa sebenarnya yang sudah menimpa putri semata wayangnya itu. Masalah apa yang tengah menghantuinya dan kenapa putrinya tidak mau bercerita padanya? Apa sebenarnya sesuatu yang tidak bisa dibagi putrinya padanya itu? 'Tuhan... lindungi putriku ini di mana pun dia berada. Terus buat dia bahagia dan jauhkan dia dari segala masalah. Kembalikan senyum di wajahnya seperti sedia kala,' • • • • • 'Ya Allah yang Maha pemaaf, Aya tahu Aya salah. Aya tahu dosa Aya sangat besar dan tak terampuni. Aya juga ga berharap dimaafkan sekarang tapi Aya masih akan selalu minta terus hal ini, tolong jaga Ayah dan Ibu Aya. Berikan keduanya kesehatan dan kebahagiaan. Beri mereka kekuatan sebanyak mungkin kalo-kalo nanti mereka tahu tentang masalah yang Aya alami ini. Aya ga mau mereka terluka dan bahkan menjadi sakit gara-gara Aya, Ya Allah. Tolong kabulin permohonan Aya ini. Aya cuma mau yang terbaik buat kedua orang tua Aya. Amin...' Begitulah doa Aya setelah dia selesai menunaikan Shalat tahajud. Aya belum tidur sama sekali dan karena melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah 2 pagi, akhirnya Aya memutuskan untuk menunaikan Shalat tahajud berharap dia mendapatkan ketenangan hati yang sudah tiga hari ini tidak didapatkannya. Setelah merasa Shalat tahajudnya selesai, Aya memilih untuk langsung berbaring menghadap samping dan meringkuk memeluk dirinya sendiri. Pikirannya masih terlalu kalut dan tidak bisa tenang sama sekali. Ketakutan, kekhawatiran dan kecemasan menghantui setiap langkahnya. Seperti layaknya sebuah pondasi gedung berlantai 5, yang ternyata salah satu tiang penyangganya ternyata tidak begitu kokoh. Hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan untuk itu, antara merobohkan pondasi bangunan yang sudah berdiri itu dan membangunnya kembali dari awal atau meneruskan pembangunan gedung itu meski tahu suatu bangunan itu akan membahayakan calon penghuni yang akan tinggal di sana. 'Akan lebih menyakitkan saat Ibu dan Ayah nanti tahu tentang masalah ini dari orang lain. Apakah aku harus memberitahu mereka sesegera mungkin dan menerima konsekuensi atas apa yang sudah kulakukan? Tapi bagaimana dengan ketakutan ini? Bagaimana jika Ayah dan Ibu nanti tidak mau menganggapku sebagai putri mereka lagi? Aku tidak siap melukai hati mereka. Mengingat kesehatan Ayah yang sering mengalami asma mendadak, apakah Ayah akan kuat mendengar kenyataan ini, nanti?' Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD