Sabtu ini mestinya menjadi hari spesial untuk keluarga Bernneth, Gerald dan kelima adiknya bahkan sudah menunda kesenangan mereka yang biasa mereka lakukan di akhir pekan untuk membahagiakan Tuan Putri Bernneth yang merupakan adik terakhir mereka yaitu Bella Bernneth. Tapi justru sabtu ini menjadi tangis pedih untuk Bella, hari ini adalah pemakaman Mommy. Kyle Bernneth menghembuskan nafas terakhirnya dua hari lalu, setelah ditemukan tidak sadarkan diri di Luxury Spa, tujuh hari lalu dengan luka hantaman benda tumpul di kepalanya. Tidak CCTV di tempat kejadian, karena kamar mandi merupakan tempat privat yang jelas tidak akan memiliki CCTV. Apalagi Luxury Spa adalah tempat elite yang memang terkenal dengan keamanannya yang super ketat. Kejadian ini benar-benar di luar dari jangkuan mereka. Membuat Gerald Bernneth tidak berhenti untuk mengutuk dirinya sendiri. Jika saja waktu itu Gerald bersedia menemani Mommy dan Bella pergi ke sana dan bukan malah sibuk dengan pekerjaan dan kencannya. Jika saja dia tidak mengambil kesempatan untuk merayu Matilda di bar dan membuat janji di siang harinya, mungkin dia bisa mengabaikan pekerjaanya untuk menemui Mommy dan Bella. Jika saja dia lebih peduli.Jika saja dia lebih perhatian.Jika saja.
“Seharusnya aku bersedia saat Mommy memintaku untuk menemaninya.”
“Gerald, berhenti menyalahkan dirimu sendiri.” Heaven adik ketiganya mencoba menenangkan Gerald yang masih begitu kacau. Tampak sekali bekas air mata yang masih hangat di mata Gerald. Ia hanya tersenyum menatap Heaven yang terlihat begitu tenang tanpa air mata di wajahnya.
Heaven adalah satu-satunya keluarga yang tidak menangis di pemakaman ibu mereka. Bukan karena dia tidak berduka, Gerald tau Heaven juga ikut berduka. Tapi adik lelakinya yang satu ini memang sudah cukup lama memiliki gangguan mental yang membuatnya tidak bisa mengekspresikan rasa sakit dan bahagianya. Gerald dan adik-adiknya memaklumi hal itu. Dan itu justru membuat Heaven menjadi orang yang paling diandalkan disaat seperti ini.
Tapi Gerald adalah kakak tertua di keluarga ini, dia harusnya yang justru mengatasi situasi ini. Bukan Heaven, dia harus tegar menghadapi semuanya. Paling tidak, dia harus memastikan semua berjalan sesuai dengan rencana dia dan paman. Dia juga harus memastikan pembagian hak waris dibagikan secara adil pada adik-adiknya untuk mencegah perkelahian hanya karena persoalan harta. Dia harus menjamin bahwa keluarganya dan adik-adiknya bahagia seperti yang sudah Mommy lakukan.
“Ya kamu benar Heaven.” Gerald berdiri. “Apa kamu sudah mengurus soal pers yang bertanya tentang kejadian di spa?”
“Ya, aku sudah membereskan semuanya. Aku memastikan setiap artikel dan media yang menyebut kematian Mommy sebagai serangan jantung biasa.”
“Bagus Heaven.” Gerald menatap kelima adiknya yang masih berduka. “Kita harus mulai lembaran baru sekarang, kejadian Mommy tentu saja mesti kita selidiki lebih jauh. Tapi sebelum itu, kalian harus melepaskan Mommy dengan ikhlas, aku tidak ingin ada pembalasan dendam membabi buat yang nantinya akan membuat diri kita sendiri hancur. Kita harus membuka lembaran baru tanpa kebencian di dalamnya. Di sini kita juga harus berjanji untuk menjaga satu sama lain lebih baik lagi. Aku harap kalian mengerti soal ini. Karena aku rasa, salah satu dari kita bisa jadi menjadi target selanjutnya. Dan untuk pembagian warisan, aku sudah diberitahu oleh paman bahwa pengacara Kim dan paman akan membahas soal itu besok. Lebih cepat lebih baik, kata mereka.”
“Aku tidak ingin warisan,” celutuk Bella.”Aku ingin Mommy.”Ia kembali memeluk Lucy, menangisi kepergian ibunya.
“Aku akan membawanya ke atas,” usul Lucy. Ia menatap Bella. “Tuan putri, kau harus istirahat sekarang, Sayang.”
“Tapi aku ingin Mommy Lucy.”
“Sayang, Mommy sudah tidak ada.”
“Mommy.” Lucy sekali lagi menangis, bahkan tangisannya lebih terlihat menakutkan dari omelan ibu mereka sekarang.
Gerald menghembuskan nafas frustasi, mengusap wajahnya berjalan lalu mengangkat tubuh Bella mengendongnya seperti gadis berumur lima tahun. Ia menyunggingkan senyum seperti yang ibu mereka lakukan saat menidurkan Bella yang masih berusia lima tahun.
“Tidurlah Bella, kau akan bertemu Mommy di mimpi. Aku akan bersamamu sampai kau tidur. Okey?” Ia menatap semua saudaranya yang masih berkubang dengan air mata dan rasa lelah. “Bukankah kalian juga butuh tidur? tidurlah.”
“Ya kau benar Gerald,” seru William, ia bangkit berdiri diikuti saudara lainnya.
“Aku akan menemanimu menidurkan Bella,” usul Lucy.
“Kau tidur saja Lucy. Tidak apa-apa. Aku bisa menangani Bella lebih baik dari kamu, ya meski aku sudah jarang di rumah.”
“Baiklah kalau kau memaksa. Beristirahatlah segera setelah Bella tidur.”
“Dia akan tidur bersamaku Lucy,” celetuk Bella kemudian.
“Ya aku akan tidur bersama Bella.” Gerald segera berjalan menuju lift dan naik ke lantai tiga, di mana kamar Bella berada. Lorong dengan baluran gaya Eropa klasik serba putih yang membuat bangunan ini tampak megah. Gerald menyusuri lorong hingga berhenti di pintu paling ujung. Dimana sebuah tulisan bernama Bella Bernneth terpampang di sana.
Gerald membuka pintu dengan hati-hati. Di mana ia ternyata sudah disambut oleh dua pelayan pribadi Bella.
“Tuan.”
“Biar aku yang menidurkan Bella untuk malam ini. Kalian boleh kembali ke kamar”
“Baik Tuan.”
Dua pelayan itu melangkah cepat, menuju pintu belakang lalu keluar dari ruangan Bella.
“Gerald.”
“Ya Tuan Putri.”
“Apakah aku benar-benar bisa bertemu Mommy, aku rindu Mommy.”
“Ya kamu bisa bertemu dengannya.” Gerald meletakkan Bella di atas kasur dengan sprei pink kesukaanya. Ia mengusap lembut rambut pirang Bella. “Yang kamu perlukan hanya memejamkan matamu Bell, lalu kamu akan melihat Mommy,” lanjut Gerald.
Bella menghembuskan nafas frustasi. Ia menatap Gerald dengan senyum putus asa lalu menangis kembali.
Tangis Bella benar-benar membuat Gerald frustasi, bagaimana bisa ibunya pergi secepat ini. Mommy bahkan belum melihat putra-putrina ada di altar gereja, mengucapkan janji setia. Dan dia sudah pergi, padahal itu yang selalu Mommy bicarakan pada anaknya. Khususnya dirinya.Sial.Sial.
Tangan Gerald mengepal penuh dengan amarah. Amarah untuk sang pembunuh, amarah untuk petugas keamanan yang sama sekali tidak becus melakukan tugasnya, amarah pada dokter yang tidak bisa menyelamatkan Kyle, amarah pada dirinya karena tidak bisa memenuhi keinginan Kyle untuk menikah.
Seharusnya dia sudah menikah.
Seharusnya Kyle bisa melihatnya berada di altar bersama perempuan yang akan bersamanya seumur hidup.
Seharusnya Kyle bisa menangis haru saat pesta pernikahan.Seharusnya.
Tapi Gerald bahkan selalu menentang sebuah pernikahan. Menentang semua wanita yang selalu Kyle sodorkan untuknya. Seharusnya ia tidak melakukannya. Seharusnya ia menyetujuinya. Seharusnya semuanya tidak begini. Pelan-pelan air mata Gerald keluar, bersama dengan rintihan tangis Bella. Mereka berdua kemudian tertidur, berpelukan dalam kepedihan yang sama.