2. Mencoba Mencari

2002 Words
"Bukan kehilangan yang kamu kecewakan. Tapi kenangan yang terus tumbuh dan kamu enggan untuk melepaskannya." ---- AlphaBeta Building 14-18 Finsbury Square, Finsbury, London EC2A 1AH, Inggris Raya. Nicholas Morales, asisten pribadi Edward, terlihat memasang wajah siaga. Dari kejauhan, ia sudah melihat kalau bosnya itu sedang melintasi koridor gedung AlphaBeta menuju ruang kerjanya. Semenjak pulang dari Indonesia beberapa bulan yang lalu, Edward memutuskan untuk kembali memimpin perusahaan konstruksi dan pertambangan milik keluarga Cullen yang ada di London. Walaupun statusnya belum resmi menjadi CEO, tetap saja ia disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan rumit yang harus diselesaikan. Beruntung selama ini Edward memiliki asisten yang cekatan seperti Nicholas. Pria itu, selain pintar juga memiliki loyalitas yang tinggi. Sudah tidak terhitung banyaknya pengorbanan yang ia lakukan demi membantu memajukan perusahaan. "Akhirnya anda datang juga," sapa Nicholas saat Edward sudah berdiri sempurna di depan ruang kerjanya. "Mr. Hans hampir menunggu anda selama 30 menit didalam," lanjutnya kemudian. "Astaga!" Edward berseru pelan. "Aku lupa kalau ada janji dengannya pagi ini." Edward kemudian langsung masuk dan menghampiri Hans yang sedang duduk di sofa. Pria bertubuh besar itu terlihat mulai kesal karena menunggunya terlalu lama. "Pantas saja Tuan Alexander belum mau mengangkatmu menjadi seorang CEO," ucap Hans saat melihat Edward mendudukkan tubuhnya di sofa. "Kau benar-benar tidak bisa menghargai waktu, Ed," gerutunya kemudian. Bukannya tersinggung atau marah, Edward malah tertawa. Ia tahu, pengawal pribadi Kenzie Winata itu benar-benar kesal karena ulahnya yang lupa akan janji temu antara mereka berdua. "Aku minta maaf, Hans. Ini murni ketidaksengajaan. Terlalu banyak yg ku pikirkan sampai aku lupa memiliki janji temu denganmu pagi ini." Edward berucap sungguh-sungguh. Hans mengedikkan bahu. "Lupakan saja. Sekarang langsung pada pokok permasalahan. Sebenarnya untuk apa kau memanggilku kemari? Kau tahu sendiri, ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Belum lagi tugas dari Kiano tidaklah mudah untuk diselesaikan." Edward tahu benar apa yang Hans bicarakan. Selama ini, Hans tak ubahnya tangan kanan Kiano atau Kenzie. Keduanya sering kali mengandalkan kemampuan Hans untuk memecahkan berbagai macam masalah. Karena keahliannya inilah, Edward akhirnya tertarik untuk meminta pertolongan dengan pria bertubuh besar itu. Siapa tahu, setelah ini, masalah yang menimpanya bisa segera tarselesaikan. "Aku ingin kau menyelidiki seorang wanita bernama Naomi," sahut Edward. Hans mengernyitkan keningnya. Menatap Edward seolah menuntut penjelasan lebih. "Naomi? Apa dia mangsa barumu?" selidik Hans. Pria itu berkata tanpa beban sedikit pun. "Kau berucap seakan-akan aku ini predator wanita, Hans." Edward merasa tidak terima. "Semua orang juga tahu, siapa dirimu Sebastian Eduardo. Jadi, Artis atau model mana lagi yang kau kencani kali ini?" tukas Hans dengan santai. Seolah hapal dengan perilaku yang sering Edward tunjukkan. Ah, tidak. Bukan rahasia umum lagi kalau pria itu selalu berkencan dengan artis, model, atau sosialita yang satu kasta dengannya. "Entahlah, aku rasa wanita ini bukan artis atau model. Aku hanya penasaran saja. Tidak ... tidak ..." Edward menggelengkan kepala berkali-kali lalu kembali melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak hanya penasaran, tapi benar-benar ingin tahu siapa wanita ini sebenarnya." Mendengar itu, Hans dibuat semakin bingung. "Tidak bisakah kau bercerita dengan jelas? Bagaimana aku membantumu kalau kau memberi informasi setengah-setengah seperti ini." "Ceritanya panjang, Hans." Edward mendesah pelan. Seakan enggan menceritakan kisahnya secara gamblang kepada Hans. "Sepanjang apa? Sepanjang jalan kenangan? Aku bahkan siap mendengarkannya untukmu," balas Hans tidak perduli. Edward menarik napas panjang. Merubah posisi duduk yang awalnya bersandar menjadi tegak. Pandangan matanya kini tertuju pada Hans. "Begini, beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan seorang wanita di Liverpool. Yang aku tahu, namanya Naomi. Entah dia berasal dari keluarga seperti apa, aku benar-benar tidak tahu. Singkat cerita, kami berdua melakukan one night stand. Celakanya, ternyata dia seorang perawan. Ini bukan salahku. Wanita itu mabuk berat, bahkan saat itu dia yang terlihat agresif dan memimpin permainan. Untuk seorang perawan, dia cukup lihai. Aku bahkan merasa seperti diperkosa, Hans." "Uhukk ... " Nicholas yang berdiri tak jauh dari Edward terlihat terkejut hingga terbatuk mendengar cerita bosnya. "Yang benar saja, Ed!" seru Hans. "Mana ada istilah seorang wanita memerkosa pria. Apalagi prianya adalah kau yang seorang playboy." Hans dibuat geleng-geleng kepala. "Astaga, aku berkata jujur, Hans. Aku sudah memaksanya untuk menghentikan kegilaan yang ia lakukan. Tapi, wanita itu tidak perduli. Aku hanya bisa pasrah di bawah kendalinya. Beruntung wanita itu sangat cantik." Hans hanya terkekeh dan kembali memandang Edward dengan tatapan penuh selidik. Pria itu kurang lebih seperti Kiano, mengaku dirinya Playboy tapi tidak pernah sekali pun membawa wanita sampai naik ke tempat tidur. Lebih-lebih Edward, sebagai seorang keturunan bangsawan, ia terlalu selektif dalam memilih teman kencan. Tapi mendengar pengakuan pria itu barusan, Hans jadi penasaran, siapa sebenarnya Naomi ini. Hingga berhasil membuat pria itu takhluk dan melanggar komitmennya sendiri. "Lantas, apa yang menjadi masalah? Apa wanita itu hamil? Minta pertanggung jawabanmu? Menjebakmu? Atau apa?" cecar Hans tanpa jeda. Helaan napas Edward, mengawali jawabannya. "Jangankan minta pertanggung jawaban. Aku sempat menawarkan uang, ia menolaknya mentah-mentah. Bahkan dengan jelas mengatakan kalau tidak tertarik sedikitpun denganku. Bisa kau bayangkan, bagaimana perasaanku, hah?" Bukannya iba, Nicholas dan Hans kompak menertawakan Edward. Pria itu pasti kehilangan harga dirinya. Terbiasa di puja kaum hawa, tapi kali ini malah tidak dipandang sedikit pun. Ini sungguh menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai pria tampan dan kaya raya. "Aku turut prihatin, Ed. Kau pasti merasa tidak ada harganya. Bayangkan saja, ada seorang wanita yang tidak tertarik dengan the most handsome man in this country. Apa itu tidak terdengar ironis?" olok Hans terang-terangan. Edward mengembuskan napas panjang. Ia benar-benar frustrasi sekarang. Lebih lagi, Hans dan Nicholas bukannya membantu malah sibuk menertawakannya. "Oh, ayolah. Aku memanggilmu kemari untuk membantuku, Hans. Bisakah kau bersikap profesional sekarang?" Hans menghentikan tawanya, merubah raut wajahnya menjadi serius. "Baiklah ... baiklah, maafkan aku. Sekarang aku tanya, apa kau punya fotonya? Akan ku lacak wanita itu hari ini juga." Di tanya demikian, Edward lantas menggelengkan kepala. Jangankan foto, nama panjang wanita itu pun ia pasti tidak tahu. Pertemuan mereka benar-benar singkat kemarin. "Jadi, kau tidak memiliki fotonya? Terus bagaimana aku mencarinya? Aku bukan cenayang yang bisa menebak-nebak, Ed." Edward berdecak pelan. "Kemarin aku menginap di hotel milik Kiano yang ada di Liverpool. Kau bisa minta pada pihak hotel untuk menunjukkan rekaman CCTV. Di sana, pasti terlihat jelas wajah wanita itu." "Astaga, dasar gila!" umpat Hans dengan keras. "Ini sama saja kau menyuruhku bekerja dengan ekstra." Edward menanggapi perkataan Hans. "Ayolah, Hans. Aku tahu kau bisa diandalkan. Mengungkap jaringan mafia saja kau bisa. Apalagi mencari latar belakang wanita seperti sekarang. Ini tidak sebanding dengan keahlianmu. Tenang saja, aku akan membayarmu sekarang juga. Sebutkan saja nominalnya." Semua orang juga tahu siapa Hans dan apa keahliannya. Pria itu sebelumnya sudah bertahun-tahun menjadi pasukan elit dari kesatuan angkatan darat. Ia memiliki keahlian melacak seluk beluk bahkan membongkar rahasia musuh dengan mudah. Entah bagaimana awal mulanya Hans bisa bertemu Ferdy Winata, ayah Kenzie hingga akhirnya menjadi pengawal paling setia di keluarga winata. Hans memajukan tubuhnya. "Ok, deal. Beri aku waktu maksimal 2x24 jam untuk mencari segala informasinya. Akan ku hubungi kau sesegera mungkin." Seringai terbit di wajah Edward. Ia lantas turut menyejajarkan diri lalu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. "Aku pegang ucapanmu. Sebentar lagi Nicholas akan mengirim bayaran yang pantas untukmu." Sepeninggalan Hans, pria itu segera duduk di kursi kerjanya. Melihat ke jam tangannya dan mendapati kalau beberapa menit lagi ia harus segera pergi ke ruang rapat. Sementara Nicholas sudah siap disebelahnya dengan membawa beberapa tumpuk dokumen untuk dibahas saat rapat nanti. "Mr. Edward..." gumam Nicholas dengan pelan. "Maaf kalau saya sedikit lancang. Mister yakin ingin mencari wanita itu? Alih-alih mencari, kenapa tidak dilupakan saja? Bukannya bagus wanita itu tidak meminta pertanggung jawaban?" Pandangan Edward beralih pada Nicholas. "Aku benar-benar penasaran, Nic. Aku hampir tidak percaya kalau di dunia ini ada wanita yang sama sekali tidak tertarik denganku. Kecuali wanita itu memang tidak normal." Nicholas geleng geleng kepala mendengar alasan bosnya. Tapi ada benarnya juga. Mana ada di dunia ini wanita yang tidak mau menjadi pasangan dari keturunan Cullen. Keluarga bangsawan kaya raya yang begitu di segani se-Britania Raya. "Aku hanya takut saja wanita itu memiliki maksud tertentu atau mungkin mau menjebak mister," ucap Nicholas hati-hati. Edward mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, itu sebabnya aku meminta Hans untuk menyelidikinya. Kita akan tahu jawabannya nanti." Kali ini Nicholas hanya mengangguk, lalu mempersilahkan Edward untuk segera bangkit dan bergegas pergi menuju ruang rapat. **** Alexander Edgar Cullen tengah menikmati teh hijau di ruang CEO. Hari ini, ia dengan sengaja mengunjungi Edward karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Dengan di temani pengawalnya, ia menunggu dengan tenang sembari membaca buku tebal yang sengaja dibawanya. "Ada perlu apa Papa tiba-tiba mengunjungiku kemari?" tanya Edward saat ia baru saja memasuki ruang kerjanya. Alexander menurunkan kacamata bacanya. Menutup buku yang ia pegang lalu menatap Edward yang sekarang sudah duduk di hadapannya. "Dalam waktu dekat, aku akan mengadakan rapat umum pemegang saham. Di sana, aku juga akan mengumumkan pemindahan jabatan CEO. Dan langkah berikutnya, mengumumkan pada khalayak luas siapa CEO AlpaBeta yang terbaru." Edward lantas menatap lekat wajah ayahnya tanpa kata. Pria itu tetap terlihat sehat dan bugar di umurnya yang sudah menginjak setengah abad. Selain menjaga pola makan, Alexander memang rutin berolah raga. Tapi, bukan itu yang ia sedang pikirkan. Kalau di pikir-pikir lagi, Alexander itu masih sanggup memimpi AlphaBeta lima bahkan sepuluh tahun lagi. Lalu, untuk apa Edward harus terburu-buru menggantikannya. "Aku minta kau segera mencari calon istri, Ed. Syarat menjadi seorang CEO itu adalah pria yang sudah memiliki pendamping. Kalau kau memang tidak mampu mencari sendiri, jangan salahkan Papa menjodohkanmu." Edward tersentak kaget mendengar ancaman ayahnya. "Kenapa harus secepat ini? Aku bahkan baru berumur 30 tahun. Apa tidak terlalu muda menikah di umur segitu?" Alexander memicingkan matanya. "Lalu kau mau menikah di umur berapa? 40 tahun? 50 tahun? Apa jangan-jangan sebenarnya kau ini tidak laku? Hanya mengaku-ngaku saja sebagai seorang playboy?" Mendengar cibiran yang keluar dari mulut ayahnya sendiri, Edward berdecak kesar. "Astaga, ayah macam apa ini yang menghina anaknya sendiri? Harusnya anda bangga memiliki anak yang tampan sepertiku, tuan Alexander yang terhormat." "Ck, tampan tapi tidak laku, tetap saja percuma. Apa yang mau dibanggakan?" Alexander kembali mencibir. "Ya Tuhan!" Edward menggeleng tidak percaya. "Papa benar-benar menghinaku." "Aku tidak mau tahu, Ed. Kau harus segera membawa calon istri saat pesta ulang tahun ibumu. Ku beri waktu sebulan. Kalau dalam rentang waktu yang sudah di tentukan kau tidak juga membawakan aku calon menantu, siap-siap saja menerima segala keputusanku." Alexander tidak main-main kali ini. Ia merasa sudah tidak bisa lagi menunda pemindahan jabatan CEO. Sementara Edward hanya bergeming dan memandang ayahnya dengan tatapan tidak percaya. Walaupun sering mengeluarkan kata-kata pedas, Edward begitu menghormati Alexander. Pria itu adalah sosok yang paling ia banggakan selama ini. Selalu menjadi panutan serta role model dalam mengambil segala keputusan penting. Sepedas apa pun pria tua itu berucap, sedikit pun Edward tidak pernah tersinggung. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Doakan saja saat pulang nanti, anakmu yang tampan ini bertemu wanita baik di pinggir jalan dan mau dijadikan calon istri," jawab Edward asal. Alexander mengedikkan bahunya dramatis. "It's ok. Kau tahu sendiri, walau pun kita dari keturunan bangsawan, Papa bukan pria yang pemilih. Mau kau ambil wanita di pinggir jalan sekali pun, terserah. Kau sudah dewasa, Ed. Kau bisa membedakan mana yang baik dan tidak untukmu." Edward meneguk ludahnya. Jawaban Alexander barusan jelas terasa begitu menohok. Ia sadar benar, syarat menjadi seorang CEO di AlphaBeta haruslah sudah menikah. Tentu saja ayahnya khawatir. Bagaimana bisa ia memindahkan jabatan kepada Edward kalau pria itu masih melajang hingga saat ini. Terlalu sering bermain-main membuatnya menganggap ikatan pernikahan tidaklah penting. Hingga ia tidak sadar kalau umurnya sudah tidak muda lagi. Dan sekarang, ia menjadi repot sendiri. Apakah Edward sanggup mencari calon istri sesuai kriteria dalam kurun waktu sebulan? Harusnya itu memungkinkan untuk ukuran seorang Playboy seperti dirinya? Ah, tiba-tiba ia merasa kualat pada Richard, sekarang. Pria itu juga bernasib sama dengannya. Harus mencari pendamping dalam kurun waktu sebulan. Tidak, ini bukan kualat. Tapi jelas-jelas karma Edward. Karena dulu ia dan Kenzie yang memprovokasi tante Cassandra untuk menekan Richard agar segera mencari calon istri. Sekarang, ia merasa dejavu dengan apa yang ia perbuat dulu. Selamat menikmati, Ed Hidupmu benar-benar rumit sekarang. ------. . JUDUL n****+ : PLAYBOY VS PLAYGIRL LINK : https://m.dreame.com/n****+/XN1DCbBuh7rak1kM3COfPg==.html
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD