5. Keyakinan

2208 Words
"Ketika aku tidak sedikitpun berpaling darimu, ketika itu pula seluruh keyakinanku berpihak padamu." ----- Ada banyak alasan mengapa London begitu memikat wisatawan dari berbagai belahan dunia. Di kota yang terkenal dengan kerajaannya ini, kita bisa menemukan deretan bangunan berarsitektur kuno yang begitu megah, taman-taman yang cantik, hingga museum-museum yang menakjubkan. Sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Britania Raya, London juga menawarkan deretan tempat wisata belanja yang siap memuaskan hasrat shopping para pengunjungnya. Kita bisa berkunjung ke Oxford Street untuk berburu barang-barang branded, menikmati jajaran toko dengan display yang keren di Carnaby Street, atau berburu barang-barang antik dan oleh-oleh khas London di Portobello Market. Karena pesatnya perkembangan sektor pariwisata di London, berbanding lurus dengan jumlah penginapan yang berhamburan di sana. Mulai hotel sederhana hingga super mewah bisa ditemukan dan dipilih sesuai budget yang kita punya. Dari deretan hotel mewah yang ada, Le Meridien Hotel Piccadilly milik pengusaha ternama Dylan Arley merupakan hotel bintang lima yang sering menjadi pilihan para turis . Hotel ini memiliki desain bangunan bergaya klasik dengan warna putih yang sangat mewah. Namun, di dalam ruangan-ruangan hotelnya, nuansa modern akan terasa dari balutan desain kontemporer dan perabotan-perabotan yang dihadirkan. Begitu memanjakan mata siapa pun yang menginap di sana. Saat ini, hotel tersebut dipegang kendalinya oleh Dylan secara langsung. Dan bila kelak ia pensiun, Naomi yang akan menggantikan posisi tersebut. Mengingat, hanya wanita itu satu-satunya keturunan yang Dylan punya sekarang. Untuk memantapkan posisinya, sudah sejak dini Naomi dilatih untuk memegang kendali. Mengambil keputusan bahkan dituntut untuk belajar memecahkan masalah. Dylan ingin membentuk karakter Naomi menjadi seorang pebisnis wanita yang tangguh dan diperhitungkan orang banyak. Ketika biasanya Naomi begitu bersemangat menjalani segala kesibukannya di Hotel. Hari ini wanita itu bersikap sedikit berbeda ketika mengikuti salah satu rapat. Entah sudah berapa lama Naomi hanya menatap kosong tumpukan kertas yang ada di meja. Pikirannya sedang buruk. Ia bahkan tidak berminat sedikit pun mendengarkan presentasi yang sedang dijabarkan salah seorang pekerja. Memilih bangkit, ia kemudian pergi begitu saja tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap bingung. Melangkahkan kaki dengan santai, Naomi memasuki ruangan CEO. Sudah ada ayahnya di sana tengah sibuk melakukan teleconference dengan salah satu kliennya. Karena tidak ingin mengganggu, Naomi memilih untuk duduk di sofa. Menunggu sembari membaca buku bisnis yang tergeletak di atas meja. "Kenapa kau ada di sini? Apa rapatmu sudah selesai?" Dylan Arley bertanya pada Naomi setelah menyelesaikan pekerjaannya. "Aku bosan, Pa. Bolehkan aku izin untuk pergi?" Dylan bangkit dari kursi kerjanya. Menghampiri Naomi yang sedang santai membaca buku. "Apa kau sedang ada masalah?" Naomi menutup buku yang sebelumnya ia baca. Menarik napas dalam. Mencoba menggambarkan apa yang tengah ia rasakan sekarang. Seperti ada sesuatu yang begitu mengganjal di hatinya. "Semalam Nathalie kembali menghampiriku di dalam mimpi." "Lagi?" Naomi mengangguk pelan. "Aku bisa gila kalau begini terus." Lantas tak berapa lama, setitik air mata jatuh membasahi pipi mulus wanita itu. Dari wajahnya tergambar jelas ia seperti frustrasi. Maka demi menenangkan perasaan anaknya, Dylan dengan serta merta maju lalu memeluk Naomi dengan penuh kasih sayang. Membiarkan putri kesayangannya menghabiskan stok air mata yang ia punya. Ketika wanita itu sudah tenang, barulah Dylan kembali berbicara. "Kita pergi ke dokter, ya? Sepertinya kau perlu bertemu dokter Andrea," ajak Dylan setelah mengurai pelukannya. Ia tidak ingin melihat Naomi tersiksa seperti ini. "Aku tidak butuh dokter Andrea, Pa." Naomi menggelengkan kepalanya. "Jadi, apa yang kau inginkan? Pergi mengunjungi Nathalie?" Naomi mengangkat wajahnya. Tersenyum tipis sembari mengangguk. "Aku izin untuk menemuinya. Ada banyak sekali yang harus aku ceritakan pada Nathalie." Dylan tersenyum sembari menghapus jejak-jejak air mata di pipi Naomi. "Pergilah... hari ini kau tidak perlu mengurusi pekerjaan. Biar Papa yang handle semuanya." "Terima kasih, Pa. Kalau begitu, aku izin untuk pergi sekarang." Dylan turut bangkit mengantarkan Naomi hingga muara pintu. Sebelum wanita itu benar-benar pergi, ia kembali memeluk lalu mengecup pelan puncak kepala anaknya. "Jangan mengemudikan mobil sendiri. Steve yang akan mengantarkanmu ke sana." Naomi tidak menjawab. Hanya mengangguk kemudian pergi dari hadapan Dylan. Berkendara selama tiga puluh menit, Naomi akhirnya tiba di tempat tujuan. Dengan sedikit tergesa ia turun dari mobil. Membawa kakinya menuju tempat yang sedari tadi ingin ia kunjungi dengan tidak sabar. "Kak... bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?" tanya Naomi. "Semalam aku memimpikanmu lagi. Kau bahkan kembali memohon pertolongan padaku..." Naomi menjeda kalimatnya. Untuk sesaat ia terdiam ketika air matanya lagi-lagi meluncur tanpa permisi. Tanganya terulur, mengusap batu nisan bertuliskan nama Nathalie Hazel yang ada di hadapannya. ".... aku merindukanmu, Kak. Kenapa kau harus pergi meninggalkanmu secepat ini." Saat ini, Naomi tengah berada di Nunhead Cemeter, sebuah areal pemakaman yang ada di London Selatan. Sudah setahun belakangan ini, ia sering menghabiskan waktu di sana. Sekedar mengunjungi bahkan berbagi cerita tepat di samping makam kakak kandungnya. Naomi sendiri merasa sangat kehilangan. Dylan, bahkan harus membawa anak bungsunya rutin bolak balik mengunjungi psikater. Ini semua ia dilakukan untuk mengobati kejiwaan Naomi yang begitu terguncang atas kepergian Nathalie. "Sedikit pun aku tidak akan lupa, ketika kau merintih menahan sakit. Berjuang sekuat tenaga hingga akhirnya meregang nyawa." Naomi memejamkan matanya erat-erat. Mencoba mengusir kepingan memori yang selalu berhasil memporak-porandakan hatinya. "Kau tenang saja, Kak. Aku berjanji akan segera menghancurkan pria yang menyebabkan kematianmu." Kali ini ia kembali terisak. Menarik napas berulang kali lalu berucap lagi. "Pria itu, boleh saja lepas dari jeratan hukum. Tapi jangan harap aku akan melepaskannya. Kalau perlu, aku sendiri yang akan membunuhnya untukmu, Kak. Aku bersumpah tidak akan melepaskannya." **** Edward baru saja tiba di unit apartemen yang sudah ditinggalinya beberapa tahun belakangan ini. Ketika membuka pintu, netranya jelas menangkap kehadiran seseorang. Melangkah masuk, ia dibuat terkejut karena mendapati Alexander ada di dalam bahkan tengah duduk santai sembari menyesap secangkir kopi di tangannya. Di lihat dari gelagatnya, pasti ada hal penting yang ingin pria tua itu sampaikan. Kalau tidak, mana mungkin ia mau repot-repot menginjakkan kakinya ke 'gubuk' milik Edward tersebut. Dengan wajah santai, Edward menghampiri lalu turut mendudukkan tubuhnya tepat berseberangan dengan posisi Alexander. "Bagaimana caranya Papa bisa masuk ke apartemenku?" Edward bertanya tanpa basa-basi. Ia begitu penasaran, kenapa pak tua itu bisa dengan mudahnya masuk. Padahal, butuh sidik jari untuk membuka sensor kunci pada apartemen miliknya. Alexander meletakkan cangkir kopi yang sebelumnya ia pegang. Memiringkan sedikit tubuhnya, lalu menjawab. "Bukan hal sulit bagiku agar bisa masuk kemari, Ed. Lagi pula, ada hal lebih penting yang harus aku sampaikan padamu." Edward menautkan kedua belah alisnya. Tebakannya pasti kali ini benar. "Kalau ada hal penting, kenapa tidak telpon saja dan memintaku untuk datang? Aku bisa singgah ke rumah Papa." "Oh ya ampun, Ed." Alexander tanpa terasa memekik sekedar untuk menyangsikan. "Apa kau yakin akan singgah? Ingat terakhir kali kapan kau menginjakkan kakimu di rumahku?" Edward menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Alexander benar, hampir enam bulan ia tidak menginjakkan kaki di kediaman orang tuanya. Selalu ada saja alasan untuk menolak ketika Liliana meminta agar dirinya pulang. "Baiklah...baiklah..." Edward mengangkat kedua tangannya. "Jadi apa yang mau Papa sampaikan kali ini?" "Minggu depan, ada jamuan makan malam penting dengan para kolega bisnis. Papa ingin kau turut hadir. Sekalian memperkenalkanmu dengan orang-orang yang bekerja sama dengan perusahaan kita." Edward mengangguk setuju. "Hanya, itu?" "Tentu saja tidak, Ed." "Ah, sudah ku duga," Edward mendesah pelan. "Pasti ada maksud lain dari perbincangan ini." Kali ini Alexander tersenyum seraya mengangguk. Rupanya Edward bisa membaca apa yang sedang ia pikirkan sekarang. "Soal calon istrimu ---" "Astaga, Pa. Ini bahkan belum sebulan. Kenapa kau begitu tidak sabaran." Edward melayangkan protes secara terang-terangan kepada Alexander. "Aku hanya ingin memperkenalkanmu dengan anak salah seorang rekan bisnisku. Siapa tahu saja kau tertarik. Jadi, aku bisa dengan segera mengumumkan pertunangan atau bahkan pernikahanmu." Edward menggelengkan kepala tidak percaya. Tiba-tiba ia mengutuk diri sendiri. Kenapa tidak dari kemarin mencari calon istri yang sesuai kriteria. Paling tidak, ia bisa menikahi seorang wanita yang dikenal. Bukan orang asing hasil perjodohan bisnis seperti sekarang. Ya, Edward yakin, kalau pun ia sampai di jodohkan, pasti pernikahan itu tidak terlepas dari sebuah perjanjian kerja sama atau semacamnya. Bukan rahasia umum para konglomerat sengaja menjodohkan anak-anak mereka untuk memperluas jaringan bisnis yang sedang mereka jalani. "Aku pastikan akan hadir. Tapi soal perjodohan, aku tidak janji akan menyetujuinya, Pa. Biarkan aku memilih terlebih dahulu." Alexander menarik sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman. Walaupun Edward tidak setuju soal perjodohan, paling tidak pria itu sudah bersedia untuk hadir. Siapa tahu setelah melihat wanita yang di calonkan kepadanya, pria itu berubah pikiran. Siapa yang tahu, kan? "Kalau begitu, Papa tunggu kehadiranmu minggu depan. Jadwal dan lokasinya akan di informasikan kepada Nicholas. Tolong siapkan dirimu dengan baik." **** American Bar The Savoy, Strand, London WC2R 0EZ, Inggris Raya Setelah beberapa jam lalu menghabiskan sedikit waktu untuk berbincang dengan Alexander, kini Edward memutuskan untuk menenangkan dirinya di sebuah Bar. American Bar, kali ini ia pilih untuk dikunjungi. Menghabiskan waktu sembari menyesap Classic Champagne, Edward terlihat begitu menikmati kesendiriannya malam itu. Entah ke mana pikirannya menerawang. Hingga tak berapa lama, sebuah keributan kecil mengalihkan konsentrasinya. Dari kejauhan, manik mata pria itu menangkap sosok mungil yang sepertinya sangat ia kenal. Demi memastikan apa yang ia lihat tidak salah, Edward bangkit dari tempat duduknya untuk menghampiri. "Nona, kau sudah terlalu banyak minum. Sebaiknya kau segera pulang." Seorang bartender terdengar berusaha merayu pengunjung wanita yang terlihat sudah mulai mabuk. Tapi, bukannya menurut, wanita itu malah berulah. "Berikan saja minuman yang ku minta. Aku punya banyak uang. Jadi jangan takut kalau aku tidak membayarnya." "Bukan masalah uang, tapi keadaanmu sudah sangat kacau." Bartender itu terus berusaha membujuk. Namun yang ia dapati kali ini di luar ekspektasi. Satu gelas kosong vodka meluncur bebas menghantam ubin marmer hingga pecah tak beraturan. Wanita itu bahkan semakin membuat kekacauan dengan berteriak tidak jelas. Tidak ingin menimbulkan lebih banyak kerusakan, Bartender lainnya memanggil pihak keamaan bar untuk segera membawa wanita mabuk ini keluar. Tapi, belum sempat petugas keamaan membawa keluar, Edward dengan sigap menghalangi. Ia bahkan menarik wanita itu masuk ke dalam pelukannya. "Maaf atas segala keributan yang telah dilakukan kekasihku. Aku akan mengganti semua kerugian dan segera membawanya pergi," ucap Edward. Detik berikutnya, ia membayar kemudian beranjak keluar. Membawa wanita dalam pelukannya untuk segera masuk mobil. Di sepanjang perjalanan, Edward hanya diam. Sesekali menoleh demi memastikan keadaan seseorang yang ada di sampingnya. Melihat wanita yang ia bawa tertidur dengan tenang, Edward mengulas senyum. Dalam hati ia tidak pernah menyangka malam ini bisa kembali bertemu dengan Naomi. Berkendara dengan kecepatan sedang, mobilnya memasuki kawasaan elit The Boltons yang ada di distric Kensington. Atas informasi yang Hans berikan, Edward bisa tahu di mana Naomi tinggal saat ini. Dan ketika mobilnya telah sampai di depan rumah wanita itu, dengan perlahan Edward mencoba untuk membuka seatbelt yang melingkar di tubuh Naomi. Pelan tapi pasti seatbelt itu terbuka. Tapi, baru saja hendak beranjak keluar dari mobil, tiba-tiba Naomi terbangun dan langsung menarik lengan Edward. Menahan tubuh pria itu agar tetap diam tidak beranjak. "Jangan tinggalkan aku. Apa kau tidak ingin menghabiskan waktu bersamaku?" Setelah mengucapkan kalimat itu, Naomi mendekatkan tubuhnya, mengikis jarak di antara mereka berdua. Aroma alkohol menguar begitu tajam menusuk indra penciuman Edward. Rupanya wanita ini begitu banyak meneguk minuman saat ia berada di Bar. "Naomi, kenapa kau senang sekali mabuk seperti ini? Apa kau sedang terlibat masalah yang cukup besar?" Bukannya menjawab, Naomi malah menarik tengkuk Edward. Mendaratkan ciumannya pada bibir pria itu. Edward cukup terkejut dengan apa yang Naomi perbuat padanya. Ia berusaha melepas pagutan bibir mereka, namun Naomi tak memberikan celah sedikit pun. Wanita itu bahkan berpindah posisi dengan duduk di atas pangkuan Edward. Menahan diri agar tidak jatuh, Naomi kemudian mengalungkan kedua tangannya pada leher Edward. Sementara bibirnya terus bergerak memijat di kedua belah bibir pria itu. Perlahan dengan penuh kelembutan. Maka di detik selanjutnya, Naomi melumat berulang kali. Mengecup sudut bibir Edward dengan penuh nafsu. Merasakan manis dan hangat yang membuatnya semakin tidak mampu menahan diri. Sementara Edward hanya bisa pasrah. Pria itu hanya mampu memejamkan mata. Untuk kesekian kalinya ia tidak bisa berkutik. Malah terkesan takhluk dengan segala cumbuan yang Naomi berikan. Hingga tak berapa lama wanita itu mengurai ciumannya. Namun tetap melabuhkan kecupan basah di pipi bahkan leher Edward. "Aku suka menciummu. Bibirmu begitu manis." Naomi berucap dengan nada sensual. "Apa kau tidak ingin tidur bersamaku?" goda Naomi. Namun, tak berapa lama setelah mengucapkan kalimat itu, tubuh Naomi tiba-tiba ambruk. Ia kembali tidak sadarkan diri. "Astaga, Naomi. Setelah puas menciumku, sekarang dia pingsan? Yang benar saja." Perlahan Edward menurunkan tubuh Naomi untuk kembali duduk di posisinya. Cepat-cepat ia keluar lalu mengitari mobil, mengeluarkan tubuh Naomi secara perlahan lalu menggendongnya untuk masuk ke rumah. Beruntung security yang berjaga di depan rumah Naomi bertindak cepat. Membukakan pintu lalu mempersilahkan Edward untuk membawa masuk tanpa banyak bertanya. "Aku hanya bisa mengantarkannya sampai di sini. Naomi mungkin mabuk berat hingga tidak sadarkan diri." Maid yang menyambut kehadiran Edward hanya mengangguk. Sejurus kemudian meraih tubuh Naomi untuk segera memapahnya masuk ke dalam kamar. Sementara Edward memilih untuk segera beranjak pergi dengan perasaaan yang bercampur aduk. Wanita ini benar-benar membuatku gila! . Aku nggak pernah bosan buat ingatin kalian semua. Semua Visual/Jadwal update/spoiller cerita/atau berita lainnya, aku info di story sss/ig story @novafhe. Silahkan follow/add. . . ====Note=== . Halo, Cerita ini eksklusif tayang/terbit di aplikasi Dreame/innovel dan hanya bisa di baca di sana. Jadi, jika kalian menemukan cerita ini dijual bebas dalam bentuk PDF oleh orang yang tidak bertanggung jawab, mohon bantuannya untuk melapor/memberitahu aku, yah. Karena tindakan tersebut bisa di proses secara hukum dan di tuntut untuk mengganti rugi. . Salam, Fhee
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD