"Senpai mana makan siangku ?"
"Senpai mau pulang sambil bergandengan tangan ?"
"Senpai maukah kau menyuapiku ?"
"Senpai bisakah kau membuka bajuku ?"
"Senpai bisakah kau memberiku morning kiss yang panas ?"
"Senpai bolehkah aku menyentuh dadamu ?"
"Senpai maukah kau tidur bersamaku malam ini ?"
"Senpai bisakah kau menyerah ? Aku ingin kau menjadi milikku malam ini."
Semua permintaan Absurd mulai dicerocoki laki-laki itu. Kesal. Marah. Gemas. Terganggu. Apalagi nyatanya Ilka mulai merasa sangat aneh saat berada disekitar Zion. Saat berpapasan, bertatap muka, saling bersentuhan, bahkan efek itu terasa ketika ia mendengar nama Zion ditelinganya. Semua memusingkannya dan selama beberapa pekan terakhir Ilka terus berusaha menghindarinya. Takut jika sesuatu itu akan memperparah segalanya.
Suasana rumah yang biasanya selalu ribut berubah sepi karena jarangnya interaksi. Sabab musabab itu terjadi akibat kencan beberapa waktu yang lalu. Dirinya hampir terbawa suasana dan ia yakin jika Zion mendengar sepotong ucapannya. Jujur saja itu memalukan.
Zion menyapanya lagi, Seperti biasa laki-laki itu tak segan menyentuh kulitnya sambil berbisik menggoda. Seolah segala hal yang terjadi usai acara kencan sepihak namun berbekas itu tak mempengaruhinya sedikitpun. Jelas saja tingkah pemuda itu malah membuat Ilka gusar. Mengapa hanya ia saja yang tersiksa dengan sesuatu tak diperlukan ?
"Ada apa denganmu, Senpai ?"
Disela sarapan paginya Zion memusatkan perhatian pada sang dara. Sesekali dia menyendoki bibirnya dengan nasi goreng yang bahkan tak lebih enak dari buatan anak sekolah dasar. Tapi Zion menghargainya, seburuk apapun hasil masakan gadis itu.
"Tidak ada."
Ilka meraih gelas berisi air putih. Untuk menghindari pembicaraan sekaligus kode agar laki-laki itu bisa mengerti ia tak ingin bicara.
"Kurasa aku juga suka-"
BRUSHH
Ilka menyemburkan semua cairan yang berhasil ia minum sebelumnya. Kemudian menatap Zion yang (pura-pura) sibuk dengan piringnya dan menatap sang objek dengan pandangan tak mengerti. So' polos, bocah tengik, si kurang ajar. Kini telak sudah prasangkanya.
"-nasi goreng buatan Senpai biarpun rasanya dibawah rata-rata."
Oh, biarkanlah segala prasangka negatif itu menghilang. Zion tak mendengarnya, setidaknya semua ucapannya barusan hanya sebuah kebetulan. Sugesti positif Ilka coba alirkan kepada pemikirannya yang gamang. Toh, semua juga demi kebaikannya.
***
Cepat, Ilka memutar bangku menghadap Loli yang persis di belakangnya. Mencoba memikirkan segalanya cuma membuat semua pemikiranya pecah belah.
"Hei, aku mau cerita. Ini soal temannya temanku yang mulai bertingkah aneh."
Ilka memulai, sedang Loli mendelikan alis. Sebetulnya ia tahu jelas jika gadis itu sedang berbohong. Tapi untuk mempermudah segala. Si pinky pura-pura tak tahu apapun.
"Baiklah, jadi apa yang terjadi dengan temannya temanmu ?"
Oke, setidaknya biarkan si d**a rata bercerita soal keluh kesahnya. Sebetulnya bisa dibilang ia juga penasaran. Walaupun ia bisa dengan mudah mengambil sebuah kesimpulan.
"Kau tahu temannya temanku itu merasa tak nyaman berada disekitar orang itu. Pipinya selalu memerah jika orang itu menggodanya, ia juga merasa ada yang kurang bila orang itu tak ada disekitarnya. Dan jantungnya selalu berdebar. Hei mungkinkah dia terkena penyakit jantung ?"
Ilka menatap serius, tingkahnya ketika berucap juga terlihat gugup dan malu.
"Dasar bodoh ! Itu bukan penyakit. Kurasa temannya temanmu jatuh cinta pada orang itu."
Saat itu juga mata Ilka melotot. Jatuh cinta ? Yang benar saja !
"Tapi orang itu hanya bocah tengik kurang ajar yang setiap hari selalu mengusili dan membuntuti. Bagaimana bisa aku- maksudku temannya temanku jatuh cinta pada Zi- Orang itu ?"
Ilka berusaha memberi sebuah komentar negatif dengan panik, sebab bisa jadi prediksi sahabatnya hanya sekedar bualan untuk menggodanya. Loli hanya si pinky bermulut besar. Ya, hanya itu yang ia coba bisikan dalam kepalanya.
"Jika itu tentang cinta, kau tak akan bisa bermain dengan logika. Semua tentang rasa. Kau hanya perlu jujur."
Loli memasang wajah serius dengan sentuhan senyuman.
"Kenapa kau jadi menasehatiku ?"
Ilka memasang wajah horor. Takut dan waspada bila segala yang terucap bisa jadi telah terterka.
"Ya, siapa tahu. Terakhir aku melihatmu bercerita dan berekspresi seperti itu ketika kau jatuh cinta pada Senpai satu clubmu."
Merona, Ilka tak mengerti harus berucap apa. Dirinya tak bisa menyangkal walau berusaha membentuk sangkalan dalam kepalanya.
"Kau itu mudah ditebak Ilka."
Loli mengusap kepala si gadis.
***
Sore, sepulang sekolah Ilka beranjak pulang. Namun, suasana sepi merupakan sebuah penunjuk yang pasti jika penghuni rumah belum kembali. Ilka bersyukur dalam hati. Setidaknya dia bisa membuat jarak dan menegaskan bila perasaannya bukanlah hal berbau cinta. Jujur saja patah hati yang ia rasakan sangat parah dulu. Jadi tidak mungkin ia sudi mengulang kisah pilu.
Meraih apron yang tergantung di konter dapur. Setidaknya sebagai pengasuh yang baik ia harus bisa berlaku tidak terjadi apa-apa. Setengah kepalanya yang belum terkontaminasi lebih merujuknya untuk membuat hidangan makan malam. Sebab pastinya sang tuan pulang dengan kelaparan. Ilka mengambil bahan mentah yang nampak terisi penuh dikulkas berpintu dua. Sekian banyak pilihan, retinanya hanya jatuh pada sekotak telur.
Sederhana, dia tak punya keterampilan memasak diatas rata-rata untuk menyajikan makanan mewah. Menghela napas sebentar, kemudian dirinya mulai bekerja. Mengiris bawang, dan memotong sayuran serta sosis sebagai bahan pelengkap. Ketika semuanya telah siap ia segera melangkah pada tahapan berikutnya. Memasukan minyak kedalam wajan yang telah memanas, lalu setelahnya memasukan telur yang sudah dikocok beserta bahan lainnya.
"Bau yang harum."
Tak perlu berbalik Ilka tahu si pemilik suara. Dia telah berada tepat di belakangnya, mendekapnya dari belakang.
"Senpai sedang buat apa ?"
Zion kembali bertanya, namun kali ini dia sengaja menaruh dagunya pada perpotongan leher gadis itu.
"Bisa lepaskan aku ?"
Suara Ilka yang terdengar putus asa malah semakin membuat Zion tertarik. Dia semakin mendekap erat gadis itu seolah miliknya.
"Kenapa aku harus melepaskanmu ? Senpai tak suka aku melakukan ini ?"
Nada usil itu tetap keluar seperti biasa. Namun bagi Ilka semua semakin terasa menyebalkan. Laki-laki itu tidak mengerti. Dia juga tak paham. Semua ini tidak benar.
Tes !
"Bagimu menyenangkan mempermainkan aku ?"
Merasa sesuatu yang basah jatuh pada punggung tangannya buru-buru ia membalik tubuh gadis yang lebih pendek darinya itu. Menatapnya dengan penuh ekspresi terluka. Zion tak bisa berkutik. Tangannya kaku dan kini tak lagi menyentuh senpainya lagi.
"Apa semua yang terjadi hanya lelucon ? Jika iya hentikan sekarang juga karena aku sudah muak !"
Tetesan asin itu kian merembes. Ilka juga tak mengerti mengapa perkataannya dapat sedemikian mengiris hatinya sendiri. Dia hanya lari dan melampiaskan emosi. Aroma masakan yang hangus tak dihiraukan keduanya.
"Jadi apa yang harus kulakukan Senpai ?"
Zion buka suara saat sang Senpai berhenti bicara. Sebetulnya Zion juga tak mengerti harus seperti apa. Karena ia juga sendiri terjebak.
"Biarkan aku dengan kehidupanku. Seperti kita tak mengenal dulu."
Berat. Sebenarnya Ilka berat melepas kalimat itu karena jelas itu menyakiti dirinya sendiri. Tapi ia tak peduli. Ia hanya tak mau jatuh cinta lagi. Hanya itu.
"Baik, jika itu yang Senpai mau. Aku juga akan melupakan perasaanku pada Senpai, seperti yang Senpai inginkan."
Zion memutar langkah meninggalkan Ilka yang masih berdiri membelakangi kompor yang masih menyala. Zion sudah tak peduli. Ia lelaki yang patah hati.
Sepeninggal pria itu Ilka merosot kelantai. Air mata sudah membanjir kian hebat. Dia baru saja mendeklarasikan sebuah ungkapan perpisahan. Dan jujur saja itu lebih sakit dari pada ketika ia putus dengan mantan kekasihnya.
***
Aroma lantai yang baru saja di pel, spidol papan yang menyengat ketika kau menggosoknya ke papan tulis, bincang-bicang para gadis dan kenakalan para siswa. Semua situasi sama dengan rutinitas hariannya. Tapi ketika ia melihat pintu kelas, sosok pria tinggi yang sering mengganggunya telah raib. Sesuai dengan titahnya.
Semua memang sama tapi suasana dalam hatinya sudah berbeda. Jauh, jauh semenjak ia mengenal laki-laki tak tahu malu. Hingga terjebak bersamanya. Semua kebersamaan itu kandas.
"Zi-"
Ada keinginan untuk menyapanya, namun tanpa berbalik menatapnya laki-laki itu tak menganggapnya seketika. Ya, memang benar bila ia yang meminta. Tapi, Ilka merasa ada bagian dalam ulu hatinya tertusuk. Resiko ketika kau memutuskan untuk menghentikan perasaanmu.
"Ilka, bagaimana kabar mu dan orang itu ?"
Sejak sesi curhatnya terbongkar mudah oleh Loli. Ilka tak pernah lagi membahas soal perasaannya maupun perkembangannya. Dia menutup diri dan tak ingin membahasnya. Sudah akhir masa sebelum ujian kelulusan. Ilka harus fokus pada ujiannya sebelum benar-benar menyesal. Usianya lebih tua dari Zion. Karena itu ia harus lebih bijaksana.
"Tidak ada, aku menyuruhnya untuk menghentikan semua aksi gilanya padaku."
Ilka memutar pensilnya diatas meja. Obrolan yang santai namun memiliki topik pembicaraan yang selalu ia coba hindari.
"Maksudmu kalian putus ?"
"Aku tak pernah berkata kami pacaran."
Loli menatap marah pada sahabatnya. Banyak perubahan pada diri gadis itu, ia jadi lebih terlihat melankolis dan tertutup. Dan itu sama sekali tidak cocok untuknya.
"Kupikir kau harus segera kembali. Ya, kau lihat sendiri. Kondisimu benar-benar lebih buruk dari pada saat kau putus dengan Senpai. Kau hanya berpura-pura tersenyum didepanku. Jujur saja aku muak melihatmu so' kuat. Kau itu lemah Ilka ! Jangan paksakan dirimu."
Emosi malah meninggi melihat senyum yang terukir di wajah Ilka nampak jelas dipaksakan. Sebagai seorang sahabat Loli tak mungkin terlibat. Ia ingin Ilka bahagia. Tidak seperti dulu ia mencoba menghalangi Ilka. Karena Loli yakin laki-laki itu memiliki sesuatu yang cukup keren membuat Ilka bisa terpuruk dengan cara tak terbiasa.
"Lalu aku harus bagaimana ?"
Kini balik Ilka yang menyentaknya. Ia tak sanggup terus dipojokkan. Tidak oleh Loli yang dulu sangat menyarankannya segera putus dengan Senpai.
"Bagaimana perasaanmu padanya ?"
Loli mengintimidasi kembali. Semua yang ia lakukan memang kasar. Tapi itu hanya bentuk rasa sayangnya pada Ilka yang begitu nampak lemah. Ia ingin Ilka kuat.
"A-aku tidak tahu."
Ilka menjawab dengan nada tak yakin. Memperdebatkan logika, harga diri, dan perasaan membuatnya sulit untuk menjawab perkataan sederhana.
"Jujur Ilka ! Kau tidak akan menemukan jawabannya jika kau tak bisa jujur pada dirimu sendiri !"
Loli bangkit dari tempat ia duduk.menepuk pundak Ilka dan memberinya sebuah senyuman motivasi. Ilka tergerak. Sebagian hatinya mendukung perkataan Loli. Dan dengan kepalan tangan yang kuat, ia mengangguk. Segera ia mendorong meja kuat-kuat agar memberi ia celah untuk berdiri dan pergi.
"Aku akan segera kembali."
Ilka berlari, meski ia mencoba sekuat tenaga menghapus perasaannya. Ini tak semudah ia membalik telapak tangan. Ia tak sanggup. Dan karena ia telah benar-benar jatuh cinta pada Zion. Mantan tuannya.
"Itulah Ilka yang kukenal."
***
Berlari di koridor dan mencari kelas si bocah tengik. Ilka tak mengerti dari mana ia mendapat tenaga untuk mencari dan berlari meski kini waktu sudah tak lagi mendukung. Ia terlalu lama berpikir dan menggantung perasaannya. Ia harus jujur dan berkata dengan jelas. Bahwa ia menyukai Zion.
Dari balik tembok di taman belakang Ilka menemukan Zion. Bermaksud memperpendek jarak ia justru terhenti melihat Zion berhadapan dengan perempuan yang mengenakan pakaian sedikit dewasa. Begitu serius, hingga Ilka sejenak mengurungkan niat untuk bicara dan menundanya hingga esok pagi. Namun ketika ia beranjak. Rasa penasaran menggerogoti hatinya. Karenanya Ilka sedikit menoleh. Matanya membelalak. Pemandangan barusan berubah menjadi sedemikian liar. Ia jelas melihat Zion memojokan perempuan itu dan mencumbunya dengan panas. Ilka mematung tak berdaya. Napasnya sesak, dan merasa matanya begitu perih hingga lelehan asin kembali jatuh di pipinya. Tanpa berpikir ia segera memacu langkah dan berlari. Ia hanya membuang waktu cinta yang ia coba untuk perjuangkan telah berakhir. Dan kini ia disakiti lagi.
Dari balik dinding itu Zion mengecilkan pupilnya, lekas ia melepas cumbuannya pada perempuan itu.
"Ah, kita ketahuan ya. Bagaimana ini Zion ?"
Perempuan itu membuat suara yang nampak seolah menyindir sang laki-laki yang mematung menatap arah yang sama.
"Biarkan saja, lagipula aku sudah punya kau."
Zion menatap datar sekitar, meski matanya tetap terpaku pada kepergian gadis itu. Ya, seperti yang Senpainya katakan ia harus berhenti meski ia ingin mengejarnya sekarang.
"Anak pintar."
To be Continued