Tanda Positif

1337 Words
Netra kecoklatan itu mengerjap, terbuka perlahan dengan lemahnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar dan segera mengernyit karenanya. Ia seperti berada di tempat yang sangat asing. Hanya ada dua single bed yang lebih mirip dengan brankar rumah sakit, juga ada lemari obat menjulang tinggi tidak jauh di sudut ruangannya. Ia sekarang tersadar tengah berada di ruang apa. Ini adalah ruang kesehatan kampus. Ia sedikit menarik sudut birai membayangkan bisa berkuliah di salah satu gedung prestisius Kota Jakarta ini. Melihat tempat yang begitu sepi dan begitu kentara rasa sunyi, ia memutuskan untuk turun dengan hati-hati dari sana. Meskipun kepalanya terus dirasa berdenyut nyeri seakan ditusuk puluhan jarum kecil, gadis cantik itu tetap mengukuhkan hatinya untuk segera meninggalkan ruangan itu. Bagaimana ia baru saja teringat bahwa hari itu harus mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi yang sangat diminatinya, ia semakin mempercepat langkah berbalut white sneakers itu. Takut jika waktunya terkikis dan segera habis. Itu seleksi gelombang terakhir yang seharusnya tidak dilewati oleh perempuan cantik pemilik nama Ariena Aiden tersebut. Baru saja tangannya meraih gagang pintu, hendak membukanya, ia dikejutkan oleh kedatangan sosok familiar yang tiba-tiba masuk terburu-buru ke dalam dan menatapnya dengan wajah terkejut pun penuh kelegaan. Terlihat jelas di sana. Ariena langsung mendapatkan pelukan tiba-tiba. Tidak terperangah, karena ia langsung menarik sudut birainya. Ternyata ia tidak sendirian sekarang. Namun, menyadari bagaimana kondisinya yang melemah sekarang, ia langsung melepaskan pelukan. "Hei, sudah. Kenapa kamu terus memelukku, Gaisa. Ayo kembali ke ruang ujian," ucapnya dengan semangat yang masih tersisa dan meluap perlahan. Ia menatap gusar sahabatnya yang terus terdiam tanpa suara di depannya. Apalagi melihat tatapan sendu yang semakin membuat Ariena merasa ketar-ketir karenanya. Ia memicing penasaran. "Gaisa, ada apa? Kenapa diam. Ayo kembali ke ruang ujian. Kenapa kamu diam saja sekarang?" tanya Ariena seraya menarik tangan sahabatnya itu untuk segera pergi. Ia tidak mau membuang waktu lagi. Namun tatapan yang terus menguar sendu itu membuat ia mengerjap dan berusaha memahami. Lebih tepatnya, bersiap untuk mendengar segala kemungkinan buruk yang akan didengarnya setelah ini. Ariena menjadi tidak sabaran seketika saat melihat perubahan raut wajah Gaisa sekarang. "Gaisa ... please kamu kenapa? Tidak terjadi sesuatu yang buruk, kan? Jadi, tunggu apa lagi? Ayo cepat, Gaisa. Kita sudah sangat terlambat untuk mengikuti ujiannya." Ariena kembali menarik pergelangan tangan sahabatnya itu, namun tiba-tiba tersentak kaget ketika presensi sosok baru berdiri di pintu yang setengah terbuka tersebut. Ariena menatap kebingungan. Itu Madava. Kekasih sahabatnya. "Arien, kamu sudah siuman ternyata. Ayo, kalau begitu kita langsung pulang. Atau ... kamu mau ke rumah sakit dulu untuk memastikan kondisimu," ajak Madava. Ariena sontak terkejut mendengar kalimat yang keluar dari birai tipis pemuda di hadapannya sekarang. Ia mengernyit dalam. Semakin tidak mengerti. Ada rasa kalut yang mendera hatinya saat memikirkan sebuah kemungkinan. "Sebentar, Kak. Bukannya masih ada waktu untuk mengikuti ujiannya?" Ariena awalnya ingin memastikan, sampai netranya menangkap angka yang tercetak pada jam digital putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia bergetar. "Wak-waktunya habis?" Ariena bergetar dan bergerak mundur hingga berakhir merapat ke dinding di belakangnya. Ia mengusap wajahnya lembut dalam rasa frustrasi begitu menyadari semua tidak sesuai yang diharapkan. Kesempatan emasnya untuk mengikuti ujian masuk universitas kenamaan Indonesia itu telah hilang tahun ini. Semuanya menjadi sia-sia. "Arien, kamu tadi pingsan begitu lama hingga membuat kami menjadi sangat khawatir. Kak Madav menawarkan diri untuk menjagamu di sini, sedangkan aku kembali melanjutkan ujian. Maaf, Arien. Aku harus menyelesaikan ujiannya tanpamu. Maaf, Arien. Aku jadi sahabat yang tidak setia begini. " Gaisa terlihat memelas dalam rasa bersalah yang terus menggerogoti. Ia menggengam tangan ringkih Ariena sekarang. "Tidak apa-apa, Gaisa. Aku tidak apa-apa kamu tetap melanjutkan ujiannya. Malah aku merasa jahat jika sampai kamu berhenti mengejar mimpimu dan menungguiku di sini. It's okay. Itu keputusan yang sangat bijak, Gaisa. Tolong jangan merasa bersalah seperti itu. Dan ... Kak Madav, terima kasih banyak untuk tadi, sudah menungguiku di sini. Terima kasih banyak," tutur Ariena panjang lebar, dengan maksud menghibur dirinya sendiri. "Tetap saja, Arien. Sebelumnya kita sudah berencana bersama untuk berkuliah di kampus ini. Teta—" "Bisakah kita tidak membahas itu lagi, Gaisa? Sungguh, aku tidak apa-apa. Kalau begitu ... kita pulang sekarang?" tanyanya dengan pandangan ke arah pasangan kekasih baru di hadapannya. "Arien ... tidakkah kita sebaiknya ke rumah sakit dulu sekarang? Jujur, Kakak sangat khawatir. Lihatlah wajah kamu yang masih terlihat pucat sekarang. Apa kamu masih merasa pusing? Atau ... mungkin mual?" Madava berucap ragu. Apalagi saat melihat ekspresi kacau Ariena sekarang. Madava semakin kalut. Ia menatap Gaisa, sang kekasih, yang ia rasa juga memikirkan hal yang sama. "Mual? Ya, sekarang agak sedikit mual. Tetapi tidak separah tadi," balas Ariena. "Arien ... kita harus periksa keadaanmu sekarang. Maaf, aku sangat khawatir jika yang terjadi malam itu antara kamu dan kak Radit, sudah ..." Gaisa menutup mulutnya sendiri. Tidak sanggup melanjutkan kalimat miris tersebut. Ariena terkesiap. Ia bukannya tidak mengerti maksud sahabatnya itu. Lebih dari itu, Ariena langsung mencari korelasi gejala-gejala yang dirasakan tubuhnya sekarang. Tepat saat ia menyadari, lututnya melemas seketika. Seakan tidak sanggup menahan beban yang terus mengiris hati. Ariena merasa sakit dan hancur. Pun secara bersamaan juga kecewa pada dirinya sendiri. "Aku tidak menginginkan hal itu terjadi antara kami. Aku ... dijebak." Ariena mulai berkaca-kaca saat memori tiga minggu silam kembali berputar-putar dalam ingatan bak film dokumentasi. Rasa sakit hatinya semakin mengakar kuat. Kebenciannya kepada Radit pun semakin besar dari hari ke hari. "We know, Arien. Kami sudah bisa menebak sejak Radit mengajakmu ke kelab malam itu. Hanya saja ... maaf, Arien. Saat itu Kakak dan Gaisa gagal menahan kamu pergi," timpal Madava lagi. "Kak Madav benar, Arien. Semua kecurigaan kami tidak bisa menghentikanmu pergi bersama kak Radit. Jika benar telah terjadi sesuatu malam itu antara kalian, maka ... aku menyakini kalau yang terjadi hari ini padamu ...." "Bisakah kita pulang sekarang?" ucap Ariena cepat setelahnya. Mengetahui maksud Gaisa membuatnya hatinya semakin hancur. Asa yang ingin ia raih juga telah pergi. Sekarang apa yang akan ia lakukan? Pulang dengan membawa kabar menyakitkan seperti ini? Demi apa pun, Arien tidak akan sanggup mengecewakan kedua orang tuanya setelah ini. "Ya, kita pulang sekarang," sahut Madava setelah terdiam beberapa sekon dalam pergelutan hatinya. "Tapi ... aku harus singgah di satu tempat dulu setelah ini." Ariena berucap lemah. Ia begitu ketakutan saat memikirkan kenyataan yang akan mengguncang dunianya setelah ini. *** Ariena mondar-mandir cemas di dalam kamar mandi yang terdapat di sudut kamarnya. Sebuah benda pipih panjang berwarna putih tengah berada di ujung tangannya yang tidak berhenti bergetar sedari tadi. Menghela napas frustrasi, Ariena akhirnya memberanikan diri untuk mengamati benda tersebut. Bersamaan dengan netranya yang menatap nanar hasil yang terpampang nyata di sana, suara ketukan pintu kamar mandi mengalihkan atensinya tiba-tiba. Ariena terperanjat. Ia kesusahan menelan saliva begitu menyadari siapa sosok yang menungguinya di luar kamar mandi. Dadanya berdebar kencang dalam gemuruh yang tidak terkendali. Terlalu sakit menerima kenyataan. Suara ketukan pintu yang semakin cepat dan beruntun, membuat Ariena dengan pasrah menggerakkan tungkainya menuju pintu dengan menggenggam benda tersebut dan menyembunyikan di belakang tubuh ringkihnya. Membuka pintu perlahan, dan menapaki lantai marmer kamarnya, Ariena berusaha mengukir senyuman palsu untuk menutupi kegetiran yang dirasakan. Takut membuat wanita yang sangat disayanginya itu hancur berkeping-keping setelah dikecewakan oleh putri semata wayangnya. "Ibu ..." sapa Ariena masih dengan raut wajah kacau dan frustrasi yang tidak mampu ditutupinya. Sepertinya terlihat sangat kentara, bagaimana wanita paruh baya yang dipanggilnya 'ibu' itu sekarang tampak mengernyit dalam memeta atensi terhadapnya. "Nak, kamu benar-benar sedang kurang sehat. Ibu yakin sekali. Apalagi wajahmu yang masih sama pucat seperti tadi pagi. Kita ke rumah sakit sekarang ya. Ayah sudah pulang dari kantor, katanya hari ini bisa pulang cepat. Katanya juga, ayah terus memikirkanmu sejak di kantor tadi. Makanya ayah meminta ibu untuk melihatmu ke kamar. Sejak kembali dari ujian di kampus tadi, kenapa kamu tidak keluar dari kamar juga, Nak? Ayo, kita makan siang dulu. Ayah sudah menunggu di meja makan." Wanita lembut itu lantas menarik tangan Ariena, hendak mengajak keluar kamar. Namun sebuah benda pipih yang jatuh dari tangan Ariena membuatnya memicing penasaran, hingga akhirnya berjongkok cepat untuk mengambilnya kembali. "A-Ariena ...? Ka-kamu?" "I-Ibu, aku ...." *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD