Bab 8. Merasa Bersalah

1049 Words
Alan menghentikan mobilnya tepat di depan parkiran halaman rumahnya. Setelah itu, ia mematikan mesin mobil. Alan baru saja pulang kerja. Alan melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Ketika belum sempat keluar dari mobil, tiba-tiba ponsel Alan berdering. Membuat Alan melihatnya. Di layar ponsel ada nama Belinda. Alan pun segera mengangkatnya. "Halo?" sapa Alan lebih dulu. "Lan! Aku sudah sampai." "Baguslah kalau begitu. Kamu nyaman dengan penerbanganmu?" "Tentu saja! Terima kasih sudah memesankan tiket pesawat first class untukku. Dan terima kasih juga kamu sudah memesankan hotel yang sangat bagus untukku." "Sudah tugasku sebagai tunanganmu. Sampai kapan kamu ada di London?" "Aku belum tahu pasti. Sampai masa syuting berakhir, aku akan segera kembali dan menghubungimu." "Aku tahu. Jaga dirimu baik-baik." "Aku mencintaimu!" "Aku juga mencintaimu." Panggilan terputus. Alan menjauhkan ponsel dari telinganya dan mematikan ponselnya. Setelah itu, Alan menghela nafas berat sembari memijat dahi tengah sambil memejamkan kedua mata. Alan memang selalu memfasilitasi kebutuhan Belinda. Sebagai bentuk dukungan Alan untuk karir Belinda. Meskipun Belinda menolaknya, namun Alan selalu lebih cepat untuk memesankan tiket pesawat atau hotel saat Belinda akan syuting ke luar negeri. Alan harap, hubungannya dengan Belinda tidak berakhir. Namun nyatanya Alan justru merasa lebih waspada lagi. Ia harus terus menyembunyikan Elena. Alan tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika Belinda tahu? Yang ada di pikiran Alan saat ini, ia benar-benar merasa terbebani dengan masalahnya. Alan harus terus merahasiakan pada semua orang jika ia telah melakukan pernikahan kontrak dengan Elena. Dan itu baru saja dimulai. Tiba-tiba nada dering ponsel Alan terdengar kembali di ponselnya. Alan melihat ada nama Alex, di ponsel tersebut. Alan pun merasa heran sejenak. Kemudian ia mengangkatnya. "Ada apa, Lex? Kau sudah mengambil semua dokumennya di kamarku tadi siang, bukan? Apa ada masalah?" tanya Alan langsung begitu ponsel terhubung. "Ya. Aku tahu. Aku menghubungimu bukan soal pekerjaan." "Lalu?" "Ngomong-ngomong, aku baru tahu kalau kau punya sepupu yang sangat cantik tadi," ujar Alex melalui ponsel. Alan langsung saja terhenyak mendengar pernyataan Alex. Ia cemas, jangan-jangan Alex curiga? Membuat Alan tidak nyaman. "Apa kalian tinggal bersama?" tanya Alex lagi. "Dia hanya berkunjung untuk beberapa waktu. Sebentar lagi, dia akan pulang lagi." "Ooh ... bolehkah aku meminta nomornya? Dia kelihatan sangat cantik. Kenalkanlah denganku!" Alan kembali tercekat. Dalam kepala Alan, ia sudah berpikir yang macam-macam. Jangan-jangan, Alex curiga dan ingin mencari informasi, apakah Elena benar-benar sepupunya?! "Tidak bisa!" jawab Alan tegas. "Hah?! Kenapa tidak bisa?" "Dia sudah punya pacar!" "Wah! Sayang sekali!" "Kalau tidak ada hal penting lagi, aku tutup teleponnya!" "Lan. Tung —," Suara Alex terputus setelah Alan menjauhkan ponsel dari telinganya. Alan lalu segera memutus panggilan dari Alex tersebut. Setelah itu, ia kembali berpikir macam-macam. Alan mengernyitkan wajahnya mendengar permintaan tidak terduga dari Alex tersebut. Ia jadi berprasangka, kalau mungkin Alex curiga. Bagaimana pun, ia tidak ingin orang tahu jika Elena adalah istri kontraknya. Alan pun turun dari mobilnya. Ia berjalan ke dalam rumahnya. Ia masih merasa kesal, kenapa tadi Elena bisa ada di luar saat Alex ke rumah? Bukankah perintah Alan pada Elena sudah jelas? Alan yang melewati teras itu, masuk melalui pintu. Di dalam rumahnya nampak sepi. Alan melihat ke arah kamar Elena yang tertutup dari dalam. Siang tadi, setelah Alan memarahi Elena, ia langsung kembali ke kantornya. Sekarang, Alan ingin memperingatkan Elena sekali lagi. "Tuan sudah datang?" sapa bi Siti yang menghentikan langkah Alan. "Ya, Bi," jawab Alan. Alan lalu kembali menoleh ke kamar Elena. "Bi, sedang apa dia?" tanya Alan dengan menunjuk ke arah kamar Elena. "Nona baru beristirahat, Tuan." "Aku akan membangunkannya!" "Tuan!" cegah bi Siti pada Alan yang berjalan ke arah kamar Elena. "Nona baru bisa istirahat sejak tadi," ungkap bi Siti kembali. Alan jadi terhenti sejenak. "Dari pagi sampai malam ini, Nona muntah-muntah terus. Dia sama sekali tidak menerima makanan selain buah. Badannya sangat lemas. Jadi, tadi saat ada tuan Alex datang, sebenarnya Non Elena ingin segera kembali ke kamar, tapi begitu berdiri, dia tidak kuat menopang tubuhnya. Dia hampir pingsan. Jadi, dia kembali duduk lagi di sofa," jelas bi Siti. Jadi begitu rupanya? Alan diam berpikir dan mengingat kejadian tadi siang, ketika ia membentak Elena di kamarnya. Bahkan, ia tidak memberikan kesempatan pada Elena untuk menjelaskan. "Oh iya, Tuan?" panggil bi Siti kembali. Membuat Alan kembali menoleh ke arah Bi Siti. "Non Elena, belum memeriksakan kandungannya sama sekali ke dokter. Jadi, tidak tahu berapa usia kehamilannya. Apa lagi, dengan kondisi non Elena yang lemas begitu, seharusnya dia mendapat vitamin dari dokter agar tidak lemas," tambah bi Siti kembali. Tentu saja, Alan jadi berpikir Kalimat bi Siti seolah membuka pikiran Alan. Elena sedang mengandung anaknya. Seharusnya, Alan juga memikirkan hal itu. Alan pun mengurungkan niatnya untuk menemui Elena. Membiarkan Elena untuk beristirahat. Ia pun kembali ke kamarnya. *** Alan keluar dari kamarnya sekitar pukul tujuh pagi. Kebiasaan pagi seperti biasa, Alan selalu melihat tablet untuk memeriksa pekerjaannya. Di meja makan, nampak bi Siti sedang menyiapkan sarapan. Alan pun duduk di kursi dengan terus memperhatikan tab-nya. "Pagi, Tuan," sapa bi Siti. "Pagi, Bi," jawab Alan. Ketika Alan memeriksa tab-nya, ia teringat sesuatu. Ia menoleh ke arah kamar Elena yang masih tertutup dari dalam. Menghentikan fokus Alan dari tab-nya, dan terus melihat kamar Elena. "Bi? Apa Elena sudah dipanggil sarapan?" tanya Alan. "Sudah, Tuan. Tapi, katanya non Elena tidak ikut sarapan." "Kenapa?" "Badannya tidak enak. Dia mual-mual terus begitu mencium aroma nasi," jelas bi Siti. "Kenapa begitu? Memangnya selama ini dia tidak makan nasi?" "Orang hamil memang kadang seperti itu, Tuan. Tidak bisa disamakan dengan orang normal. Kadang badannya secara otomatis menolak makanan," jelas bi Siti. Alan diam berpikir kembali. Jadi, Elena jarang makan nasi. Dia juga hanya mau makan buah. Pantas saja tubuh Elena lemas. Jadi, kemarin saat Elena tidak bisa berdiri dari sofa, memang karena dia benar-benar lemas. "Kenapa, dia tidak mau periksa ke dokter?" tanya Alan pada bi Siti. "Sebenarnya bibi sudah menyuruh begitu, Tuan. Tapi, katanya dia takut keluar dari rumah ini." "Takut? Takut kenapa?" "Takut kalau tetangga melihat dan ketahuan kalau di rumah Tuan, ada perempuan. Jadi, dia hanya berdiam saja di kamar dari kemarin siang." Alan baru paham sekarang. Jadi, sebenarnya Elena sendiri sudah sangat menjaga diri agar tidak ketahuan. Namun, Alan sama sekali tidak memberi kesempatan pada Elena untuk menjelaskan. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga Elena. Membuat Alan menyesal sudah berteriak dan membanting pintu kamar Elena tadi. Saat ini, Alan benar-benar merasa bersalah pada Elena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD