Part 3

1252 Words
Katanya, kopi adalah hal yang romantis. Lalu hujan menjadikannya harmonis. Jangan lupakan, ceritamu yang mengalir besertanya. -Sekali lagi?-   Aku tahu, sepertinya diriku sudah hilang akal karena mata ini tak mau berhenti menatap wajah di seberang sana. Walau jarak kami lumayan jauh, aku di bar dapur dan Adio di ruang TV, namun aku masih dapat melihat raut wajahnya yang sepertinya terlihat tak nyaman. Kejadian tadi yang membuatku mendadak kaku ditempat kini malah membuatku tersenyum sendiri. Ya, aku rasa semua jalan yang aku coba untuk melupakan Adio hancur sudah dengan sekali pertemuanku dengan dia. Walau pertemuan itu bisa dikatakan tidak sengaja, aku masih tetap bersyukur dengan hal itu. Aku tahu, aku seperti perempuan gatal yang terus mendempet laki-laki yang terang-terangan merasa risih denganku. Tapi aku juga tak bisa memungkiri bahwa hati ini masih tersimpan nama Adio. "Via, jangan kayak gitu." Aku menoleh pada Mama yang mendatangiku dengan dua gelas jus di atas nampan. "Hubungan kakakmu dan Dio baru baik lagi. Jangan gara-gara kamu mereka berdua berantem lagi. Tolong, hilangkan obsesi kamu." Bahuku merosot. Kini bibirku sempurna membentuk garis tipis. Aku tahu, Mama benar. Sejak kejadian dimana Adio tak ingin menemuiku lagi, hubungan Kak Oliver dengannya pun buruk. Kak Oliver tentu saja tidak terima dengan Adio yang selalu menganggapku kuman yang harus dijauhi. Tapi tentang obsesi yang Mama katakan tadi, jelas itu salah. Aku tidak terobsesi dengan Adio seperti yang orang-orang bilang. Aku mencintainya. Sayangnya tidak ada yang percaya itu.   [*__*]   "Dek, kakak boleh masuk?" Kepala Kak Oliver tampak muncul di pintu kamarku. Kemudian tubuhnya berjalan sempurna kearahku. "Via lagi apa?" Tanyanya setelah duduk di atas ranjang tepat di sampingku. "Lagi baca n****+ aja kak. Kenapa?" Kak Oliver terdiam dan terlihat berpikir. Aku tahu, Kak Oliver ingin membahas tentang Adio yang seperti keajaiban mau datang kembali kerumah ini. Meski aku tahu ia datang karena tahu aku tak ada di rumah. Kemudian semua orang pasti terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. "Tadi Via mau cerita apa sama kakak?" Dulu, aku tidak sedekat ini dengan Kak Oliver. Justru aku lebih dekat dengan Adio. Kak Oliver dulu begitu cuek dan tak begitu peduli denganku. Jika aku mengingkan apa-apa atau ingin ditemani kemana, ia pasti menyuruhku untuk mendatangi Adio. Dan mungkin karena itu juga Kak Oliver merasa bersalah. "Oh itu, gak penting juga sih kak. Cuman pengen ketemu kakak aja. Ternyata kakak lagi ada tamu." Kak Oliver tersenyum. Kini tangannya mengusap kepalaku lembut. Sesuatu yang dulu sering aku dapatkan dari Adio. "Kakak sayang kamu, dek." Aku terdiam tidak menjawabnya. Pasti sekarang Kak Oliver merasa begitu bersalah karena walaupun tak langsung sudah mempertemukan aku dengan Adio. "Teman kakak itu, em.. Sampai kapan di sini?" tanyaku. Kami berdua sama-sama terdiam. Meski kini kak Oliver tidak menghentikan usapannya di kepalaku, tapi raut wajah kak Oliver menunjukkan bahwa dia tak ingin aku membahas tentang itu. Aku pun tak tahu. Pertanyaan itu keluar begitu saja. Rasanya segala sesuatu tentang Adio membuatku begitu tertarik meski berkali-kali aku mencoba menyadarkan diriku sendiri bahwa Adio tidak pantas untuk kucintai. Seperti yang kak Oliver bilang. "Kakak gak tahu,” jawab Kak Oliver pada akhirnya. “Via mau beli nasi goreng di depan komplek?" Aku mengangguk setuju. Mungkin aku memang butuh udara malam untuk menyadarkan diriku lagi. "Yaudah, kakak mau ambil kunci motor dulu di dalam." [*__*]   Aku berjalan keluar dengan memeluk lengan Kak Oliver erat. Setelah bertemu Adio tadi, memang sebagian hatiku merasa senang karenanya. Namun sebagaianya lagi, aku merasa kecewa. Adio terang-terangan menunjukkan raut tak senangnya denganku. "Via!" Aku tersentak kemudian menoleh kearah pagar tetangga sebelah. Di sana aku melihat tante Veroniccha—Tantenya Adio--tersenyum lebar kearahku. "Loh, tante Ve?" gumamku singkat. Tante Veroniccha membuka pagar kemudian berlari kearahku. Memelukku begitu erat sembari tertawa. "Ya ampun.. Kamu makin cantik aja! Ih tante kangen."  Tante Veroniccha mengatakannya dengan ceria. Aku tertawa saja. Tante Veroniccha adalah adik ipar Om Rama yang tak lain adalah ayahnya Adio. Aku memang dekat dengannya sejak kecil. Tapi setelah aku masuk SMP, tepatnya saat masa dimana Adio membenciku, aku dan tante Ve tidak pernah bertemu lagi. Tante Ve ikut dengan Om Vin pindah ke Swiss. "Via juga kangen. Tante juga makin cantik,” ujarku. Tante Ve tersenyum sok mali-malu. "Kalian mau kemana Malem-malem gini?" tanyanya. "Via sama kak Oliver mau beli nasi goreng di depan komplek tante." "Oh nasi goreng. Tante nitip yah. Nanti anterin ke rumah. Kamu juga harus main kesana. Double Ve kangen kamu katanya." Tante Ve tertawa kemudian berlalu ke dalam. Sepertinya ia ingin menemui Mama.   [*__*]   "Biar kakak aja nanti yang anterin nasi gorengnya. Kamu tidur aja. Ini udah malam." Kak Oliver mengambil nasi goreng di tanganku. Aku tetap menggenggam kantong plastik itu erat tak ingin melepaskannya kepada Kak Oliver. "Via aja, kak. Lagian Via mau ketemu sama si kembar juga." Kak Oliver terlihat berpikir sebentar. Aku tahu kak Oliver tak yakin membiarkanku kesana. "Kak Dio juga pasti di kamar, kak. Apalagi kalau ada Via. Mana mau dia liat Via. Kakak tenang aja." Aku tersenyum masam. Setelah Kak Oliver menganggukkan kepalanya walau tak begitu semangat, aku segera menuju rumah tetangga sebelah. Sudah berapa lama kakiku tak melangkah kesini? "Kak Via! Mommy! Ada kak Via!" Aku tersenyum melihat Venice teriak di depan pintu. Entahlah dia Venice atau Venuce. Tapi sepertinya melihat dari suaranya yang heboh, itu Venice. "Hai! Kamu apa kabar?" Venice tak menjawab dan malah mengambil kantong plastik di tanganku kemudian menarikku kedalam rumah. "Ini pasti nasi goreng pesanan mommy kan, kak? Aduh aku lapar dari tadi." Aku tertawa. Kini aku yakin dia memang Venice. "Venice jangan biasakan teriak Malam-malam. Kamu pikir ini hutan yang bebas dengan suara cemprengmu itu?" Venice hanya mengedikan bahunya santai saat tante Ve datang memarahinya. "Ayo Via masuk. Kita ngobrol di dalam." Aku menarik tanganku yang sudah berpindah ke genggaman tante Ve. "Via mau langsung pulang, Tan. Udah malam,” tolakku. "Ya ampun. Rumah tinggal lompat aja kok. Pokoknya kamu harus temenin tante ngobrol disini. Kak Nada, Kak Rama sama Vino gak ada di rumah. Kepala tante pasti pecah kalau harus di tinggal sama si dobel Ve. Kamu tahu sendiri kayak apa berisiknya si Venice." Aku mengangguk setelah berpikir sebentar. Lagi pula sepertinya Adio pun tak ada di rumah. Kini aku duduk di meja makan sembari menjawab pertanyaan tante Ve seputar sekolah yang tengah menyiapkan piring kemudian di letakkan di meja makan. "Tante sebenernya mau menetap di Jakarta. Dan dobel Ve mau tante pindahin sekolahnya di sekolah kamu," kata tante Ve. Aku dan double Ve memang hanya berjarak dua tahun. "Minggu depan mereka berdua udah masuk sekolah,” lanjutnya. "Venice panggil Venuce dan Kak Dio makan." Aku terdiam mendengar perintah Tante Ve kepada Venice yang sedang menonton TV. Kemudian tak lama aku melihat Adio turun dari tangga di susul Venuce dari belakang. Aku terpaku. Meski tadi aku sudah melihat wajahnya di rumah, tetap saja. Sepertinya aku masih merindukan wajah tampannya karena sekarang mataku tak bisa lepas dari wajahnya meski kini dia telah duduk di kursi depanku. Awalnya, aku menangkap raut terkejut saat Adio melihatku di meja makan. Kemudian raut wajah tak nyamannya yang membuatku kecewa. Adio pasti masih membenciku. "Via ayo makan lagi. Tante tadi nitipnya kelebihan satu. Tante kira tadi Om Vin gak akan ikut keluar." Tante Ve memutus pandanganku pada Adio. Aku melihat Tante Ve yang tengah menyadorkan sepiring nasi goreng di depanku. "Via udah kenyang tante," tolakku halus sembari mendorong piring itu. "Ve! Kakak ga bisa makan sebanyak ini!" Aku mengalihkan pandanganku kepada Adio lagi yang kini tengah marah-marah pada Venuce karena dia memindahkan setengah nasi gorengnya pada piring Adio. Sudah berapa lama aku tidak mendengar suaranya? Sebenarnya sewaktu di sekolah aku sudah mendengar suaranya. Tapi pikiranku sedang tak fokus karena Cinta yang sedang pingsan waktu itu. Kini, pandanganku juga pikiranku sudah sepenuhnya pada Adio. Membuatku yakin bahwa selamanya aku memang takkan bisa menghapus namanya dari hati maupun pikiranku. Bolehkah aku kembali berusaha mendapatkannya? Sekali lagi? Katakan kepadaku bahwa aku bisa melakukan itu sekali lagi. Aku ingin bisa kembali seperti dulu. Bisa kah? Sekali lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD